Oleh: Siti Maisaroh, S.Pd
Dua kubu calon presiden Indonesia untuk lima tahun kedepan tengah bergerak dari garis star. Pamer kelebihan, unjuk kebolehan, pertarungan ‘urat saraf’ tak terelakan. Dari dana kampanye yang jumlahnya triliunan, sampai tim kampanye sebagai corong masing-masing kubu yang jumlahnya ratusan.
Tak mungkin disia-siakan. Suara kaum Muslim adalah yang paling dilirik dan ‘diselerai’ oleh siapa saja yang ingin menang. Karena suara kaum Muslim bisa menentukan jatuh bangunnya sebuah kursi kekuasaan. Jangan anggap remeh, aksi 212 menjelang pilgub Jakarta telah menyatukan suara umat Muslim untuk bersama menyuarakan “Haram Pemimpin Kafir”.
Hingga ulama yang menjadi kiblat keberpihakan umat dalam segala hal termasuk dalam hal memilih pemimpin, ‘dirangkul’ olehnya yang ingin terunggul. Sebagaimana Jokowi gandeng ulama dipilpres 2019 untuk mendongkrak kualitas Islamnya. (Sumber: www. matamatapolitik.com)
Tetapi, betapa hati ini sangat prihatin. Kini ulama bayak yang terseret dalam ‘pergaulan bebas’ politik Demokratis. Ulama telah keluar dari jalur yang seharusnya, yakni mengarahkan umat ke jalan yang lurus ‘Menerapkan seluruh aturan Islam’.
Kita bisa mengetahui dari kisah para ulama terdahulu. Misalnya, Sufyan ats-Tsauri, rasa takutnya kepada Allah sangat besar. Sebaliknya, keberaniannya terhadap penguasa lalim pun tak diragukan. Ia pernah menentang apa yang dilakukan oleh penguasa Abu Ja’far al Manshur ketika sang penguasa mendanai dirinya dan pengikutnya yang pergi berhaji dalam jumlah dana yang sangat besar. Dengan sikapnya ini, hampir saja polisi al Manshur membunuh Sufyan.
Abu Hanifah pernah menolak jabatan yang ditawarkan Abu Ja’far al Manshur dan menolak uang 10.000 dirham yang akan diberikan kepadanya. Kemudian ia ditanya oleh seseorang, “Apa yang Anda berikan kepada keluarga Anda, padahal Anda telah berkeluarga.” Beliau menjawab, “Keluargaku telah kuserahkan kepada Allah, sebulan aku cukup hidup dengan 2 dirham saja.” Jawabnya tegas.
Hasan al Bashri, beliau pernah menentang penguasa Hijaj bin Yusuf ats-Tsaqafi, penguasa Irak yang lalim pada zamannya. Ia berani mengungkap keburukan prilaku penguasa tersebut dihadapan rakyat dan menyampaikan kebenaran dihadapannya. Ucapan beliau yang paling terkenal adalah, “Sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian dari para pemilik ilmu untuk menjelaskan ilmu yang dimilikinya kepada manusia dan tidak menyembunyikannya.” Karena keberanian itulah beliau harus menanggung penderitaan.
Ibn Taimiyah, pembela setiap jengkal tanah umat Islam dari kedzaliman musuh dengan pedangnya, pembela akidah umat dengan lisan dan penanya. Dengan penuh berani, beliau menjadi komando umat Islam untuk bangkit melawan serbuan tentara Tartar ketika menyerang Syam dan sekitarnya. Hingga dengan pertolongan Allah, pasukkan Tartar berhasil dihancurkan, hingga selamatlah negeri Syam, Palestina, Mesir dan Hijaz.
Sejarah telah mencatat mereka sebagai ulama yang sama sekali tidak haus pada kekuasaan. Mereka berani menjelaskan kebenaran pada umat, membongkar kedzoliman para penguasa yang melanggar syari’at Allah, walaupun konsekuensinya mereka harus hidup dalam keterasingan dan dipojokan oleh para penguasa. Kezuhudan, ilmu, serta keyakinan akan pertolongan Allah adalah modal utamanya. Rasa takutNya kepada Allah juga menjadi alasan yang paling utama, sehingga tak ada sedikitpun rasa takut kepada sesama mahluk, sekalipun harus berhadapan dengan penguasa.
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah dikalangan hamba-hambaNya hanyalah para ulama.” (QS. Fathir: 28).
Betapa kini kita merindukan sosok ulama yang demikian. Berani berdiri didepan umat, menentang kesewenang-wenangan kebijakan penguasa yang dipaksakan pada rakyatnya.
Jadi sejatinya, ulama bukanlah ‘kuda’ yang bisa ditunggangi oleh orang atau kelompok yang ingin berkuasa dengan cara menarik perhatian umat. Karena pada hakikatnya, ‘kuda’ tunggangan akan berjalan dan berhenti sesuai aba-aba dan arahan siapa yang menungganginya. Yakni panguasa. Waallahu ‘alamu bishowab.