Oleh.Tety Kurniawati ( Anggota Akademi Menulis Kreatif)
Rangkaian bencana bertubi yang menimpa negeri. Mulai dari gempa bumi Lombok, NTB pada bulan Juli dan Agustus. Disusul gempa dan tsunami di Sulawesi Tenggara bulan lalu. Telah menewaskan ribuan orang dan menyebabkan hancurnya rumah dan infrastruktur penting. Kerugian ditaksir mencapai Rp 20 Triliun lebih.
Keprihatinan muncul dari berbagai belahan dunia. Salah satunya datang dari Grup Bank Dunia yang secara resmi mengumumkan bantuan dengan nilai total mencapai 1 miliar dollar AS atau sekitar Rp 15 triliun untuk penanganan bencana alam di Indonesia. ( Kompas.com 15/10/2018).
Senada dengan hal tersebut, ADB memberikan komitmen berbentuk hibah tanggap darurat sebesar 3 juta dolar AS dan pinjaman yang dapat dicairkan setiap saat dibutuhkan hingga sebesar 1 miliar dolar AS. ( m.tribunnews.com 16/10/2018)
Faktanya, kerugian akibat bencana melebihi kesanggupan negara untuk menanganinya. Besar anggaran berbanding terbalik dengan kebutuhan angaran penanganan bencana. Alhasil mitigasi bencana terpantau lamban dan terkesan seadanya. Bak anak tiri, korban bencana pun mesti ekstra sabar. Kala Annual Meeting IMF-World Bank digelar. Gelimang kemewahan dan pesta pora ditengah keprihatinan mendalam. Mau tak mau mempertajam jurang kesenjangan. Ada rasa keadilan yang terabaikan.
Tak berhenti sampai disana. Rakyat dipaksa menelan pil pahit selanjutnya. Alih-alih memberlakukan status bencana nasional yang dapat memaksimalkan bantuan dan pengerahan sumber daya. Sebagai pendukung percepatan upaya pemulihan pasca bencana. Negara justru melirik skema hutang berbungkus bantuan kemanusiaan sebagai solusi. Tak sadar, justru mengundang bencana lebih besar di esok hari.
Bagi negera pengemban ideologi kapitalis. Hutang dan pajak adalah sumber pendapatan. Maka wajar hutang senantiasa jadi senjata andalan menangani masalah minimnya anggaran. Meski kenyataan menunjukkan bagaimana ekonomi berazaskan ribawi memberi kerusakan hakiki. Menghadirkan krisis dan merobohkan sendi-sendi ekonomi. Hilangnya kedaulatan negeri. Teramputasinya peran negara sebagai pembuat regulasi. Hingga merugikan rakyat sendiri jadi konsekuensi. Cukuplah kiranya apa yang terjadi pada Zimbabwe yang terpaksa mengganti mata uang. Srilangka yang harus melepas pelabuhan. Membuktikan bahwa hutang riba meniscayakan kerugian
Syariat Islam mengatur sedemikian rupa sumber-sumber pemasukan guna penanganan bencana. Pos-pos itu antara lain : pos fa'iy ( harta rampasan perang), pos kharaj ( pungutan atas tanah kharajiyyah) yakni biaya atas tanah setiap negeri yang masuk Islam lewat proses futuhat, pos milkiyyah 'ammah ( kepemilikan umum) berasal dari hasil tambang yang dikelola oleh negara dan hasilnya menjadi milik umum dan pos dlaribah ( pungutan atas kaum muslimin yang mampu) yang diambil pada saat kas negara minim sedang kebutuhan ri' ayah harus tetap berjalan.
Islam memberikan perhatian sekaligus perlindungan yang memadai bagi korban bencana. Tak kan ada rakyat yang terabaikan haknya. Karena hakikat pemimpin dalam Islam adalah mereka yang terdepan dan terbaik pelayanannya kepada rakyatnya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW : “Tidak ada seorang pemimpin yang menangani urusan kaum muslimin, kemudian tidak bersungguh-sungguh dan melaksanakannya dengan baik, kecuali ia tidak akan masuk surga bersama mereka.” (HR Muslim)
Islam juga melarang segala bentuk hutang luar negeri berkedok bantuan kemanusiaan. Agar tertutup jalan bagi negara-negara kafir untuk memanipulasi kebijakan, mengeksploitasi hingga menguasai sumber daya alam umat Islam. Sesuai firman Allah : "dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman" ( QS. An Nisa : 141).
Demikianlah jika negara ingin keluar dari jerat rentenir global. Maka meninggalkan sistem sekuler kapitalis yang nyata menyesatkan harus segera dilakukan. Beralih pada sistem Islam yang terbukti berhasil menghadirkan kesejahteraan selama 14 abad lamanya. Wallahu a'lam bish showab.