Oleh: Irwansyah
Sejak menjalani profesi sebagai seorang guru, Sayikh Ahmad Yasin aktif menghidupkan kembali masjid-masjid yang mulai sepi ditinggalkan oleh umat Islam. Ia pun membentuk perkumpulan pelajar dan remaja, mengadakan halaqoh-halaqoh, pengajian dan juga yayasan-yayasan sosial yang memberi perhatian lebih kepada orang-orang miskin dan janda-janda. Dan untuk pertama kalinya terjadi di kota itu dimana wanita berbondong-bondong bersemangat mendatangi masjid untuk mempelajari ilmu agama. Seringkali ia mengajak para pemuda menuju perbatasan menyaksikan pemandangan, dimana tanah air mereka berada dalam kungkungan kawat berduri dan menyeru mereka untuk berpikir bagaimana cara membebaskannya.
Kekagumannya akan sosok Hasan Al-Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin, menghantarkan dirinya ke dalam jeruji besi pada tahun 1965. Ia sangat menyenangi pemikiran Hasan Al-Banna dan perjuangannya bersama Ikhwanul Muslimin. Ia berharap Ikhwanul Muslimin dapat kembali memainkan peran dan eksistensinya di muka bumi. Namun ia membantah jika dirinya memiliki hubungan secara struktural dengan Ikhwanul Muslimin. Ketika secarik kertas dosodorkan kepada dirinya dengan tuduhan mengganggu keamanan, sontak membuatnya tertawa. Dan pada akhirnya Syaikh Ahmad Yasin menjalani proses penyelidikan terkait hubungannya dengan Ikhwanul Muslimin selama satu bulan dan dibebaskan setelah tidak terbukti.
Tahun 1967 Terjadilah perang yang menghancurkan bagi bangsa Palestina. Israel datang dengan kekuatan yang jauh lebih besar setelah mengalami kekalahan telak pada perang 1956 saat memperebutkan terusan Suez. Tentara Israel memasuki rumah-rumah, membawa orang-orang dan membunuhnya. Jip-jip memasuki kamp-kamp pengungsian. Tank-tank besar berlapis baja menghancurkan. Hilang harapan untuk melawan. Penangkapan besar-besaran dan eksekusi dilakukan, membuat orang-orang lari ketakutan. Pembantaian terus berlangsung dalam retang waktu yang lama. Semangat keislaman di wilayah Gaza pada saat itu sangat lemah. Leher bangsa Palestina berada ditangan Zionis Israel. Kondisi itu terus berkecamuk hingga tahun 1973.
Sosoknya sebagai ulama merasa prihatin dengan kondisi umat saat itu. Syaikh Ahmad Yasin pun kemudian aktif membakar semangat api perlawan terhadap bangsa Israel. Membangkitkan kesadaran umat untuk lepas dari pasung penjajahan. Kelumpuhan total fisiknya dan kursi roda tak menghalangi kegigihannya dalam berdakwah. Ditemani sahabatnya, Al-Gharbali, Syaikh Ahmad Yasin berpindah-pindah dari satu masjid ke masjid lainnya. Dari satu desa ke desa lainnya. Mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh masyarakat yang berpengaruh, orang-orang terkemuka serta pelajar-pelajar pilihan. Berdua, mereka mengadakan dialog dan menunjukkan risalah Islam yang sebenarnya serta tangggung jawab yang mereka pikul untuk merubah keadaan umat dari keterpurukan dan penjajahan.
Kehadiran Syaikh Ahmad Yasin dan sahabatnya, Al-Gharbali, terbukti mampu mengalirkan kembali darah di tubuh umat. Meski roda kursinya berputar lambat karena sulitnya jalan yang dilalui, namun Syaikh Ahmad Yasin berhasil menelurkan generasi baru yang memahami makna dakwa dan jihad serta upaya untuk membela dakwah tersebut.
Nama Syaikh Ahmad Yasin masyhur hingga ke pelosok desa. Sebagai seorang orator yang handal, ceramahnya seakan mampu ’menyihir’ dan membuat masyarakat di Gaza terpana. Tak heran jika setiap kali tampil berpidato atau berceramah, massa menyemut mengelilinginya. Rumah tempat ia tinggal layaknya badan peradilan. Tak pernah sepi. Umat datang untuk menyelesaikan berbagai persoalan seperti, masalah pernikahan, waris, cerai, persengketaan dan persoalan-persoalan lainnya yang mereka hadapi. Perkataannya didengar, setiap keputusannya disetujui.
Kecintaannya terhadap ilmu agama, bahasa, sastra, politik, sosial bahkan ekonomi sangat tinggi. Luasnya wawasan dan pengetahuannya menghantarkan dirinya pada tempat yang terhormat.
