Waspada Eksploitasi Perempuan Era Digital


Oleh : Etti Budiyanti


Member Akademi Menulis Kreatif dan Komunitas Muslimah Rindu Jannah


Yogyakarta menjadi tuan rumah perhelatan para tokoh-tokoh perempuan dunia dan Indonesia pada gelaran Sidang Umum ke-35 ICW (International Council of Women) dan Temu Nasional Seribu Organisasi Perempuan Indonesia,  11-20 September 2018. Sidang Umum ke-35 ICW bertema Transforming Society Trough Women Empowerment (Mentransformasi Masyarakat Melalui Pemberdayaan Perempuan).


Kaum kapitalis global tak henti-hentinya melakukan kebohongan. 

Mereka memanfaatkan lembaga internasional hingga lokal,  pemerintah,  rekanan bisnis,  media,  institusi kemasyarakatan hingga masyarakat sipil untuk memprovokasi perempuan agar rela bekerja untuk maksimalisasi potensi ekonominya. 


Mereka meyakinkan masyarakat untuk  percaya jargon-jargon bombastis seperti tema 35th ICW di Yogyakarta tersebut. 


Bagaimana  bisa, pemberdayaan ekonomi perempuan akan mampu mengubah masyarakat menjadi sejahtera? 


Dunia kapitalis memang belum berhasil menarik seluruh perempuan terlibat dalam ekonomi. 


Komitmen Internasional yang menuntut keterlibatan semua negara,  terus menerus diperbaharui.  Menuju tahun 2030, women's quality and empowerment menjadi tujuan ke-5 dari 17 tujuan Sustainable Development Goals (SDGs).


Kalangan akademisi,  bank raksasa, lembaga keuangan besar dan perusahaan multinasional begitu percaya pada gagasan bahwa tahun 2030 adalah titik balik "total". Mereka sadar,  tantangan pembangunan masa depan harus dihadapi.  Termasuk menggarap potensi besar ekonomi perempuan melalui perantara pemimpin yang pro kebijakan kapitalistik. 


Era partisipasi penuh (full participation age) untuk memobilisasi perempuan mewujudkan talenta ekonomi mereka memang konsisten didengungkan dunia. Tujuannya untuk menghilangkan rasa bersalah pada diri perempuan jika harus mati-matian mengejar target ekonomi,  sekalipun harus merampas kehidupan alami mereka sebagai ibu generasi. 


Di era kekinian, negara-negara ASEAN harus berhadapan dengan Revolusi Industri 4.0 (Industry Revolution 4.0). Ambisinya, dengan tehnologi RI 4.0 harus mampu menjadikan ASEAN sebagai pasar digital tunggal sehingga mampu membangun pan-regional service dalam bidang keuangan,  kesehatan dan e commerce. 


Pasar ASEAN memang luar biasa.  Memiliki 630 juta warga dengan kekuatan belanja yang terus meningkat. Yang mengerjakan proyek-proyek ekonomi jelas penduduknya sendiri.  Perempuan juga harus menjadi bagian penting proyek-proyek tersebut mengingat rasio gender di ASEAN secara umum berimbang. 


Begitu besar harapan kapitalis atas perempuan sehingga Mc Kinsey memperkirakan ekonomi global akan kehilangan US $4,5 Triliun Pendapatan Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2025 jika melepaskan begitu saja potensi ekonomi perempuan. Maka mengkaitkan pemberdayaan ekonomi perempuan dan perkembangan teknologi digital akan menjadi hitung-hitungan yang menguntungkan bagi bisnis masa depan. 


*Ilusi Menumbuhkan Ekonomi Melalui Perempuan*


Sungguh mengherankan sekali mengkaitkan pertumbuhan ekonomi dengan perempuan.  Menumbuhkan ekonomi melalui pemberdayaan ekonomi perempuan adalah ilusi.  


Sejatinya,  *stagnasi ekonomi* yang melanda hampir seluruh wilayah dunia,  *disebabkan* :

1. Pasar terbatas sehingga menjadikan produk negara-negara maju sulit mencapai pasar berpangsa luas. 

2. Ketergantungan kapitalisme pada sektor ekonomi non riil. 

3. Kredit macet

4. Pengendapan aset finansial di rekening gendut

5. Proyek investasi mangkrak. 


Semuanya berakibat pada krisis ekonomi yang akan menghentikan pergerakan ekonomi.  

Jadi solusi meningkatkan pertumbuhan ekonomi adalah meniadakan faktor-faktor  penyebabnya.  Bukan mobilitas tenaga,  pikiran maupun potensi internal perempuan.


*Meluruskan Argumentasi Pegiat Gender*


Para pegiat gender memandang bahwa teknologi sangat penting untuk kesejahteraan ekonomi perempuan.  Dalam pertemuan di Brussel 11 April 2008 dengan tema All on Board-Closing the Digital  Gap for Women and Girls in Developing Countries disebutkan bahwa teknologi dapat meningkatkan kesejahteraan wanita karena saat ini terlalu banyak wanita yang miskin. 

Oleh karena itu dalam Rencana Strategis UN Women, inovasi dan teknologi sebagai  penggerak perubahan merupakan prioritas. 


UN Women sebagai badan dunia bertugas mengawal terwujudnya kesetaraan gender. 


Salah satunya bergabung dengan ITU (Lembaga PBB untuk informasi dan komunikasi). 


Menurut Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon :

"Kesetaraan untuk perempuan dan anak perempuan tidak hanya merupakan hak asasi manusia, namun itu adalah keharusan sosial dan ekonomi.  Jika perempuan dididik dan diberdayakan,  ekonomi lebih produktif dan kuat.  Jika perempuan sepenuhnya diwakili,  masyarakat lebih damai dan stabil. "


Oleh karena itu berbagai upaya untuk meningkatkan akses perempuan terhadap TIK (Teknologi Informasi dan Komputer) sejatinya adalah demi peningkatan partisipasi perempuan dalam dunia kerja. Para pegiat gender meyakini meningkatnya partisipasi perempuan akan mempercepat pertumbuhan ekonomi  dan akan membawa kesejahteraan. 


Dengan demikian jelaslah bahwa peningkatan akses perempuan terhadap TIK adalah demi memperkerjakan perempuan. Perempuan diberdayakan demi mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi.  Perempuan "dipaksa" bekerja dengan dalih mewujudkan kesetaraan gender yang telah dikampanyekan secara global.  


Negara seperti Indonesia pun dipaksa mengikutinya demi tercapainya target global. 


Sesungguhnya hal ini adalah bentuk eksploitasi perempuan dalam bidang ekonomi. Beban ganda harus ditanggung oleh perempuan.  Berperan di ranah publik dan domestik. 


Kesetaraan gender telah memberikan beban berat pada perempuan.  Perempuan diseret ke ranah publik dan juga menanggung beban sebagai pencari nafkah. Pada akhirnya justru peran sebagai pendidik generasi terabaikan dan menghantarkan kepada berbagai persoalan generasi dan lemahnya ketahanan keluarga.


Perempuan dalam kumparan kapitalisme menjadi mesin capital yang mencabut fitrahnya sebagai ibu dan pengatur keluarga.  Pada akhirnya menghasilkan krisis dalam kehidupan keluarga,  kerusakan masyarakat dan kehancuran bangsa. 


*Solusi Islam*


Islam sebagai sistem dari pencipta manusia,  mengatur semua hal yang berkaitan dengan kehidupan.  Pun masalah nafkah.  


Islam telah meletakkan tanggung jawab mencari nafkah pada laki-laki dan memuliakan perempuan sebagai pendidik generasi.  


Meski bekerja bagi perempuan mubah hukumnya dalam Islam,  namun Islam tidak membebaninya dengan kewajiban menanggung nafkah.  Para laki-laki dan suamilah yang diwajibkan oleh Allah untuk mencari nafkah. Islam juga meletakkan tanggung jawab nafkah bagi keluarga yang berkendala dan keluarga yang tidak mempunyai laki-laki pada pundak negara.  Islam memiliki berbagai mekanisme dalam sistem ekonomi dan politiknya yang dapat  menjamin kesejahteraan rakyatnya individu per individu. 


Meski Islam tidak menjadikan kewajiban mencari nafkah pada perempuan,  namun Islam memberikan kesempatan yang sama pada perempuan untuk menuntut ilmu termasuk TIK.  


Namun akses terhadap TIK ini bukan untuk menjadikan perempuan masuk dalam pasar kerja untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara.  


Penguasaan dan kemudahan akses ini justru dimanfaatkan untuk memudahkan pemenuhan perannya sebagai ibu dan pendidik generasi.  Karena sesungguhnya,  peran perempuan di era digital bukan untuk dikapitalisasi.


  

Wallahua'lam bishowwab.

1 Komentar

  1. Masyaa Allah...
    Critis sekali ibu ini. Terus menulis ya bu, tulisannya benar2 mengingatkan para perempuan dimana ia seharusnya berjuang sesuai fitrahnya.👍😍

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak