Oleh: Febri Ayu Irawati
(Muslimah Media Konawe)
Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amiryah Tambunan menilai Tahun Baru 1440 H adalah momen untuk hijrah. Bagi setiap umat yang beriman, berhijrah, dan berjihad di jalan Allah akan memberikan balasan berupa kemenangan (Republika.co.id,16/9/2018).
Selanjutnya, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Marsudi Syuhud mengatakan, para kiai NU menganggap Muharram sebagai bulan Hijriyah yang ditandai dengan hijrahnya Rasulullah dari Mekah ke Madinah (Republika.co.id, 7/9/2018).
Hijrah dalam bahasa arab adalah perpindahan atau migrasi dari Nabi Muhammad dan pengikutnya dari Mekah ke Madinah pada bulan Juni tahun 622. Apabila menengok makna hijrah pada zaman Rasulullah dengan pengertian hijrah di tanah air sendiri, hijrah hanya sekadar sejarah belaka.
Kata hijrah akhir-akhir ini menjadi sangat popular. Dengan disematkan ke dalamnya menjadi sebuah perubahan seorang yang buruk menjadi lebih baik, atau yang berhijab menjadi berhijab dan lain sebagainya. Hijrah juga dapat bermakna menyelamatkan agama dari fitnah.
Sayang, manifestasi hijrah saat ini belum terealisasi secara maksimal. Bahkan cenderung diabaikan begitu saja oleh masyarakat maupun penguasa. Merasa lebih puas tatkala mereka sudah mampu menjadi pribadi yang taat beribadah kepada Allah SWT. Dinafikanlah proses ikhtiar untuk menyelamatkan agama dari fitnah.
Padahal, berbagai tudingan terus terlontar kepada agama ini. Dari mulai tuduhan radikalisme, pemecah persatuan, anti NKRI atau anti-kebhinekaan, dan lain-lain. Kesemuanya terus bergema di telinga-telinga umat. Bahkan, persekusi tak habis dilakukan kepada para aktivis dakwah hingga ulamanya, hanya karena mereka ingin menyelamatkan negeri ini dari genggaman sistem sekulerisme dengan menerapkan hukum Allah SWT secara menyeluruh.
Jika kita mampu menelisik lebih dalam, akar masalah dari semua problem yang dihadapi negeri ini adalah buah dari diberlakukannya sistem kapitalisme, yang bersumber dari sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan). Sehingga, proses hijrah yang dijalani tidak hakiki.
Bisa kita lihat meningkatnya kasus korupsi yang semakin hari semakin menjadi. Semakin menggurita. Tobat satu, tumbuh seribu. Nilai rupiah terhadap dolar pun terus anjlok hingga sampai menembus angka Rp 15 ribu per dolar. Mengakibatkan utang pemerintah semakin melonjak.
Ditambah lagi, inkonsistensi demokrasi terhadap empat kebebasan yang menjadi esensi. Fenomena persekusi terhadap banyak ulama dan aktivis dakwah serta pembubaran ormas secara paksa, misalnya. Padahal, ada seruan terhadap kebebasan berpendapat, berserikat, dan berkumpul. Ya, terkadang teori menjadi tumpul ketika segelintir kepentingan menyembul.
Seharusnya, momentum tahun baru hijriyah tidak hanya dijadikan rutinitas mengingat sejarah perjalanan Rasulullah dari Mekah ke Madinah saja, tetapi lebih dari itu kita harus mampu mengambil ibrahnya. Berhijrah secara paripurna. Berubah ke arah yang lebih baik dalam segala hal melalui penerapan syariat-Nya. Sehingga, tercipta keteraturan dalam segala aspek kehidupan, mulai dari masalah pribadi, masyarakat hingga bernegara. Wallahu a’lam bish showab.