Antara Citra dan Bencana

Oleh Maya Desmia Pamungkas, S.Pd. (Muslimah Peduli Bangsa)

Tak berselang lama dari daerah Lombok, Nusa Tenggara Barat diguncang gempa, kini giliran Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah yang terguncang. Bukan hanya gempa, bencana kali ini juga membawa serta tsunami serta semburan lumpur yang menghancurkan banyak bangunan, membelah jalanan menjadi retakan, serta membuat ribuan nyawa melayang. Hingga tulisan ini dibuat (03/10), korban telah mencapai angka belasan ribu.

Tentu saja ini menambah duka untuk kesekian kalinya. Bencana datang bertubi-tubi ini telah memakan kerugian materil dan imateril yang tak sedikit. Anak-anak kehilangan orangtuanya, kakak kehilangan adiknya, sanak saudara saling terpisah. Jalanan yang hancur lebur dan bangunan-bangunan yang dikira kokoh tentu tidaklah murah. Pemulihan insfrastruktur diperkirakan memakan waktu yang lama. 

Termasuk, proses evakuasi korban juga demikian. Sutopo, Kepala Basarnas, dalam penjelasannya di acara Indonesia Lawyers Club (ILC) pada Selasa (2/10) menjelaskan bahwa melihat apa yang terjadi dilapangan ada kemungkinan proses kerja mereka lebih lama dari biasanya.

Untungnya, jiwa persaudaraan masyarakat Indonesia masihlah sangat tinggi. Selepas kabar ini tersiar melalui berbagai lini media, tanpa diminta banyak yang langsung pergi menuju lokasi bencana untuk menjadi relawan. Tak sedikit pula yang membuka posko sekaligus menyalurkan bantuan. Mereka melakukannya berbondong-bondong tanpa pamrih. Dorongan keimanan dan kemanusiaan cukup untuk menadi pijakan.

Namun, ada beberapa pernyataan ‘menggelitik’ yang hadir ke ruang publik datang dari beberapa komponen pemerintah dalam menyikapi bencana. Pernyataan yang terkesan janggal dan sulit untuk dibayangkan jika itu keluar dari pemerintah sebagai pelindung rakyat dari berbagai marabahaya yang menimpanya.

Pertama, adalah pernyataan Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo yang menyatakan bahwa tak masalah bila masyarakat Palu saling menjarah. Di tengah langkah yang terkesan lamban dalam merespon bencana, pemerintah memberikan ‘arahan’ bagi rakyat untuk menjarah ketimbang kelaparan tanpa juklak dan juknis yang jelas dan malah merugikan rakyat yang lain.

Hingga kemudian nampaklah kita menyaksikan di media sosial masyarakat menjarah tok-toko. Bukan hanya makanan dan minuman, bahkan barang-barang mewah dan elektronik turut dijarah. Menjadi pemberitaan yang mempermalukan Indonesia di mata dunia.

Padahal, ada jalan lain yang bisa ditempuh. Ada pernyataan lain yang lebih mendidik. Ada langkah lain yang lebih bermartabat.

Lucunya, ketika video-video penjarahan viral, berbagai petinggi negara mencoba membantah keberadaan aktivitas penjarahan. Seolah hendak memperbaiki citra yang rusak. Padahal, rakyat tak bodoh dan cukup kuota untuk menyaksikan berbagai liputan citizen journalism yang merambat cepat di media sosial tentang fakta tersebut.

Kedua, adalah pernyataan perwakilan dari Kementrian Kominfo yang menanggapi foto gerak cepat relawan dari Front Pembela Islam yang sedang sibuk turun membantu saudara-saudaranya di Sulawesi Tengah sebagai berita hoax. Rasa-rasanya sekalipun benar memang hoax, pernyataan semacam ini kurang prioritas untuk di lempar ke tengah publik. Ketimbang bertujuan memberikan komunikasi yang memberi ketenangan, harapan, serta optimisme ditengah duka, pernyaataan semacam ini malah memicu antipati dan perpecahan.

Namun sayangnya, berbagai media pembanding dari media sosial bahkan hingga media luar negeri sekaliber Guardian mengungkapkan fakta tentang eksistensi relawan dari FPI yang sangat gigih dan bersemangat dalam membantu para korban. Foto-foto dan videonya bertebaran di mana-mana seolah memberi penjelasan tentang mana informasi yang sebenar-benarnya hoax.

Berbanding terbalik dengan berbagai laporan langsung masyarakat yang berada di lokasi bencana. Banyak yang memberi pesan secara tersirat maupun tersurat, bahwa pemerintah nampak lamban dalam bereaksi. 

Dua hal di atas memberikan semacam kesan bahwa pemerintah yang kini berkuasa tak mau kehilangan muka. Di tengah benacana yang ada, mereka nampak juga tak mau lawan politiknya mendapat tempat di hati masyarakat (dalam hal ini FPI).  Aroma upaya mempertahankan kekuasaan menjelang gelaran Pemilu terbawa di tengah bencana.Padahal, gerak-gerak mandiri dan simpatik semacam itu mestinya di apresiasi jika pemerintah memang bersikap netral dan jujur berpihak pada rakyat.  

Cobalah berempati dan jika perlu tanyalah pada para korban. Pasti yang dibutuhkan korban bencana dari Pemerintah bukan statemen-statemen berbau politik.Mereka butuh gerak cepat dan langkah yang mengayomi mereka. Bukan kepentingan-kepentingan politik sesaat.

Bencana adalah duka. Bukan lahan mengangkat citra dan menjatuhkan lawan politik. Sikapi dengan petolongan dan muhasabah. Akui saja berbagai kesalahan bila memang salah. Jadikan pelajaran. Jangan-jangan ini adalah teguran bagi kezaliman dan kebohongan yang merajalela. 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak