Bencana Dibalik Pariwisata

Oleh : Endang Setyowati


Tgl 28 September 2018 adalah hari dimana akan selalu di ingat oleh masyarakat Palu, khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya, karena sore hari itu terjadinya gempa dan di susul dengan adanya tsunami. Saat itu, masyarakat setempat sedang menantikan acara pembukaan festival "Pesona Palu Nomoni" yang di gelar di pantai tersebut.

"Ada seribuan warga yang berkumpul, termasuk pelajar yang akan ikut mengisi acara festival itu," kata Andrian saksi mata kepada wartawan LKBN antara. Menteri Pariwisata, Arief Yahya bersama Wali Kota Palu, Hidayat, semula dijadwalkan akan membuka acara tersebut. Tetapi, para pejabat saat itu belum hadir di tempat acara pembukaan festival saat bencana tsunami terjadi.(Republika, 29/09/2018).

Dengan mengadakan festival Pesona Palu Nomoni tersebut, diharapkan mampu mengangkat kembali kekayaan adat budaya masyarakat di lembah dan sepanjang teluk Palu.

Sulawesi tengah memang sangat kaya akan etnis, lebih dari 20 suku tinggal di provinsi ini, selain suku Kaili, ada juga suku Kulawi, Mori, Lore, Bungku, Pamona dan lain-lain. Dengan ragam adat dan bahasa yang juga berbeda-beda. Saat itu akan diadakan upacara baliya yaitu upacara adat duku Kaili, yang mana diyakini untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit dengan meminta bantuan kepada selain Allah SWT yang mana upacara itu di pimpin oleh dukun.

Pengembangan pariwisata dengan menghidupkan budaya lokal yang mengandung kesyirikan dengan dalih memiliki nilai"daya jual" terbukti menuai bencana.

Cara pandang para sosialisme-komunisme terhadap bencana

Secara mendasar, ideologi Sosialisme-Komunisme didasarkan pada akidah materialisme. Akidah ini menyatakan bahwa manusia, alam semesta dan kehidupan ini semuanya berasal dari materi (benda). Materi adalah sesuatu yang azali. Ia tidak diciptakan oleh Tuhan, tetapi ada dengan sendirinya (wâjib al-wujûd).

Materialisme menempatkan materi sebagai tolok ukur segala sesuatu. Sesuatu yang real tidak lain adalah sesuatu yang bersifat material atau fisikal. Sebaliknya, sesuatu yang immaterial atau nonmaterial tidak dipandang sebagai sesuatu yang real. Tuhan, misalnya, bukanlah sesuatu yang real, karena keberadaannya—secara material dan fisikal—tidak bisa dibuktikan. Karena itu ideologi Sosialisme-Komunisme ini terkenal sebagai ideologi yang anti Tuhan atau anti agama.

Karena Tuhan dianggap tidak ada dan segala sesuatu dipandang berasal dari materi, maka aturan-aturan kehidupan yang dibuat oleh manusia harus mengikuti hukum materi (yang selalu mengalami evolusi), bukan mengikuti hukum Tuhan. Maka mereka memandang bahwa bencana alam sebatas peristiwa alam yang terjadi dengan sendirinya dan tidak ada hubungannya dengan perbuatan manusia.

Cara pandang Islam menyikapi bencana

Bencana merupakan bentuk teguran dan peringatan Allah SWT atas kerusakan dan kemungkaran yang merajalela oleh tangan-tangan manusia.

Allah SWT berfirman:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ

zhoharol-fasaadu fil-barri wal-bahri bimaa kasabat aidin-naasi liyuziiqohum ba'dhollazii 'amiluu la'allahum yarji'uun.

"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."

(QS. Ar-Rum 30: Ayat 41).

Serta segala bentuk bencana alam merupakan bukti kemahakuasaan Allah SWT. Dengan begitu kita sebagai manusia seharusnya menyadari betapa manusia itu sangat lemah, terbatas dan tidak berdaya dihadapan Allah SWT.

Dan semuanya semata-mata atas kehendak Allah SWT, Allah SWT berfirman:

"Sudah merasa amankah kamu, bahwa Dia yang di langit tidak akan membuat kamu ditelan bumi ketika tiba-tiba ia terguncang?

Atau sudah merasa amankah kamu, bahwa Dia yang di langit tidak akan mengirimkan badai yang berbatu kepadamu? Namun kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku."

(QS. Al-Mulk 67:16-17)

Dan Islam memandang bahwa manusia, alam semesta dan kehidupan berasal dari—atau diciptakan oleh—Tuhan, yakni Allah SWT. Dialah Pencipta sekaligus Pengatur alam semesta beserta seluruh isinya.

Allah SWT adalah Mahatahu atas segala sesuatu yang Dia ciptakan dan Dia atur. Islam pun memandang bahwa sebagai ciptaan (makhluk), manusia—meskipun yang paling mulia di antara makhluk-Nya—memiliki banyak kekurangan dan keterbatasan. Di sisi lain Allah SWT telah memberikan seperangkat aturan bagi manusia untuk mengatur kehidupannya, yakni al-Quran dan as-Sunnah. Karena itu masuk akal jika manusia mengatur seluruh aspek kehidupannya—baik urusan akhirat maupun urusan dunia; baik urusan ibadah maupun muamalah—dengan berpedoman pada al-Quran dan as-Sunnah yang bersumber dari Penciptanya, yakni Allah Yang Mahatahu. Bahkan manusia wajib tunduk pada al-Quran dan as-Sunnah sebagai sumber hukum bagi kehidupan mereka.

Sedangkan  pengelolaan pariwisata dalam pandangan Islam bukan sabagai sumber pendapatan negara atau daerah. Dan melarang tumbuh suburnya kemaksiatan dan kemungkaran.

Pariwisata merupakan sebagai ajang taqarrub ilallah atau kesadaran akan kemahabesaran Allah SWT, seperti keindahan pantai, alam pegununggan dan sebagainya. Serta penanaman nilai tentang kehebatan Islam dan Umatnya yang mampu menghasilkan produk madaniah yang luar biasa berupa peninggalan bersejarah dari peradaban Islam, untuk lebih mengokohkan keyakinan kepada Allah SWT.

Wallahu a'lam bi ash-shawwab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak