Oleh: Fatimah
Siswi SMP Negeri 1 Rancaekek
Presiden Joko Widodo telah menandatangani peraturan presiden (perpres) mengenai pemanfaatan cukai rokok dari daerah untuk menutup defisit keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Menanggapi hal itu, sebagian orang di media sosial mengaku bangga menjadi perokok karena aktivitasnya yang banyak ditentang ternyata memberi sumbangsih bagi pelayanan kesehatan masyarakat melalui BPJS Kesehatan. Selain itu, di media sosial juga muncul beragam gambar bungkus rokok yang diedit sedemikian rupa sehingga menampilkan gambar-gambar terkait BPJS Kesehatan.
Gambar terkait BPJS Kesehatan itu terpampang dalam bagian yang semestinya bergambar ilustrasi bahaya merokok. Peringatan pemerintah yang semestinya dicantumkan di bungkus rokok juga ikut diubah dengan narasi yang menyebutkan bahwa merokok dapat membantu BPJS Kesehatan, seperti: "Merokok Meringankan BPJS" atau "Merokok Mendukung BPJS".
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga menyebutkan bahwa pemerintah telah menggunakan dana cadangan untuk menutup defisit BPJS Kesehatan dari APBN 2018 sebesar Rp 4,9 triliun.
Fakta diatas dengan jelas menunjukan bahwa adanya ketidakberdayaan pemerintah dalam menutupi hutang piutang bahkan korupsi yang dilakukan oleh para pemerintah negara, salah satunya dalam menutupi defisit BPJS Kesehatan. Disini pemerintah hanya mengandalkan industri rokok untuk menutupi defisit BPJS Kesehatan.
Menggali dana dari pajak rokok di daerah yang disamakan dengan tetap membiarkan masyarakat untuk tetap merokok. Sementara pajak rokok dipakai untuk mengobati pasien peserta BPJS Kesehatan.
Inilah dampak dari penerapan sistem kapitalisme, dimana semuanya ditentukan oleh keuntungan semata, tidak mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Sudah saatnya kita kembali kepada sistem Islam yang paripurna yang pasti memberikan kesejahteraan bagi umat.
Wallahu’alam Bi Shawwab.