Bulog rugi, Pertamina rugi, PT Garuda Indonesia rugi. Fakta inilah yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani ketika mewakili Menteri BUMN Rini Soemarmo pada rapat kerja bersama Komisi VI DPR RI 2017 lalu (Tempo 31/8/17). Dan siapa sangka, program kesehatan BPJS pun mengalami hal serupa. Disampaikan oleh Budi Mohamad Arief selaku Deputi Direksi yang bersangkutan, defisit BPJS tahun ini diperkirakan mencapai 16,5 triliun. Atas dasar inilah BPJS Kesehatan berupaya mengefisiensi pengeluaran demi mengurangi defisit tersebut. Salah satunya adalah dengan dikeluarkannya tiga Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan (Perdirjampelkes) terkait Penjaminan Pelayanan Katarak, Pelayanan Persalinan Dengan Bayi Baru Lahir Sehat, dan Pelayanan Rehabilitasi Medik. (Kompas 2/8)
Dilansir oleh media berbeda (CNN Indonesia 19/9), Menteri Keuangan Mardiasmo menuturkan bahwa defisit tersebut akan ditutup dengan cairan suntikan modal senilai Rp 4,99 triliun yang berasal dari cadangan APBN 2018. Tak hanya itu, pemerintah juga merevisi Perpres Nomor 111 Tahun 2013 tentang JKN agar pajak rokok dapat menambal defisit BPJS Kesehatan. Dengan aturan ini, sebanyak 75 persen dari setengah penerimaan pajak rokok daerah dialokasikan ke BPJS Kesehatan.
Disadari atau tidak, kebijakan konyol semacam ini justru menunjukkan betapa kontradiksi nya posisi negara. Disatu sisi rokok dipandang sebagai zat yang berbahaya, tapi disisi lain cukai nya dimanfaatkan sebagai sumber dana. Wajar jika kemudian banyak anggapan yang menilai bahwa pemerintah mengobati warganya dengan mengeksploitasi warga lain untuk tambah sakit. Bahkan yang lebih parah, Ketua Gabungan Perusahaan Rokok (Gapero) Surabaya, Sulami Bahar berani mengklaim bahwa kretek merupakan sarana untuk bela negara, kretek memberikan kontribusi besar penerimaan negara, kretek sebelum dinikmati harus membayar lunas pajak dan cukainya, kretek penyelamat kesehatan masyarakat. (Serambinews 20/9)
Jika menilik pada penjelasan di laman Direktorat Jendral Bea Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan, akan didapati bahwa barang yang dikenai cukai adalah barang yang konsumsinya perlu dikendalikan, keberadaannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan efek negatif bagi masyarakat/lingkungan hidup, dan pemakaiannya perlu pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.
Tanda tanya besar, jika memang barang tersebut menimbulkan efek negatif, mengapa negara membiarkan nya tetap eksis? Jika kondisi tersebut dimaklumkan dengan adanya pungutan negara demi mencapai keadilan dan keseimbangan, bukankah resiko yang dihasilkan justru lebih mengkhawatirkan? Bahkan bisa berujung pada hilangnya nyawa.
Benarlah, bahwa solusi atas problematika yang ditawarkan sistem kapitalis memang tidak pernah logis. Semua bisa dianggap benar selama orientasi kebijakan mengarah pada keuntungan bisnis. Bahkan demi mendulang dukungan, dengan percaya dirinya Ketua Indonesian Health Economic Association (InaHea) Hasbullah Thabrany menganalogikan cukai ini dengan dam bagi jemaah haji karena melanggar aturan di Tanah Suci. (Kompas.com 21/9)
Perlu diketahui, defisit yang dialami BPJS Kesehatan sebenarnya tidak lepas dari celah yang diberikan oleh demokrasi untuk melakukan korupsi. Fakta ini yang tidak bisa disangkal. Dilansir oleh TEMPO.CO (20/6/16), Bupati Subang nekat menggunakan dana BPJS untuk menyicil hutang kampanye. Termutakhir, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Gresik Mohammad Nurul Dholam pun akhirnya resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Gresik, dalam kasus penarikan dana kapitasi puskesmas di Gresik dari BPJS kesehatan, yang dianggap merugikan keuangan negara miliaran rupiah (Kompas 28/8).
Sehingga, adalah konyol jika kemudian kerugian BPJS ini serta merta dilemparkan kepada rakyat. Serta merta dikarenakan rendahnya iuran yang disetorkan.
Memang beginilah resiko hidup di era kapitalisme, sehat mahal, sakit pun mahal. Kapitalisme pula lah yang mendikte pemimpin dan sistem kepemimpinan lancang mengesahkan kebijakan yang memudharatkan. Bahkan segala daya upaya akan dikerahkan demi meminimalisir tanggung jawab negara yang melibatkan anggaran.
Kondisi ini tentu berbanding terbalik dengan Islam, dimana kesehatan dipandang sebagai salah satu kebutuhan dasar yang pemenuhannya wajib diberikan oleh negara. Mustahil pula dijumpai kasta, karena seluruh rakyat akan dipandang setara dalam hal pelayanan.
Menjadi catatan terpenting, negara yang berasaskan Islam tidak akan bersembunyi dibalik kedok gotong royong dengan menarik setoran dari rakyat demi pemenuhan jaminan kesehatan. Karena alokasi anggaran sudah pasti tertata rapi, dengan memaksimalan segala potensi alam dengan penuh tanggung jawab.
Sungguh, adakah aturan kehidupan yang mampu membawa kemaslahatan dunia sekaligus keselamatan akhirat selain daripada Islam?
Penulis : Maya / Gresik