Oleh: Rahmawati Ayu K., S.Pd (Praktisi pendidikan, tinggal di Jember Jatim)
Bangsa ini sudah merdeka? Ibarat jauh panggang dari api. Bulan Agustus identik dengan bulan kemerdekaan di Indonesia. Rakyat disibukkan dengan perayaan lomba-lomba, sehingga dapat melupakan sementara kesulitan hidup mereka sesaat. Namun, banyak yang tidak menyadari bahwa di bulan ini pula negeri ini dicengkeram Amerika Serikat (AS) lebih erat. Awal agustus lalu, AS meminta Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) untuk menjatuhkan sanksi terhadap Indonesia usai memenangkan gugatan atas pembatasan impor produk pertanian dan peternakan asal AS yang diberlakukan pemerintah Indonesia. Nilai sanksi yang diminta adalah sebesar US$ 350 juta atau sekitar Rp. 5,04 triliun.
Menurut gugatan AS, Indonesia gagal mematuhi peraturan WTO dan meminta sanksi berupa denda uang untuk mengganti kerugian yang harus ditanggung pengusaha AS. "Berdasarkan analisa awal dan data yang tersedia untuk sejumlah produk, level kerugiannya diperkirakan mencapai US$ 350 juta untuk tahun 2017," begitu bunyi surat gugatan yang dilayangkan Gedung Putih.
Hubungan dagang antara AS dan Indonesia perlahan menegang sejak pemerintahan Presiden Donald Trump mengultimatum Jakarta ihwal defisit perdagangan. Trump mengancam bakal mengeluarkan Indonesia dari daftar negara penerima keringanan bea masuk untuk sejumlah produk seperti yang diatur dalam sistem Generilized System of Preferences (GSP). (news.detik.com)
Kemandirian ekonomi
Miris! Rakyat memperingati kemerdekaan dengan rutinitas makan kerupuk dan tarik tambangnya. Dan rakyat negeri ini pun menganggap bahwa kita sudah terlepas dari cengkeraman asing. Padahal kenyataannya hampir 90% kekayaan negeri ini dikuasai asing. Kita pun tidak bebas melakukan kegiatan perdagangan dan perindustrian, karena terikat perjanjian dengan negara-negara asing. Fakta desakan dan ultimatum AS untuk memberi sanksi pada Indonesia di atas, setidaknya makin membuka mata. Bahwa bangsa ini masih terus terjajah. Kebijakan pemerintah hari ini tidak mencerminkan kemandirian ekonomi sedikitpun, ketika kekayaan alam Indonesia malah dikelola oleh asing dan masyarakat Indonesia pada akhirnya hanya menjadi pengkonsumsi sisa-sisa kekayaan tersebut yang bahkan hanya dimiliki oleh segelintir orang.
Sepanjang tahun 2016 yang lalu telah terjadi berbagai peristiwa ekonomi yang makin mengokohkan cengkeraman asing dan aseng di Indonesia. Diantaranya, rezim Jokowi membuka 100% investasi Asing bagi 35 bidang usaha yang sebelumnya tertutup. Belum lagi reshuffle kabinet yang makin mengokohkan liberalisme. Ditambah dengan utang pemerintah dan tax amnesty, serta ancaman cinaisasi. Akibatnya kondisi ekonomi Indonesia makin terjajah dan beban hidup masyarakat makin berat. Maka bak jauh panggang dari api, realitas ekonomi Indonesia sungguh tidak sejalan dengan Nawacita (sembilan Agenda Prioritas) Jokowi-JK poin ke-7 yaitu mewujudkan Kemandirian Ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.
Kemandirian ekonomi suatu negara dapat didefinisikan sebagai sikap negara untuk mengutamakan kemampuan diri sendiri dalam mengatasi berbagai persoalan ekonomi yang ada (Mukeri, 2012). Kemandirian ini tidak berarti menafikan kerjasama ekonomi dengan negara lain dalam perekonomian global. Namun, kerjasama itu haruslah bersifat setara (equal) dan saling menguntungkan, bukan bersifat hegemonik yang eksploitatif, yang menempatkan satu negara dapat mendominasi atau mengendalikan perekonomian negara lainnya.