Suatu ketika ada seorang beragama Kristen dari kota Ramallah, Tepi Barat, bernama Bassam Hana Rabbah. Dia datang menemui Syaikh Ahmad Yasin untuk mengadukan permasalahannya karena ada seseorang di Gaza melakukan penipuan terhadap dirinya. Syaikh Ahmad Yasin yang juga Pimpinan Dewan Islah (perdamaian) dengan bijaksana mampu mendamaikan antara Bassam Hana Rabbah dengan seseorang yang telah melakukan penipuan tersebut. Syaikh Ahmad Yasin meresponnya dengan serius, bahkan mampu bersikap adil. Hak-haknya pun bisa kembali kepada dirinya.
Syaikh Ahmad Yasin adalah sosok yang berkharisma, bicaranya argumentatif dan memuaskan lawan bicara. Banyak contoh-contoh keteladanan yang bisa dipetik dari dirinya. Semakin banyaknya orang yang mencintainya membuat seorang komandan militer di wilayah Gaza mendatangi rumahnya dan memarahi,
"Siapa kamu? Bertingkah seperti pemerintah dan menjadikan rumahmu sebagai mahkamah? Ingat, kamilah pemerintah yang sebenarnya!"
Tahun 1973 perang kembali bergejolak. Syaikh Ahmad Yasin berharap perang tersebut adalah perang pembebasan negeri Palestina dan bukan perang untuk mencapai kesepakatan perdamaian dengan Israel. Perang tersebut berhasil mematahkan kekuatan Israel namun sekaligus juga mengeluarkan Mesir dari peperangan itu karena terpasung oleh perjanjian Kamp David. Padahal kekuatan Mesir mampu merubah naraca perlawanan menghadapai kekuatan Israel, dan negara-negara arab ketika itu tidak sekuat Mesir. Perjanjian Kamp David yang disepakati Mesir menjadi awal kemunduran bangsa Arab dan mencabik-cabik kekuatan melawan zionis.
Pukul sepuluh pagi dibulan April tahun 1984, sebuah mobil intelejen Israel mendatangi rumah Syaikh Ahmad Yasin dan melakukan penangkapan untuk yang kedua kali terhadap dirinya dengan tuduhan palsu dan mengada-ada. Syaikh Ahmad Yasin dituduh atas kepemilikan senjata api. Ini konyol! Betapa tidak, bagaimana mungkin seorang yang lumpuh sekujur tubuhnya, bahkan tak akan sanggup menggerakkan jarinya untuk menarik pelatuk lalu dituduh memiliki senjata? Vonis hukuman yang ia terima pun sangat kejam. Tuduhan semisal itu biasanya hanya dijatuhi hukuman penjara selama enam bulan, satu tahun atau pun paling lama tiga tahun. Sedangkan vonis yang diterimanya selama tiga belas tahun hukuman penjara.
Penjara Nafhah yang terletak di tengah padang pasir dengan cuaca yang sangat dingin membuatnya sulit bernafas dan dilarikan ke rumah sakit. Kemudian ia dipindahkan ke penjara 'Asqolan dengan suhu yang lebih hangat. Ruangan penjara yang berukuran 1x1,5 meter diisi tiga atau empat orang tahanan sehingga membuatnya tidak bisa tidur dengan posisi berbaring.
Upaya pembebasan dirinya dilakukan oleh Pimpinan Umum Front Pembela Bangsa yang dipimpin oleh Ahmad Jibril yang berhasil menawan tiga orang tentara Israel dengan meminta kepada Israel untuk membebaskan Syaikh Ahmad Yasin sebagai tebusan setelah sebelas bulan terkungkung di penjara.
Tembok penjara tak mampu menghentikan dakwahnya. Jeruji besi tak sanggup merubah apa yang diyakininya. Perlawan terus berlanjut. Mimbar-mimbar Jum'at menjadi sarana menyadarkan umat. Tak pernah berhenti. Kata-katanya tajam menghujam ke dada lawan. Kursi rodanya lebih menakutkan dari tank-tank baja.
‘’Tanah Palestina adalah wakaf milik umat Islam. Tak ada seorang pun yang boleh membiarkannya lepas, walaupun hanya sejengkal."
Dalam sebuah khutbahnya, Syaikh Ahmad Yasin pernah berkata, "Umat ini tidak akan pernah memiliki kemuliaan dan meraih kemenangan kecuali dengan Islam. Tanpa Islam tidak pernah ada kemenangan. Kita selamanya akan selalu berada dalam kemunduran sampai ada sekelompok orang dari umat ini yang siap menerima panji kepemimpinan yang berpegang teguh kepada Islam, baik sebagai aturan, perilaku, pergerakan, pengetahuan, maupun jihad. Inilah satu-satunya jalan. Pilih Allah atau binasa! "
Berawal dari kejadian yang bersifat insidental pada 6 Desember 1987, lalu meletuslah Intifadhah Ula. Ketika sebuah truk trailer yang dikendarai oleh seorang Yahudi menabrak sebuah mobil yang ditumpangi para pekerja dari Palestina sepulang dari bekerja di kota Israel. Kejadian yang menghilangkan empat nyawa itu pun sontak memunculkan kemarahan. Warga Gaza menganggap kejadian tersebut mengandung unsur kesengajaan dan kebencian dari orang-orang Israel.
