Oleh: Tri S, S.Si
(Penulis adalah Pemerhati Perempuan dan Generasi)
Mulai bulan Januari sampai dengan 14 September 2018, Disnaker Kabupaten Blitar mencatat ada 3.303 warga Kabupaten Blitar yang berangkat ke luar negeri menjadi TKI.
“Jumlah ini mengalami kenaikan 144 TKI dibandingkan dengan tahun sebelumnya pada periode yang sama. Trend kenaikan jumlah keberangkatan TKI ini terjadi sejak awal tahun 2018, khususnya untuk TKI non formal dengan tujuan Hongkong dan Taiwan,” jelas Jarun Kasi Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Blitar. (Mayangkaranews.com, 14/09/2018).
Derasnya arus pencari kerja ke negara tetangga adalah cermin dalam banyak hal. Cermin bagi sedikitnya lapangan pekerjaan di dalam negeri (ada, tetapi banyak diisi tenaga aseng), cermin bagi rendahnya gaji di dalam negeri, bahkan cermin bagi naiknya gaya hidup masyarakat yang harus dipenuhi dengan pendapatan tinggi.
Padahal banyak fakta yang menyebabkan bahwa melenggang ke luar negeri tak selamanya mendatangkan kesuksesan. Justru menyisakan banyak pengorbanan. Mulai dari berpisah dengan keluarga, hingga pengorbanan berada di negeri orang dalam kesendirian dan harus menuruti apa kata majikan. Bahkan tidak jarang segenggam uang yang didapatkan harus ditukar dengan buyarnya rumah tangga begitu sampai di tanah air.
Apa yang dilakukan TKI hingga harus merantau jauh adalah upaya riil dari setiap warga negara yang mendambakan kesejahteraan hidup. Mereka memilih keluar lantaran di dalam negeri sangat sulit mendapatkan penghidupan sejahtera, kecuali jika menjadi ASN. Namun, tak semua masyarakat sanggup mencapai pendidikan tinggi sebagai salah satu pintu mencapai posisi ASN. Maka TKI dipandang sebagai pemutus mata rantai kemiskinan di tengah masyarakat.
Fenomena TKI yang semakin naik memang menjanjikan devisa yang naik. Namun kejadian ini sesungguhnya adalah tamparan keras bagi pemerintah sendiri dalam hal kemampuan menjamin kesejahteraan. Dalam hal menciptakan lapangan pekerjaan. Dan dalam pendistribusian kekayaan di tengah masyarakat.
Kondisi ini tentu berbeda dengan masa kekhilafahan Umar bin Abdul Aziz. Dengan sistem Islamnya, sang khalifah mampu mewujudkan masyarakat 100% di luar kriteria mustahik zakat. Tentu ada upaya sistematis untuk mencapai kesuksesan itu.
Dan jawabannya adalah di sistem ekonomi Islam. Sistem yang mengatur dan mengkondisikan setiap warganya bisa bekerja. Sistem yang meregulasi pendistribusian kebutuhan terjangkau dan terpenuhi bagi setiap kepala (bukan kesejahteraan yang dirata-rata ala kapitalisme). [Tri S.]