Kemandirian ekonomi suatu negara ditunjukkan oleh 5 (lima) indikator. Pertama: Kemandirian negara dalam mengelola kepemilikan, produksi dan distribusi berbagai sumberdaya yang ada. Kedua: Kemampuan negara memenuhi kebutuhan sektor pangan, energi, keuangan dan infrastruktur. Ketiga: Kemampuan negara memasok pasar domestik untuk kebutuhan primer dan sekunder. Keempat: Kemerdekaan negara untuk mengambil kebijakan ekonomi yang terlepas dari pengaruh negara-negara kapitalis Barat. Kelima: Kemampuan negara untuk memenuhi sumber-sumber pendanaan APBN dan mendayagunakan APBN guna memberikan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya bagi seluruh rakyat (Yelipele, 2014). Apakah Indonesia sudah memenuhi kelima syarat di atas untuk mandiri? Sayangnya belum.
Membangun Kemandirian Ekonomi Hanya Dengan Islam
Islam bukan hanya mengurusi ibadah ritual, namun juga mengurusi segala persoalan kehidupan. Sebab Islam bukan sekedar agama. Islam adalah sebuah ideologi yang memiliki sistem kehidupan sempurna dengan segala solusinya.
Hukum-hukum syariah Islam mendorong negara untuk membangun kemandirian ekonominya, dimana kepala negara (khalifah) tidak hanya akan mengutamakan kemampuannya sendiri dalam mengatasi persoalan ekonomi tapi juga tidak akan pernah melakukan kerjasama dengan negara-negara Kafir Harbi Fi’lan (yang memusuhi Islam terang-terangan), yang tentunya akan membahayakan eksistensi negara seperti yang pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya. Dan di antaranya yang terpenting adalah sebagai berikut:
Pertama, mengatur kepemilikan dan pengelolaan sumberdaya alam sesuai syariah Islam. Hanya negara yang berhak mengelola sumberdaya alam yang menjadi milik umum (milkiyyah ‘ammah) seperti tambang minyak dan gas, tambang tembaga dan emas, dan sebagainya. Korporasi swasta apalagi korporasi swasta asing tidak dibolehkan secara mutlak mengeksploitasi sumberdaya alam milik umum. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani telah menegaskan:
Adapun pengelolaan kepemilikan, maka untuk kepemilikan umum pengelolaannya menjadi kewenangan negara karena negara adalah wakil dari umat (Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hlm. 68).
Saat negara Islam berdiri, negara akan mengambil-alih tambang-tambang yang selama ini dikelola oleh korporasi asing, seperti tambang emas dan tembaga di Papua yang dikelola PT Freeport. Dengan demikian pendapatan besar dari tambang yang selama ini dinikmati asing akan dialihkan untuk kesejahteraan umat.
Kedua, menghentikan utang luar negeri (al-qurudh al-ajnabiyyah) baik utang dari lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia atau IMF maupun utang dari negara lain. Pasalnya, selama ini utang luar negeri tidak lepas dari dua hal yang diharamkan dalam Islam: (1) Adanya syarat-syarat yang menghilangkan kedaulatan ekonomi negara peminjam. Hal ini diharamkan sesuai kaidah syariah, “Al-Wasilah ila al-haram haram (Sarana menuju yang haram hukumnya haram juga).” Utang luar negeri terbukti telah menjadi sarana (wasilah) bagi kaum kafir untuk mendominasi umat Islam sehingga hukumnya haram (QS an-Nisa` [4]: 141). (2) Adanya bunga yang jelas-jelas merupakan riba yang diharamkan Islam. (QS al-Baqarah [2]: 275) (Abdurrahman al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla, hlm. 83; At-Ta’rif bi Hizb at-Tahrir, hlm. 126).
Syaikh Abdurrahman al-Maliki dengan tajam mengatakan bahwa utang luar negeri sebenarnya bukanlah bantuan, melainkan senjata politik di tangan negara donor untuk memaksakan politik dan pandangan hidupnya atas negara debitor. (Abdurrahman al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla, hlm. 202). Pernyataan tersebut mendapat konfirmasi dari Presiden AS John F. Kennedy pada tahun 1962 yang menyatakan, “Bantuan luar negeri merupakan suatu metode yang dengan itu Amerika Serikat mempertahankan kedudukannya yang berpengaruh dan memiliki pengawasan di seluruh dunia…” (M. Dawam Rahardjo (Ed.), Kapitalisme Dulu dan Sekarang, [Jakarta: LP3ES, 1987], hlm.120).
