Oleh: Tri S, S.Si
(Penulis adalah Pemerhati Perempuan dan Generasi)
Sekarang tengah ramai di media sosial soal aksi pembakaran bendera hitam yang bertuliskan kalimat syahadat. Ada satu pihak yang entah karena apa membakar bendera ini. Tebakan yang paling mudah karena mereka mengira bendera itu identik dengan bendera organisasi teroris ISIS atau organisasi yang dinyatakan terlarang (Republika.co.id/23/10/2018).
Dengan adanya aksi pembakaran bendera tauhid ini, umat Islam merasa terpanggil dan bangkit. Umat Islam akan mengadakan aksi bela Tauhid. Aksi Bela Tauhid bakal digelar di Serang, Banten, Rabu (24/10), untuk menentang aksi pembakaran bendera dengan kalimat tauhid. Panitia penyelenggara menargetkan seribu peserta hadir dalam aksi tersebut.
“Besok bakda zuhur rencananya. Kami targetkan ada seribu orang yang hadir, tapi wallahu ‘allam. Kami tidak bisa cegah keinginan umat,” kata koordinator Aksi Bela Tauhid Al Faqier Abu Wildan, saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (23/10).
Dia mengaku berasal dari Forum Persaudaraan Ummat Islam Banten (FPUIB) yang terdiri dari berbagai ormas dan pesantren. Dalam aksi ini sejumlah pesantren disebut sudah memastikan kehadirannya, diantaranya Ponpes Al Islam, Ponpes Ardaniyah, Ponpes Sabilurrahman, dan Ponpes Nurul Bantany.
Semenjak masa Rasulullah SAW, umat Islam sudah mempunyai bendera. Dalam bahasa Arab, bendera disebut dengan liwa’ atau alwiyah (dalam bentuk jamak). Istilah liwa’ sering ditemui dalam beberapa riwayat hadis tentang peperangan. Jadi, istilah liwa’ sering digandengkan pemakaiannya dengan rayah (panji perang).
Istilah liwa’ atau disebut juga dengan al-alam (bendera) dan rayah mempunyai fungsi berbeda. Dalam beberapa riwayat disebutkan, rayah yang dipakai Rasulullah SAW berwarna hitam, sedangkan liwa’ (benderanya) berwarna putih. (HR Thabrani, Hakim, dan Ibnu Majah).
Meskipun terdapat juga hadis-hadis lain yang menggambarkan warna-warna lain untuk liwa’ dan rayah, sebagian besar ahli hadis meriwayatkan warna liwa’ dengan warna putih dan rayah dengan warna hitam. Secara ukuran, rayah lebih kecil dari liwa’. Mengenai panjang dan lebarnya, tidak ditemui riwayat yang menjelaskan secara rinci dari bendera maupun panji-panji Islam pada masa Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadis dikatakan: “Panji Rasulullah SAW berwarna hitam, berbentuk segi empat dan terbuat dari kain wol.” (HR Tirmidzi).
Rayah dan liwa sama-sama bertuliskan La ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah. Pada Rayah (bendera hitam) ditulis dengan warna putih, sebaliknya pada liwa’ (bendera putih) ditulis dengan warna hitam. Rayah dan liwa’ juga mempunyai fungsi yang berbeda.
Rayah merupakan panji yang dipakai pemimpin atau panglima perang. Rayah menjadi penanda orang yang memakainya merupakan pemimpin dan pusat komando yang menggerakkan seluruh pasukan. Jadi, hanya para komandan (sekuadron, detasemen, dan satuan-satuan pasukan lain) yang memakai rayah.
Rayah diserahkan langsung oleh khalifah kepada panglima perang serta komandan-komandannya. Selanjutnya, rayah dibawa selama berperang di medan peperangan. Karena itulah, rayah disebut juga Ummu al-Harb (Induk Perang).
Mengenai hal ini, berdalil dari hadis dari Ibnu Abbas mengatakan, Rasulullah ketika menjadi panglima di Perang Khandak pernah bersabda, “Aku benar-benar akan memberikan panji (rayah) ini kepada orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya serta dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya.” Rasulullah kemudian memberikan rayah tersebut kepada Ali bin Abi Thalib yang saat itu menjadi ketua divisi pasukan Islam. (HR Bukhari).
Ibnu Asakir dalam bukunya Tarikh ad-Dimasyq jilid IV/225-226 menyebutkan, rayah milik Rasulullah SAW mempunyai nama. Dalam riwayat disebutkan, nama rayah Rasulullah SAW adalah al-Uqab.
Selain itu, fungsi liwa’ sebagai penanda posisi pemimpin pasukan. Pembawa bendera liwa’ akan terus mengikuti posisi pemimpin pasukan berada. Liwa’ dalam peperangan akan diikat dan digulung pada tombak. Riwayat mengenai liwa’, seperti yang diriwayatkan dari Jabir RA yang mengatakan, Rasulullah membawa liwa’ ketika memasuki Kota Makkah saat Fathul Makkah (pembebasan kota Makkah). (HR Ibnu Majah). [Tri S]