Oleh : Muro'ah ( Member AMK )
Bukan lantunan ayat alquran atau dzikir. Tak ada dalil-dalil yang menjadi ciri khas seorang kyai atau ulama. Juga tak terdengar nasehat sahdu yang dirindu ummat diatas panggung kala itu. Iya, karena itu bukan acara pengajian tapi acara menuju pilpres salah satu paslon. Sehingga hingar-bingar musik ditemani goyangan dangdutlah penyemarak suasana panggung tersebut, sementara para penikmat berhamburan dibawah, tak peduli siapa disamping mereka. Khalwatpun terjadi.
Dari kejauhan terlihat seorang ulama bertepuk tangan, mengiringi irama musik sang pedangdut. Beberapa waktu kemudian, kejadian tersebut viral. Netizen segera meresponnya. Ucapan istighfar berkali-kali dilantunkan seorang netizen tatkala menyaksikan tayangan tersebut. Kecewa karena sosok panutan yang seharusnya menjadi uswah, berbuat hal yang jauh dari agama.
Timeline media massa juga tak ketinggalan memberitakan tingkah sang ulama. Heboh respon netizen dan media massa menanggapi kejadian tersebut, akhirnya sang ulama pun merespon balik tantang fakta sesungguhnya.
“Saya diisukan berjoget-joget, berjingkrak-jingkrakan, dari umur saya saja tidak mungkin bisa berjingkrak-jingkrakan bisa habis napas saya, saya memang bertepuk tangan saja," kata sang ulama.
Beliau memperjelas dengan membantah bahwa beliau tidak berjoged hanya tepuk tangan.
"Kalau saya bilang ada yang joget, mungkin matanya rabun," ucapnya. (https://www.google.co.id/amp/m.tribunnews.com/amp/pilpres-2019/2018/09/24/disebut-berjoget-joget-maruf-amin-mungkin-matanya-rabun)
Dalam pandangan masyarakat, bukan tepuk tangannya yang jadi masalah. Tapi situasi acara yang dihadiri kyai itulah yang membuat mereka kecewa. Musik hingar bingar, pedangdut yang membuka aurat serta meliuk-liuk dan khalwat, sudah cukup menjadi penghalang dihadiri. Faktanya ulama tersebut ada dalam satu panggung. Tepuk tangan itu menjadi dukungan atas kemaksiatan di depan mata. Bagaimana mungkin seorang ulama berdiam atas kemaksiatan?
Bukankah ulama itu ibarat kompas, yang mengarahkan ummat agar tak terjerumus pada kemaksiatan. Senantiasa mengingatkan untuk ta’at dan tunduk pada sang pencipta, termasuk menasehati dan mengingatkan pemimpin.
Tikaman pada Ulama
Ulama dan pemimpin ibarat dua sisi mata uang, pemimpin sebagai pelaksana dan ulama sebagai penasehat. Maka ketika pemimpin lalai dan jauh dari aturan sang pencipta ulama dengan cepat meluruskan dengan tegas.
Dalam demokrasi, yang melepaskan diri dari aturan Ilahi, selamanya masukan ulama yang berasal dari wahyu tak akan pernah didengar. Ulama dibidik untuk dihisap manfaatnya (ciri khas yang mendarah daging dalam demokrasi) jutaan suara dibelakang ulama lah yang diincar. Ulama ditikam dengan kejam demi mendulang kemenangan dalam kontes pemilihan. Ulama ditempatkan diposisi rendahan, dimatikan fungsi mulianya.
Padahal dalam islam ulama memiliki posisi yang tinggi sebagai pewaris nabi.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ
“Ulama adalah pewaris para nabi.” (HR At-Tirmidzi dari Abu Ad-Darda radhiallahu ‘anhu)
Badruddin Al-Kinani rahimahullah mengatakan: “Cukup derajat ini menunjukkan satu kebanggaan dan kemuliaan. Dan martabat ini adalah martabat yang tinggi dan agung. Sebagaimana tidak ada kedudukan yang tinggi daripada kedudukan nubuwwah, begitu juga tidak ada kemuliaan di atas kemuliaan pewaris para nabi.” (Tadzkiratus Sami’ hal. 29)