Ketiga, menghentikan investasi asing yang bertentangan dengan syariah. Misalnya, investasi asing pada sektor-sektor milik umum, seperti pertambangan. Ini haram karena sektor milik umum hanya boleh dikelola oleh negara saja, bukan yang lain. Contoh lain adalah investasi asing pada sektor bisnis yang haram, seperti bisnis barang haram (daging babi, darah, bangkai, patung, khamr, dll); maupun bisnis jasa haram seperti riba, judi, prostitusi, minuman keras, dan sebagainya (QS al-Maidah [5]: 90). Contoh lain adalah investasi yang mendominasi umat Islam sehingga ekonomi rakyat tidak dapat berkembang atau bahkan mengalami kerugian. Investasi seperti ini tidak dibolehkan syariah karena menimbulkan mudharat (bahaya) dan juga menyebabkan harta hanya beredar di kalangan orang kaya (pemodal asing) saja (QS al-Hasyr [59]: 7).
Keempat, menghentikan segala bentuk hubungan dengan negara-negara kafir yang sedang memerangi umat Islam (daulah muharibah fi’lan), seperti Israel dan Amerika Serikat. Pasalnya, adanya hubungan dengan negara-negara kafir seperti itu, misalnya hubungan diplomatik, hubungan budaya dan hubungan dagang, berarti menghentikan jihad fi sabilillah (perang) kepada mereka. Padahal Islam telah mewajibkan jihad fi sabilillah untuk melawan negara-negara kafir yang nyata-nyata tengah memerangi umat Islam (QS al-Baqarah [2]: 190; QS al-Anfal [8]: 39).
Kelima, menghentikan keanggotaan dalam PBB, termasuk lembaga-lembaga internasional di bawah PBB seperti IMF dan Bank Dunia. Karena hukumnya haram berdasarkan dua alasan: (1) karena lembaga-lembaga tersebut menjalankan peraturan yang bertentangan dengan syariah Islam; (2) karena lembaga-lembaga tersebut adalah instrumen negara kapitalis penjajah (khususnya AS) untuk mendominasi umat Islam.
Keenam, menghentikan keanggotaan dalam blok-blok perdagangan kapitalis seperti WTO, NAFTA, AFTA, MEA, dan sebagainya. Keanggotaan dalam blok-blok seperti ini haram hukumnya karena: (1) telah terbukti mendatangkan dharar (bahaya) bagi umat Islam, yaitu mendominasi perekononian dalam negeri; (2) adanya peraturan perdagangan yang bertentangan dengan syariah Islam.
Ketujuh, membangun ketahanan pangan, yaitu memenuhi kebutuhan pangan bagi negeri sendiri melalui peningkatkan produksi pangan dan impor bahan pangan. Peningkatan produksi pangan dilakukan melalui cara mengelola tanah pertanian secara optimal dengan memanfaatkan sains dan teknologi modern. Adapun impor bahan pangan dibolehkan secara syariah asalkan tidak boleh menimbulkan dominasi asing atas umat Islam (QS an-Nisa‘ [4]: 141).
Kedelapan, mencetak mata uang emas (dinar) dan perak (dirham). Hal ini hukumnya wajib atas negara Khilafah meskipun antarindividu rakyat tidak wajib menggunakan dinar dan dirham dalam muamalah antar individu. Penggunaan dinar dan dirham dalam perdagangan internasional akan memberikan kemandirian ekonomi yang sangat kuat bagi negara Khilafah.
Kesembilan, menghapus seluruh lembaga-lembaga keuangan kapitalis, seperti perbankan, asuransi, pasar modal, perseroan terbatas (PT), dan sebagainya. Alasannya, karena lembaga-lembaga tersebut tidak disyariatkan Islam. Selain itu lembaga-lembaga tersebut telah menjadi instrumen dominasi yang dimanfaatkan oleh kekuatan kapitalisme global untuk melakukan penjajahan ekonomi atas umat Islam.
Maka sudah jelas, satunya-satunya sistem yang mampu untuk menjamin adanya kemandirian ekonomi hanyalah Sistem Islam yang telah terbukti lebih dari 1300 tahun mampu menjamin kesejahteraan dan kemashlahatan warga negaranya.