Warga Gaza membawa jenazah mengelilingi jalanan kota dan berputar-putar tiga kali agar semakin bertambah banyak orang yang mengiringinya. Sepulang melakukan pemakaman di kamp Jabaliyah, warga melampiaskan kemarahan dengan melemparkan batu-batu ke kantor polisi Israel dan mendapat balasan tembakan. Molotov, batu dan bom berhamburan, korban-korban baru berjatuhan.
Api perlawanan telah bergejolak, sayang jika padam. Maka pada tanggal 9 Desember 1987 diadakan pertemuan untuk memikirkan cara bagaimana mengorganisir perlawan tersebut dengan lebih baik. Dari pertemuan itu lalu diputuskan untuk memindahkan api perlawanan dari kamp Jabaliyah ke Khan Yunus dua hari berikutnya. Setelah itu berpindah lagi ke pantai Gaza, lanjut ke gang-gang di kota Gaza dan selanjutnya ke daerah rafah. Memindahkan api perlawanan ini bertujuan memecah konsentrasi tentara Israel dan meluaskan medan perlawanan.
Tanggal 14 Desember 1987 keluarlah pernyataan pertama yang didiktekan langsung oleh Syaikh Ahmad Yasin sendiri. Kemudian ia pun membubuhkan tanda tangan pada pernyataan tersebut dengan mencantumkan tiga huruf, ha mim sin. Ia sendiri tak berfikir bahwa pada pertemuan-pertemuan berikutnya dari ketiga huruf tersebut tercetuslah nama HAMAS (Harokah Al-Muqaawah Al-Islamiyyah).
Nama Syaikh Ahmad Yasin sendiri tidak bisa dipisahkan dari keberadaan Hamas. Ia memainkan peran penting dalam pergerakan ini disamping beberapa nama-nama seperti, DR. Abdul Aziz Rantisyi, DR. Mahmud Zhihar dan lainnya.
Nasyid-nasyid perjuangan diperdengarkan melalui pengeras suara di masjid-masjid, orang-orang pun berkumpul. Para pemuda mengusung jenazah palsu diatas pundak. mereka mengelilingi jalan-jalan di kota Gaza, semakin bertambah banyaklah orang yang keluar rumah dan bergabung di jalan-jalan. Bentrokan dengan tentara Israel tak dapat dielakkan. Korban-korban pun berjatuhan. Perlawanan terus dilanjutkan setiap harinya siang maupun sore, hingga membuat tentara Israel merasa putus asa dan kelelahan.
Warga yang bekerja di kota Israel pun melakukan boikot. Pabri-pabrik milik bangsa Israel tidak beroperasi, demikian pula lahan dan kebun pertanian mereka tidak berproduksi. Kesadaran rakyat Palestina berada pada puncaknya yang membawa pada kekuatan yang sangat menakjubkan.
Medan perang Palestina telah berubah, tidak hanya dilakukan oleh orang-orang dewasa dengan menenteng senjata, tapi juga dilakukan oleh anak-anak maupun wanita. Sambitan batu berbalas peluru. Ketapel melontar berbalas rudal. Tak ada lagi ketakutan, kematian adalah sesuatu yang dirindukan. Tank-tank baja menjadi sasaran. Palestina panen syuhada. Darah-darah syuhada membanjiri tanah yang diberkahi. Generasi 'batu' dan 'bom' telah lahir kembali di negeri para syuhada.
Perang ini bukanlah tentang perebutan perbatasan antara Palestina dan Israel, tapi perang terhadap eksistensi Israel sebagai penjajah yang telah mencengkeramkan kuku-kuku tajamnya di tanah Palestina. Israel telah merampas hak-hak mereka, mengusir mereka dari tanah kelahiran mereka, menumpahkan begitu banyak darah dari generasi-generasi mereka
Perang ini bukan karena mereka Yahudi, sebagaimana yang pernah Syaikh Ahmad Yasin ucapkan,
"Kalian (Yahudi) boleh hidup berdampingan dengan kami dalam satu tatanan negara (Daulah Islamiyah), kalian pun boleh bebas beribadah dan bekerja. Kalian adalah golongan yang harus kami lindungi dan kami jaga (Ahlu Adz-Dzimmah), akan tetapi kalian malah mencoba membangun eksistensi kalian dengan merampas hak (negeri) dan warisan nenek moyang kami."
Bersambung...