Oleh : Rifdatun Aliyah
Menjadi seorang ibu merupakan harapan bagi setiap perempuan terutama bagi yang telah siap menikah atau telah menikah. Namun, menjadi ibu zaman now bukanlah perkara yang mudah. Sebab, pada dasarnya ibu tidak hanya melahirkan anak-anaknya tapi ibu memiliki peran yang penting dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya pula. Ibu merupakan madrasah atau sekolah pertama bagi anak-anaknya. Bayangkan jika tugas dan peran ibu ini harus dilakukan oleh orang lain atau bahkan media digital seperti handphone, laptop, dan lain sebagainya.
Sayangnya, himpitan ekonomi yang kian mencekik membuat para ibu harus melirik bahkan sebagian mereka terjun dalam ranah yang bukan tempat asal mereka. Ya, mereka berusaha membantu perekonomian keluarga dengan bekerja di dalam atau di luar rumah dengan harapan mampu memberikan masa depan yang cerah bagi anak-anaknya. Sehingga, tugas dan peran ibu pun ikut tergerus dan tergeser secara perlahan-lahan. Bahkan keberadaan kaum perempuan khususnya seorang ibu di pemberdayaan ekonomi dinyatakan penting.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam seminar Empowering Women in the Workplace di hotel Westin Bali, selasa 9 Oktober 2018 lalu menyatakan bahwa yang pertama harus dipahami dari sebuah negara itu harus ditingkatkan partisipasi tenaga kerja perempuan, baik untuk perekonomian, untuk perempuan dan untuk keluarganya (detik.com). Hal senada juga disampaikan oleh Anggota Komisi I Evita Nursanty dari Fraksi PDIP saat menjadi Pembicara pada sesi Partisipasi Perempuan dalam Pertumbuhan Ekonomi.
"Menurut ILO, 865 juta perempuan memiliki potensi untuk memaksimalkan kontribusinya dalam pembangunan ekonomi. Lebih jauh lagi, partisipasi perempuan telah terbukti mampu memberdayakan keluarga dan lingkungannya,” ujar Evita, dalam keterangan tertulisnya (okezone.com).
Tak kalah pula dengan pendapat Yenny Wahid, Direktur Wahid Foundation. Putri kedua Gus Dur ini mengatakan bahwa kelompok perempuan pada dasarnya memiliki peran yang besar dalam rangka pengentasan kemiskinan dan ketimpangan sosial. Hal itu disampaikan dalam Forum Tahunan IMF-World Bank tahun 2018 yang digelar di Nusa Dua Bali, Rabu 10 Oktober 2018 (nu.or.id).
Meskipun berbagai tokoh perempuan menyatakan hal senada, namun fakta yang terjadi justru sebaliknya. Sebab, sejatinya program pemberdayaan perempuan merupakan kedok untuk semakin mengokohkan hagemoni sistem kapitalisme khususnya dibidang ekonomi. Perempuan digiring menjadi pemutar roda industri sekaligus dijadikan target pasar. Upah yang murah, mampu mengerjakan berbagai hal, memiliki kinerja yang baik merupakan beberapa hal yang dimanfaatkan dari para pekerja perempuan ini. Ketika para perempuan termasuk para ibu telah mampu menghasilkan pendapatannya sendiri, mereka digiring untuk menjadi konsumen atas semua produk yang dihasilkan sistem kapitalis ini. Sehingga budaya konsumtif tetap merajalela. Seorang ibu juga cenderung memiliki harga diri yang tinggi ketika mampu memegang ekonomi sendiri.
Namun, dibalik itu semua justru ada bahaya lain yang mengancam para ibu. Yaitu pengabaian peran politik dan strategis ibu dalam membangun keluarga dan bangsa. Ibu pekerja cenderung mengurangi bahkan mengabaikan perannya sebagai pencetak generasi unggul peradaban Islam. Madrasah pertama bagi anak-anaknya berpindah dari tangan seorang ibu kepada tangan pembantu atau sekolah-sekolah dini dan full day yang ada. Berpindah pula kepada media digital yang tak sepenuhnya baik jika digunakan. Lebih parah lagi, jalinan kedekatan ibu dan anak kian renggang. Ibu tak lagi mampu memahami sepenuhnya karakter diri anaknya. Ibu tak mampu lagi membentuk kepribadian anaknya menjadi sosok teladan muslim dambaan umat. Bahkan seorang ibu dapat menjadi pemicu konflik atas prahara rumah tangga yang terjadi. Ibu yang sejatinya juga merupakan seorang istri bisa jadi akan menjadi pemberontak atau pemegang kebijakan atas semua kondisi rumah tangganya. Seorang istri yang telah bangga atas pencapaian ekonominya akan merasa lebih berharga dan lebih berhak mengatur keluarganya daripada suaminya yang mungkin berpenghasilan lebih rendah darinya. Sehingga, seorang istri dapat menjadi pemicu atas keretakan hubungan rumah tangga.
Sungguh, semua hal mengerikan tersebut akan terjadi ketika seorang ibu dan istri tidak memiliki keimanan dan ketakwaan yang tinggi kepada Allah swt. Semua itu juga akan terjadi ketika seorang perempuan yang menjadi istri sekaligus ibu tidak mengembalikan peran utama mereka sebagai ibu dan pengatur rumah tangga yang baik. Sebab, lahirnya seorang ulama hebat berasal dari seorang ibu hebat yang mampu melejitkan segala potensinya dalam tugas utamanya ini. Begitu pula dengan keharmonisan keluarganya. Sehingga, sudah seharusnya ibu kembali kepada tugas utamanya. Sebab, rupiah yang didapatkan akibat kesibukannya dalam melanggengkan ekonomi kapitalis tak akan pernah sebanding dengan akibat buruk yang akan didapatkan. Seorang perempuan akan jauh lebih mulia ketika ia mampu menghasilkan generasi shalih pembuka rahmat dan keberkahan Allah swt untuk peradaban dan kemuliaan Islam. Karena disanalah Allah swt meletakkan posisi syurga dibawah telapak kaki seorang ibu.