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan(ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka akibat perbuatannya.(Al-A’raf :96)
Wallahu’alam bisshawab.
Sumber Ekonomi
Negara Khilafah, minimal mempunyai empat sumber ekonomi, yiatu pertanian, perdagangan, jasa, dan industri.
Pertanian berbasis pada pengelolaan lahan pertanian, di mana tanah-tanah pertanian yang ada harus dikelola dengan baik dan maksimal untuk memenuhi hajat hidup rakyat. Ini yang dikenal dengan kebijakan intensifikasi. Jika kurang, negara bisa mendorong masyarakat menghidupkan tanah-tanah mati, sebagai hak milik mereka, atau dengan memberikan insentif berupa modal, dan sebagainya. Ini yang dikenal dengan kebijakan ekstensifikasi. Dengan dua kebijakan ini, negara akan mampu memenuhi kebutuhan pangan di dalam negerinya.
Ditopang dengan perdagangan yang sehat, tidak ada monopoli, kartel, mafia, penipuan dan riba yang memang diharamkan dalam Islam, maka hasil pertanian akan terjaga. Produktivitas tetap tinggi, pada saat yang sama, harga terjangkau, sehingga negara bisa swasembada pangan.
Islam juga mengharamkan barang dan jasa yang haram untuk diproduksi, dikonsumsi dan didistribusikan di tengah masyarakat. Karena itu, hanya barang dan jasa yang halal saja yang boleh diproduksi, dikonsumsi, dan didistribusikan. Dengan begitu, industri sebagai bentuk aktivitas produksi hanya akan memproduksi barang yang halal. Islam juga menjadikan hukum industri mengikuti hukum barang yang diproduksi. Jika barang yang diproduksi haram, maka industri tersebut hukumnya haram.
Begitu juga jasa. Karena Islam hanya membolehkan jasa yang halal, maka tidak boleh ada jasa yang haram diproduksi, dikonsumsi dan didistribusikan di tengah-tengah masyarakat. Upah sebagai kompensasi jasa pun dikembalikan halal dan haramnya kepada jasa yang diproduksi. Jika jasanya haram, maka upahnya pun haram. Hukum memproduksi, mengkonsumsi dan mendistribusikannya pun haram. Dengan begitu, individu, masyarakat dan negara pun sehat.
Inilah empat sumber utama ekonomi negara khilafah.
Politik Ekonomi dan Ekonomi Politik
Dengan empat sumber utama ekonomi di atas, ditopang dengan politik ekonomi (kebijakan ekonomi) negara khilafah yang memastikan terpenuhinya kebutuhan pokok per individu, seperti sandang, papan, dan pangan, serta kebutuhan pokok masyarakat, seperti kesehatan, pendidikan dan keamanan, maka khilafah bisa merebut hati rakyat dan menjaga stabilitas domestik.
Pada saat yang sama, ekonomi politik (sistem ekonomi) negara khilafah, yang dibangun dengan tiga pilarnya, yaitu kepemilikan, pengelolaan kepemilikan, dan distribusi, benar-benar bisa menjamin terwujudnya politik ekonomi di atas. Ini karena kepemilikan individu sepenuhnya menjadi hak individu, kepemilikan umum menjadi hak rakyat, yang dikelola oleh negara sebagai pemegang mandat rakyat, serta kepemilikan negara menjadi hak negara. Ketika ketiga kepemilikan tersebut dikelola oleh masing-masing pemiliknya dengan benar sesuai dengan hukum syara’, dan didistribusikan dengan baik dan benar, maka rakyat akan hidup sejahtera.
Pada saat yang sama, negara khilafah menjaga daya beli masyarakat tetap tinggi dan kompetitif, dengan kebijakan moneter yang hanya menggunakan standar emas dan perak, sehingga inflasi nol persen. Negara juga memastikan mekanisme pasar berjalan dengan baik dan benar, ketika kondisi supplay and demand sehat. Dengan memastikan supplay and demand barang maupun jasa di pasar berjalan dengan baik dan benar. Selain mengharamkan penimbunan, mafia, kartel, penipuan, riba, negara juga tidak boleh menetapkan harga barang, dan upah jasa.
