Demokrasi dan Tipuan Pemberdaya Perempuan


Oleh : Sri Ariyati 

(Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)


Pesta demokrasi masih mewarnai banyak negeri, termasuk Indonesia. Ajang pilpres 2019 adalah salah satu yang dianggap paling sakral. Demokrasi disanjung, digadang-gadang, bahkan diharuskan setiap warga negara patuh di hadapannya. 


Abraham Lincoln menyebut demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Kekuasaan diktator para raja berhasil ditumbangkan untuk kemudian diserahkan kepada rakyat.  Demokrasi menghendaki rakyatlah yang menjadi pemilik kekuasaan dan kedaulatan. Sementara penguasa hanyalah pelaksana kehendak rakyat, dalam negara demokrasi suara Tuhan dikesampingkan. 


Dunia kini semakin dicengkeram berbagai krisis dan kemiskinan  akibat penerapan demokrasi dan kapitalisme global. Semestinya fakta ini semakin menyadarkan  kita semua bahwa demokrasi terbukti merupakan sistem yang rusak dan merusak kehidupan manusia. Demokrasi mustahil menyejahterakan manusia. Namun ternyata, para penganut faham demokrasi kapitalis ini belum memiliki kesadaran.  


Di sisi lain, demokrasi juga menebar propaganda pemberdayaan politik perempuan. Ada anggapan bahwa penyelesaian problem-problem bangsa –termasuk problem-problem perempuan- dapat diatasi jika mereka terjun ke ranah politik. Sebagaimana partisipasi dalam bidang ekonomi, perempuan pun diberi akses dalam pengambilan kebijakan publik ala demokrasi demi menyelesaikan ‘problem mereka’.


Pengamat Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memaksakan agar calon anggota legislatif sebanyak 30% adalah perempuan guna pengembangan potensi perempuan untuk berkarier dan mengembangkan kemampuannya di bidang politik dalam diskusi bertajuk “The Power Emak-emak Srikandi-srikandi di Lingkaran Istana”, di Diskusi Kopi, Jakarta, Minggu (22/7/2018)

https://nasional.kompas.com/read/2018/07/22/17195621/pengamat-setelah-syarat-keterwakilan-caleg-perempuan-terpenuhi-selanjutnya


Pemberdayaan ekonomi dan politik perempuan yang diusung demokrasi ternyata harus dibayar mahal. Berbagai kerugian tak hanya diderita Perempuan, namun juga generasi dan umat secara keseluruhan.  


Pertama, demokrasi telah menyerang peran keibuan.  Ibu yang hakikatnya mengasuh dan mendidik anak-anaknya harus menjadi mesin uang dan penghias kursi jabatan strategis.


Kedua, pendidikan anak tidak maksimal. Pendidikan anak terabaikan peran pendidikan diserahkan kepada sekolah dan di rumah anak diurusi oleh assisten rumah tangga.


Ketiga, ketimpangan hubungan rumah tangga. Tatkala hubungan suami isteri terganggu karena padatnya aktivitas perempuan di luar rumah dan lemahnya sistem yang diterapkan mengakibatkan rumah tangga terancam perceraian.


Keempat, stres sosial.  Bila tatanan keluarga sudah terganggu seperti; harga-harga kebutuhan yang terus melambung, PHK yang terus terjadi sementara lapangan kerja sulit dan kesenjangan yang kian melebar mengakibatkan stress sosial mengalami peningkatan.


Kelima, kehancuran masyarakat.  Kehancuran masyarakatlah yang akan terjadi bila  Ketidakseimbangan peran masing-masing anggota masyarakat  sehingga menimbulkan kekacauan, saling serang, saling tipu, saling menguasai dan seterusnya hingga mengancam keutuhan masyarakat. 

 

Keenam, memperkokoh sistem demokrasi dan ekonomi kapitalis.  Jargon pemberdayaan perempuan tersebut justru akan melanggengkan sistem demokrasi dan kapitalisme itu sendiri sebab perempuanpun di ikut sertakan menjadi pencetak pundi-pundi mata uang dengan dalih pemberdayaan.


Sungguh, demokrasi adalah sistem ilusi yang penuh kedustaan.  Ia tidak mampu menjamin kesejahteraan perempuan sebagaimana yang dipropagandakan.  Ia pun tidak mampu menjamin kebutuhan masyarakat, keadilan ekonomi, juga hak-hak dasar manusia. Adalah sebuah kebohongan jika demokrasi dikatakan berpihak kepada rakyat.  Karena kenyataannya, pelaksanaan demokrasi hanyalah berbuah masalah bagi rakyat.  


Itulah demokrasi, sistem yang sebenarnya tak pernah ramah kepada siapapun, termasuk perempuan. Maka sudah selayaknya perempuan menolak demokrasi. Tak ada alasan logis untuk tetap mempertahankan demokrasi karena demokrasi telah menyengsarakan perempuan. Maka sudah saatnya kaum muslim mengganti demokrasi dengan sistem Islam. sistem yang menjadikan kedaulatan berada di tangan Syara' dan menerapkan Islam secara totalitas.


Wallahu A’lam bissawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak