Oleh: Mi’rajul Lailiyah
Korupsi sebagai wujud kejahatan tingkat tinggi di dalam tata pemerintahan bangsa Indonesia terasa semakin kuat menggigit kantong ekonomi. Bagaimana tidak, jumlah koruptor tidak makin berkurang, bertobat insaf, namun justru berkelompok meningkat. Di daerah kota Malang, Jawa Timur saja, yang saat ini masih ramai diberitakan bahwa dari 45 orang anggota DPRD kota Malang, hanya ada 4 orang saja yang masih bisa jujur dapat dipercaya. Sedangkan sebanyak 41 orang lainnya justru menjadi terdakwa kasus korupsi bersama. Ditambah lagi, semangat suap korupsi juga terdengar kuat dari kantor DPR pusat, yang ketiga anggota komisi XI itu kini tengah diperiksa oleh KPK terkait kasus dugaan suap usulan dana perimbangan keuangan daerah pada RAPBN Perubahan Tahun Anggaran 2018.
Tidak hanya itu, pahit racun korupsi sebagai buah dari penerapan sistem demokrasi juga makin kuat terlihat nyata dalam peta undang-undang pemerintahan negara, dimana HAM dijadikan sebagai dalih keadilan bagi para umat manusia. Sehingga, saat ini sedang ramai direncanakan pemberian izin bagi para eks koruptor untuk mencalonkan dirinya dalam kompetisi pemilihan calon legislatif sebagai wujud keadilan HAM tersebut.
Namun ironisnya, rencana pemberian izin bagi para eks koruptor itu justru ditentang juga oleh para aktivis penganut demokrasi. Sebagaimana kata Lucius Karus, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI), yang diliput dalam halaman berita cnnindonesia.com(02/09/2018) bahwa keputusan Bawaslu yang mengizinkan eks koruptor sebagai bakal caleg di pemilu 2019 diprediksi akan membuat DPR 2019-2024 diisi oleh para koruptor.
Dengan timbulnya pertikaian dari para penganut demokrasi yang saling berpisah haluan menjadi para penentang dan pendukung keputusan undang-undang itu, tentu sudah jelas menggambarkan kerendahan tata pemikiran demokrasi. Sebab dalam demokrasi, standar baik buruknya sesuatu diserahkan pada pemikiran dan perasaan masing-masing insan atas nama kebebasan HAM. Sehingga hasil dari aturan hidup yang berlaku tidaklah sama di setiap masa.
Andaikata seorang pencuri memohon maaf atas tindakan kejahatannya, sang korban pemaaf akan segera memaafkannya. Tetapi jika sang korban itu adalah seorang pemarah dan pendendam, maka pemberian maaf itu tidak akan mudah untuk ia berikan. Pemberian hukuman berat yang setimpal akan ia tagih bagi pencuri yang bersangkutan. Akhirnya, keadilan hukum akan dipermainkan, ketenangan hanya jadi impian, kekacauan adalah sebuah kepastian.
Selain itu, pemberlakuan otonomi daerah dalam sistem demokrasi bukanlah merupakan tata kelola pemerintahan yang membanggakan dan penuh kemandirian, tetapi lebih mengarah pada mekanisme penjajahan. Setiap provinsi wajib untuk melakukan pembangunan daerah dan ditagih mengalirkan dana memenuhi kas negara dari hasil usaha daerah mereka masing-masing. Namun, saat propinsi itu sedang mengalami kekosongan kantong keuangan, alokasi bantuan dana dari pusat sangat sulit untuk didapatkan sebelum benar-benar mampu meyakinkan berbagai syarat administrasi yang menyulitkan. Maka dari sinilah, awal peluang korupsi itu datang, kebutuhan pribadi dan kebutuhan daerah makin kencang, sedangkan negara sebagai pemegang puncak kekuasaan seolah menghindar dan berlepas tangan. Hingga akhirnya nafsu tak tertahan, korupsi dianggap sebagai cara cepat mendapat siraman kekayaan.
Berbeda dengan Islam, dimana standar baik dan buruknya segala hal berasal dari Allah SWT., Tuhan Sang Maha Pencipta. Dia pasti tahu apa yang harus ditempuh dan dihindari oleh para hamba-Nya agar tidak terjadi pertikaian, namun justru tenang menjalani kehidupan. Karena Islam bukanlah sekedar agama yang mengajarkan spiritualitas belaka, tetapi juga menyediakan segala aturan kehidupan. Maka menaati semua aturan hukum yang telah Allah ciptakan, termasuk hukum perekonomian negara akan melahirkan keadilan hukum dan memberi ketenangan sepanjang masa.
Hal ini cukup jelas dibuktikan dalam catatan sejarah dunia. Ketika hukum syariat Islam dijalankan total di era kekuasaan Umat bin Abdul Aziz selaku kepala negara Khilafah Islam, seluruh hasil zakat yang disebarkan ke semua daerah kekuasaannya ditolak oleh seluruh rakyatnya dengan dalih telah berperekonomian mencukupi.
Maka, bukankah itu sangat luar biasa? Sangat berbeda dengan kondisi rakyat saat ini yang justru senantiasa berharap dan berebut sumbangan zakat. Hingga korupsi pun rela untuk dijalani demi mendapat siraman ekonomi. Wallahu a’lam bishshowab.