Semuanya ini untuk menjamin stabilitas daya beli dan daya guna masyarakat terhadap barang dan jasa. Dengan begitu, produktivitas, pemanfaatan, dan distribusi barang dan jasa di tengah masyarakat bisa tetap dipertahankan pada level yang tinggi dan kompetitif. Karena semua warga negara mempunyai hak dan akses yang sama.
Ini semua terkait dengan kebijakan makro negara khilafah. Dengan kebijakan makro seperti ini, daya tahan negara terhadap embargo atau serangan apapun akan tetap kuat.
Strategi Teknis dan Mikro
Strategi ini meliputi strategi non-fisik, dan fisik. Secara non-fisik, negara harus menghadapi embargo ini dengan terus-menerus meningkatkan kekuatan iman dan moral masyarakat. Dengan cara mengungkap:
Tujuan dan target kaum kafir terhadap embargo yang mereka jalankan kepada umat Islam dan negaranya. Tujuan dan targetnya adalah untuk menghancurkan umat Islam dan negaranya, sebagaimana yang difirmankan Allah dalam QS 2: 217, 8: 89 dan lain-lain.
Kekufuran dan kaum kafir adalah musuh umat Islam dan negaranya. Inilah yang digunakan untuk membangun sikap dasar umat Islam terhadap mereka, sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam QS 3: 118 dan 5: 51.
Pentingnya keteguhan, kesabaran dan tidak putus asa terhadap ujian yang ditujukan kepada mereka, sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam QS 3: 200 dan 47: 35. Pentingnya menjadikan Nabi dan para sahabat sebagai teladan dalam menghadapi masalah seperti ini.
Kemuliaan, kehormatan, ketinggian, dan kebanggaan sebagai pemeluk Islam dan umatnya. Pada saat yang sama, kaum kafir terus-menerus berusaha menghancurkan kemuliaan, kehormatan, ketinggian, dan kebanggaan tersebut, dan merampasnya, sebagaimana difirmankan Allah dalam QS 2: 109.
Selain itu, secara teknis dan fisik, khilafah harus menyusun program aksi, antara lain, sebagai berikut:
Mengadopsi politik gotong royong di antara anggota masyarakat dengan berbagai cara dan sarana yang memungkinkan, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi SAW dan para sahabat di masa-masa awal berdirinya negara Islam di Madinah.
Mengkaji dengan sempurna potensi ekonomi umat yang dilakukan oleh para pakar, terkait dengan ketersediaan sembako, energi dan lain-lain, termasuk kekayaan milik umum yang dikuasai swasta, baik asing maupun domestik. Begitu khilafah berdiri, kekayaan tersebut harus diambil alih, dan dikelola oleh negara.
Memutakhirkan data kependudukan dengan secepat dan seakurat mungkin, seperti berapa jumlah orang miskin, menengah dan kaya.
Membuat panduan dan arahan dalam penghematan belanja, agar masyarakat bisa fokus pada kebutuhan, bukan keinginan. Dengan begitu, distribusi barang dan jasa kepada seluruh rakyat bisa dijamin dengan baik.
Mengenai utang-utang yang diwariskan rezim sebelumnya, maka pembayarannya bisa dimoratorium. Dana yang tersedia bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat dan negara.
Strategi Keluar
Dalam menghadapi embargo, kebijakan di atas tidak akan berjalan dengan sempurna jika tidak diikuti strategi keluar. Karena itu, khilafah juga harus menyusun strategi keluar, antara lain:
Menggagalkan embargo, dengan cara mencari celah dan titik lemahnya. Harus ditanamkan kepada umat Islam, bahwa tidak boleh menyerah pada embargo.
Memprovokasi negara-negara lain untuk menggagalkan embargo, baik dengan alasan kemanusiaan, maupun yang lain.
Mengeksploitasi isu embargo ini untuk memobilisasi bangsa dan negara lain agar menentang kebijakan negara kafir ini, dengan aksi, pernyataan maupun yang lain.
Semuanya ini membutuhkan persatuan dan kesatuan umat Islam sebagai satu tubuh, bukan sebagai kelompok, mazhab atau bangsa. Dengan begitu, apapun tantangan yang dihadapi, dengan izin dan pertolongan Allah, dengan mudah akan bisa diatasi. Wallahu a’lam.[]