Oleh : Raudatul Jannah
Aktivis Komunitas Mahasiswi Inspirasi Banua
Berbicara sistem demokrasi tak lepas dari slogannya “dari rakyat - oleh rakyat – untuk rakyat”. Wakil rakyat nantinya akan menduduki posisi Trias Politika yaitu bagian eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dalam demokrasi, meski tampak indah, sebenarnya dari awal sudah bermasalah dan realitanya mudah diperalat.
Dikutip dari CNN Indonesia (Jum’at 31/8/2018) kasus terbaru berhasil dibongkar oleh KPK yaitu dugaan suap terkait usulan tambahan dana perimbangan daerah pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) tahun anggaran 2018, lewat operasi tangkap tangan (OTT) pada awal Mei 2018. Setelah melakukan pemeriksaan dan gelar perkara, KPK kemudian menetapkan Amin, Yaya, Ahmad, dan Eka sebagai tersangka suap. Ada 3 analisa faktor mengapa hal ini terjadi :
Pertama, dari sisi hubungan transaksional yang terbangun dalam politik demokrasi inilah menjadi peluang pintu korupsi dan suap. Faktanya wakil rakyat yang berada di kursi DPR mayoritas hanya memperjuangkan kepentingan pemodal ketimbang kepentingan rakyat. Hal ini sebagai balas jasa dari dari dana yang diberikan. Sehingga wajar akan ada simbiosis mutualisme dalam sistem ini baik penguasa dan pengusaha.
Dalam demokrasi-kapitalistik kita akan dipertontonkan dengan politik kepentingan dan pembiayaan yang mahal. Dari awal kita lihat pemilihan pemimpin memerlukan mahar yang besar demi menjadi pejabat negara. Karena itu memerlukan pemodal-pemodal besar yang bisa menambahkan dananya. Tentunya bagi pemilik modal no free lunch, tidak ada makan siang gratis. Merekalah yang akhirnya mengontrol para politisi dalam mengatur negara, bukan hanya menjadi mitra dalam berbagai proyek, termasuk dalam hal membuat RUU yang menguntungkan si pemodal. Walhasil upaya negatif yang dilakukan untuk mengembalikan modal dengan cara korupsi. Sungguh korupsi dan suap menjadi buah dari sistem demokrasi.
Kedua, dalam sistem demokrasi standar baik dan buruk, terpuji dan tercela ditentukan oleh standar manusia dalam kesepakatan bersama. Baik dan buruk disesuaikan dengan kepentingan yang terjalin. Padahal tidak selamanya kesepakatan banyak orang selalu menghasilkan kebaikan. Juga tidak selamanya kebaikan dengan mudah disepakati. Demikian juga sebaliknya. Kebenaran adalah kebenaran. Ia tidak ditentukan oleh sedikit atau banyaknya jumlah orang yang menyepakati. Sesuatu itu benar bergantung pada dasar yang digunakan untuk menetapkan sebuah kebenaran. Justru sesuatu kebenaran jika ditentukan berdasarkan kesepakatan akan banyak menghasilkan perselisihan.
Korupsi massal dan suap itu bisa terjadi karena aturan yang dibuat sendiri oleh manusia yakni kompromi antara legislatif dan eksekutif. Menetapkan benar dan salah dalam kebijakan, menyusun dan menetapkan anggaran, merestui proyek-proyek penggarapan fasilitas umum, eksplorasi tambang, pembangunan infrastruktur, dan seterusnya ditetapkan dengan landasan yang bersifat kompromis. Sangat rentan dimasuki kepentingan berbagai pihak. Aturan-aturan yang kompromistis ini jelas akan membuka celah korupsi.
Ketiga, rentannya terjadi suap karena minimnya dana yg dimiliki daerah untuk membangun infrastruktur. Banyak daerah yang mendapatkan minim pendanaan untuk pembangunan daerah. Hal ini karena dana yang didapat menyesuaikan potensi kekayaan daerah. Ditambah lagi faktanya dalam sistem demokrasi pembahasan dan pengesahan APBD seringkali dijadikan alat tawar-menawar uang suap. Anggaran yang seharusnya digunakan untuk pembangunan daerah akhirnya bergulir ke kantong-kantong para pejabat pemerintah.
Beda sekali dengan Sistem Islam. Anggaran Belanja Khilafah untuk pembangunan daerah sesuai kebutuhan bukan karena Potensi Kekayaan Daerah. Pembangunan daerah akan didukung dan dikelola oleh negara dengan strategi pembiayaan dari dana kepemilikan umum. Selain itu sistem islam akan menjaga individu-individu dari kecurangan untuk menguasai uang rakyat. Baik penjagaan dari kepribadiaan individunya membentuk insan yang bertakwa, mekanisme politiknya untuk mengurusi umat, dan didukung kontrol masyarakat serta hukum Islam yang diterapkan.