(source:dakwahyu.com)
Oleh: Fatimah
Azzahra, S.Pd
Ialah Jundub bin Janadah. Pria
yang berasal dari suku Ghifar. Suku yang terkenal dengan keunggulannya dalam
menempuh perjalanan jauh dengan medan yang sulit. Suku yang juga terkenal karena
kebiasaannya merompak kafilah.
Rasa takjub menghiasi wajah
Rasulullah saw. saat menyaksikan keislaman Jundub bin Janadah yang lebih biasa
kita dengar sebagai Abu Dzar Al Ghifari. Ia yang datang ke Mekah dengan
terhuyung-huyung karena letih menempuh perjalanan panjang. Tapi, matanya
bersinar bahagia menjemput iman pada Allah dan Rasul-Nya. Walau Abu Dzar harus
menyamar saat memasuki Mekah, demi keselamatan dan tercapainya tujuan menemui
Rasulullah saw. Kekukuhan dan keoptimalan usahanya membuahkan hasil, hingga
akhirnya ia berislam. Rasul bersabda,
“Sesungguhnya Allah memberi petunjuk kepada siapa yang disukai-Nya!”.
Wataknya yang keras terlihat dari
kisah saat Abu Dzar kukuh ingin meneriakkan kalimat tauhid di tengah Ka’bah.
Hingga akhirnya ia rubuh karena dipukuli oleh kaum Quraisy. Namun, hal ini tak menyiutkan
nyalinya dalam menyuarakan kalimat tauhid. Manisnya iman telah tertanam dalam
dirinya, walau ia baru saja memeluk Islam. Sampai akhirnya Rasul meminta Abu
Dzar untuk pulang dan mendakwahkan Islam di kampung halaman.
Pada suatu hari, ketika Rasul dan
kaum muslimin telah hijrah ke Madinah, terlihat kepulan debu yang menghampiri
Madinah. Kepulan debu yang berasal dari barisan panjang pengendara kuda dan
pejalan kaki. Rombongan besar itu meneriakkan takbir yang bergemuruh. Itulah
suku Ghifar dan Aslam yang telah beriman kepada Allah. Rasul pun menyambut
mereka dengan sabdanya ,” Ampunan Allah bagi suku Ghifar, dan keselamatan bagi
suku Aslam”.
Bagi Abu Dzar, kebenaran harus
dikumandangkan, kebenaran yang bisu bukanlah kebenaran! Abu Dzar begitu
menyintai haq dan membenci kebathilan. Hingga ia berani tampil di depan
menyuarakan kebenaran apapun resikonya. Hasilnya pun sudah terbukti. Dan ini
terus melekat dalam diri Abu Dzar walau Rasul sudah mendahuluinya.
Sampai akhirnya tibalah saat kaum
muslim sedikit demi sedikit terbuai dengan dunia. Terbenam dengan kemewahan.
Harta menjadi tuan yang mengendalikan manusia. Abu Dzar tidak tinggal diam, ia
menjumpai para pembesar dan hartawan yang cenderung menumpuk harta. Ia
mengingatkan tentang agama Islam kepada mereka; bahwa kenabian bukan suatu
kerajaan, menjadi rahmat karunia bukan adzab sengsara, mengajarkan kerendahan
hati bukan kesombongan diri, persamaan bukan pengkastaan, kesahajaan bukan
keserakahan, kesederhanaan bukan keborosan, kedamaian dan kebijaksanaan dalam
menghadapi hidup bukan terpedaya dan mati-matian dalam mengejarnya!
Abu Dzar pergi menghampiri
pusat-pusat kekuasaan dan gudang harta. Lisannya terus-menerus meneriakkan
kalimat tajam. “Beritakanlah kepada para penumpuk harta, yang menumpuk emas dan
perak, mereka akan diseterika dengan seterika api neraka, meneyterika kening
dan pinggang mereka di hari kiamat”. Laku Abu Dzar ini meresahkan penguasa dan
golongan berharta. Untuk meredam gejolak di tengah umat, Abu Dzar diminta untuk
tinggal di Madinah, di samping khalifah. Namun, Abu Dzar menolak, “Aku tidak
memerlukan dunia tuan-tuan!”, tegasnya. Sampai akhirnya ia diberi ijin untuk
tinggal di Rabadzah, tempat tinggalnya.
Benarlah sabda Rasul tentang
jabatan, “..ia merupakan amanat dan dihari kiamat menyebabkan kehinaan dan
penyesalan.., kecuali orang yang mengambilnya secara benar, dan menunaikan
kewajiban yang dipikulkan padanya”.
Sungguh kini kita butuh akan
sosok seperti Abu Dzar Al Ghifari, yang kukuh memegang prinsip. Rela menjauhi
dunia dan keras melawan kebatilan. Akankah hadir kembali sosok Abu Dzar dalam
pemuda dan penguasa di jaman sekarang ini? Sudah seharusnya ia mendekap iman
dan islam daripada dunia dan isinya. Semoga Allah hadirkan kembali sosok Abu
Dzar dalam kehidupan kita saat ini. Amin.
Wallahu’alam bish shawab.
Tags
Sosok