Syaikh Ahmad Yasin, Syuhada Di Atas Kursi Roda #1

Oleh : Irwansyah



Pagi yang dingin itu pun kelak menjadi saksi, saat tubuh lemahnya hancur berkeping dan terserak. Jalanan itu pun juga akan menjadi saksi, saat darah membanjiri dan terpercik meninggalkan bercak merah. Bahwa di tanah itu, seorang kakek tua lumpuh berkursi roda menjemput syahid memenuhi janji Tuhannya setelah melewati perjalanan panjang perjuangan melawan zionis laknat bangsa kera dan babi. 


Nama lengkapnya adalah Ahmad Ismail Yasin, laki-laki pilihan ini terlahir diantara puing-puing reruntuhan di negeri 'Asqolan yang terkenal, di sebuah desa yang bernama Al-jurah, sebelah selatan kota Gaza pada tahun 1938. Semasa kecil biasa dipanggil dengan nama Ahmad Sa'dah yang merupakan nisbah kepada ibunya, Sa'dah Abdullah Al-habil. Ayahnya yang bernama Abdullah Yassin meninggal saat Ahmad yasin kecil berusia tiga tahun.


Sempat merasakan sekolah dasar di desa Al-jurah hingga malapetaka itu hadir menimpa bangsa Palestina pada tahun 1948,  Saat bangsa Israel memaksa pergi Ahmad Yasin kecil, Ibu dan saudara-saudaranya serta penduduk desa Al-jurah lainnya. Tidak ada yang berubah, hingga saat ini bangsa laknat itu pun akan terus berusaha menguasai seluruh negeri Palestina hingga bangsa Palestina betul-betul terusir dari tanah kelahirannya. Beranjak pergi meninggalkan kampung halaman menuju kamp pengungsian As-Sathi di tepi pantai kota Gaza. Disana, di kamp pengungsian itu hampir seperempat abad Syaikh Ahmad Yasin tumbuh dewasa, melanjutkan sekolah, lalu menikah dan memiliki keturunan. 


Di kamp pengungsian pantai kota Gaza, ia pun melanjutkan pendidikan sekolah dasar di sekolah Imam Asy-Syafi'i. Saat itu sekolah dibagi menjadi dua kelas, kelas pagi diperuntukkan anak-anak kota Gaza sedangkan kelas sore diperuntukkan anak-anak yang tinggal di kamp pengungsian. Ia pun menyelesaikan sekolah dasar tahun 1952. Kemudian melanjutkan sekolah tingkat pertama di sekolah Ar-ramal hingga selesai tahun 1955. Kecerdasaannya tampak sejak ia masih kanak-kanak. Bahkan setelah menyelesaikan sekolah menengah pertamanya, ia langsung diterima sebagai tenaga pengajar di sekolah tersebut. Kemudian ia juga melanjutkan sekolah menengah atas dan menyelesaikannya tahun 1958.


Kehadiran mahasiswa-mahasiswa atau da'i-da'i dari mesir membawa pengaruh dalam sistem pendidikan di Gaza. Tak terkecuali sekolah dimana Syaikh Ahmad Yasin bersekolah ketika itu. Olah raga dan latihan fisik kerap mereka dilakukan. Letak pantai yang berdekatan dengan sekolah menjadi tempat favorit bagi siswa melakukan kegiatan tersebut. 


Saat itu Syaikh Ahmad Yasin berlatih gulat bersama temannya yang bernama Abdullah Al-khatib, kejadian itulah yang menyebabkan cidera pada lehernya. Bijaksananya ia yang tak ingin terjadi permasalahan antara keluarganya dengan keluarga Al-khatib, Syaikh Ahmad Yasin urung menceritakan kejadian yang sebenarnya. Ia pun langsung dibawa ke rumahnya untuk dilakukan pemijatan dengan air hangat dan minyak, sebagaimana pengobatan yang biasa dilakukan orang di desanya pada waktu itu. Tidak kunjung membaik, Syaikh Ahmad Yasin dilarikan ke klinik terdekat sampai akhirnya ia pun dirujuk ke rumah sakit. Cidera serius pada bagian leher. Beberapa ruas tulang leher patah dan menekan syaraf tulang belakang dan menyebabkan lumpuh pada sebagian dari anggota tubuhnya. 


Kelumpuhan menyebabkan Syaikh Ahmad Yasin kesulitan saat bergerak. Berjalan dengan mengarik kakinya yang membuat pasir dan debu berterbangan. Atau dengan menancapkan ujung kakinya untuk menjaga keseimbangan tubuhnya. Saat mendapati tanah yang keras, tubuhnya pun gontai lalu ambruk ke tanah. Sedangkan tangannya, semua jari-jarinya kaku, pergelangan tangannya bengkok hingga ia pun tak sangup memegang sebuah pena kecuali dengan usaha yang keras. Beberapa tahun berselang, kelumpuhannya menjalar keseluruh kaki, tangan dan tubuhnya, kecuali kepala. Kondisi ini yang menyebabkan ia tak lagi bisa berjalan dan harus dibantu dengan kursi roda.


Kelumpuhan total pada diri Syaikh Ahmad Yasin membawa perubahan besar dalam hidupnya. Hilang sifat humorisnya dan menjadi sosok yang serius juga gigih dalam belajar. Ia pun selalu hadir ke masjid setiap waktu dan menaruh perhatian lebih terhadap ilmu. 


Selesai menamatkan pendidikan tingkat menengah atas, Ahmad Yasin muda sempat diterima di Universitas Al-Azhar kairo, Mesir. Namun urung ia lanjutkan karena kondisi kesehatan dan keuangan keluarganya. Syaikh Ahmad Yasin memutuskan untuk mendaftarkan diri ke direktur instansi pendidikan dan penerimaan pegawai baru. Dua jam sebelum interview, Syaikh Ahmad Yasin telah berangkat dari rumahnya. Berjalan terseok dan sesekali jatuh terjerembab ke tanah namun tetap tidak menghalangi niatnya. Hal itu pun mengundang simpati seorang laki-laki pejalan kaki untuk membantu dan bersedia menghantarkan ia ke tujuan. 


"Apakah anda mengira bahwa panitia itu akan menerima anda? Sedangkan anda sendiri tahu, tidak mudah untuk lulus seleksi disana, sebagaimana yang sering dikatakan orang-orang. Saudaraku, daripada bersusah payah pergi kesana lebih baik anda pulang saja." ucap laki-laki itu seraya memapah Syaikh Ahmad Yasin berjalan. 


Dengan wajah tersenyum, Syaikh Ahmad Yasin menjawab, "Wahai saudaraku, apakah anda mengira saya datang ke panitia itu untuk meminta belas kasihan? Tidak! Demi Allah, saya seorang muslim, dan saya yakin jika Allah menghendaki saya diterima, maka tidak ada seorang pun yang bisa menghalanginya. Tidakkah anda pernah mendengar firman Allah yang berbunyi, 'Dan dilangit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu. Maka demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan'. (Adz-dzariyat : 23). Dan apakah anda belum pernah mendengar hadist Rosulullah Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'Anhu yang berbunyi, '... Dan ketahuilah, jika semua orang berkumpul untuk memberikan manfaat bagimu, maka niscaya mereka tidak bisa memberikannya kecuali Allah telah menetapkannya bagimu. Dan ketahuilah, jika semua orang berkumpul untuk mencelakakanmu, maka pasti mereka tidak bisa melakukannya kecuali Allah telah menetapkannya bagimu'. Demi Allah, saya yakin bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan saya karena saya bertawakal kepadanya dan melangkah di jalan-Nya!". 


Panitia penerimaan memandang Syaikh Ahmad Yasin adalah sosok yang memiliki potensi, cakap, cerdas dan bisa memberikan kontribusi, namun sayang ia seorang yang cacat. Sebagai bentuk ketulusannya, panitia tetap memasukkan nama Syaikh Ahmad Yasin kedalam daftar nama-nama yang selanjutkan akan dikirim kepada walikota untuk mendapat persetujuan. Tepat di samping nama Syaikh Ahmad Yasin, panitia memberi sebuah catatan, "kemampuannya sempurna, nilai-nilainya tinggi dan unggul akan tetapi ia cacat." 


Qodarullah, Catatan kecil itu justru memberi kesan mendalam pada diri Letjend. Yasin Salim, yang saat itu menjabat sebagai walikota. Lalu ia pun memberi komentar atas catatan tersebut, 

"Memangnya kenapa kalo cacat? Apakah berarti ia tidak boleh bekerja lalu mati kelaparan? " lalu, walikota pun memberi tanda merah pada nama Syaikh Ahmad Yasin dengan tulisan "Diterima!". 


Syaikh Ahmad Yasin pun diterima bekerja sebagai seorang guru bahasa arab dan pendidikan agama di sekolah SD Ar-Ramal. Meski rasa takut dicaci oleh murid-muridnya sempat menghantui perasaannya, namun yang terjadi justru sebaliknya, Syaikh Ahmad Yasin sangat dihormati dan dicintai oleh murid-murid, pegawai serta guru-guru lainnya bahkan termasuk wali muridnya. 


Diawal tahun enam puluhan, keluarganya menikahkan Syaikh Ahmad Yasin dengan seorang wanita yang masih kerabatnya, yaitu Halimah Hasan Yasin. Dari wanita itu kemudian Syaikh Ahmad Yasin dikaruniai beberapa orang anak. Menjalani kehidupan penuh kesederhanaan jauh dari kesan mewah dan bergelimang harta. Andai Syaikh Ahmad Yasin mau, tentu ia bisa mendapatkannya. Seorang putrinya, Mariyam Ahmad Yasin, menceritakan tentang sikap hidup ayahnya,


"Rumah ayah terdiri dari 3 kamar dengan jendela yang sudah rapuh. Rumah ini sangat sederhana sekali. Ini fakta bahwa ayahku tak cinta dunia, namun cinta akhirat. Banyak yang menawari beliau untuk memiliki rumah seperti pejabat tinggi negara, namun ditolaknya. Bahkan pernah suatu ketika, Pemerintah Otoritas Palestina memberi sebuah rumah besar di suatu kampung mewah di Gaza. Namun tawaran itu di tolak, ia tidak peduli dengan berbagai ragam bentuk kesenangan duniawi."




Bersambung...

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak