Dari Ulama Menjadi Penguasa



Oleh: Teh Nia



   Tahun 2018-2019 adalah tahun politik panas. Pada tahun politik ini, tampak jelas agama menjadi barang dagangan. Agama kembali dipolitisasi. Agama dijadikan alat untuk meraih kekuasaan politik. Padahal sebelumnya petinggi negeri ini dengan tegas menyatakan bahwa agama harus dipisahkan dari politik. Hal yang kontradiksi ini tampak nyata di alam demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan dan HAM.


    Bangsa ini kembali diramaikan oleh perebutan kekuasaan setiap lima tahun pilpres. Ajang lima tahunan ini kembali membelah umat, termasuk ulamanya. Ada ulama yang konsisten menjaga jarak dengan penguasa, mereka tetap kritis terhadap kekuasaan, mereka tetap konsisten melakukan amar ma'ruf nahi munkar terhadap rezim dzolim. Sebaliknya, tidak sedikit ulama yang berusaha dekat dengan penguasa bahkan terus menempel pada kekuasaan, setali tiga uang penguasa pun berusaha meraih simpati ulama, berusaha menggandeng tangan ulama tentu semata-mata demi mempertahankan kekuasaan.


 Penguasa berharap kedekatan dengan ulama bisa menjadi alat untuk meraih simpati umat sekaligus menjadi legitimasi atas kekuasaanya yang jauh dari islam. Penguasa tentu sadar bahwa selama ini mereka anti islam dan cenderung memusuhi para ulama tetapi saat ini mereka ingin menghapus kesan itu dari benak umat, mereka ingin saat makin dekatnya pilpres, umat melihat bahwa mereka mulai dekat dengan ulama, celakanya banyak ulama yang tidak sadar bahwa mereka hanya dimanfaatkan oleh penguasa demi melanggengkan kekuasaan mereka yang korup, banyak ulama yang rela bahkan bangga menjadi stempel penguasa dzolim saat ini.


 Perpolitikan dalam ranah demokrasi selalu menjadi ajang balap siapa yang lebih besar memberikan manfaat maka di situlah kepentingan terjadi karena kepentingan selalu menjadi standar dalam ajang meraih kekuasaan, tak segan politik kotor dimainkan, pencampuran yang hak dan yang bathil pun dilakukan agar nafsu melanggengkan kekuasaan bisa berjalan dengan aman bahkan ada yang tidak jijik ketika sebuah pernyataan telah melukai umat, tetapi di kemudian hari menjadi sebuah cara untuk mendapatkan dukungan. itulah bobroknya demokrasi yang mehalalkan segala cara.


   Diantara perilaku keji ulama jahat adalah ketika mereka menjadi stempel kekuasaan dzolim tidak ada yang lebih keji dibandingkan membantu kedzoliman penguasa yaitu melanggengkan kekuasaan dzolim karena perbuatan ini akan menimbulkan madharat yang sangat besar bagi masyarakat, bagi urusan agama dan urusan dunia mereka,  masyarakat akan terseret dalam kekufuran dan tenggelam dalam kesengsaraan. Umat akan mudah terpecah sehingga kekuatannya akan melemah dan perjuanganya dalam mendakwahkan islam akan mudah dipatahkan. Ulama adalah pewaris Nabi yang bertugas menjaga kesucian islam dan melindungi kepentingan umat islam tugas ini akan berjalan sempurna ketika mereka memberikan loyalitas hanya pada islam tidak silau oleh gemerlap dunia, tidak pernah gentar menghadapi kebengisan penguasa. Ulama harus berada di garda terdepan membela agama Allah, menjaga kemurnian islam dan ajaran-Nya mendidik masyarakat dengan syariah-Nya meluruskan yang bengkok dari petunjuk-Nya dan berteriak dengan lantang terhadap berbagai kedzoliman. Ulama tidak pernah takut sedikitpun dengan penguasa dzolim yang ditakuti hanyalah Allah. Ulama tidak boleh menjadi penguasa untuk membuat perpecahan di tengah kaum muslim. Ulama harus menjadi wadah perjuangan umat dalam menegakkan syariah dan khilafah.


Wallahu'alam bish shawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak