Stunting, Potret Miris Negeri Agraris

Oleh : Ari Nurainun, SE

 ( Pemerhati Generasi)

Kementerian PPN/Bappenas mencatat, Indonesia masuk dalam 17 negara yang mengalami beban ganda permasalahan gizi, berdasarkan Global Nutrition Report tahun 2014. Berdasarkan data tersebut sebanyak 9 juta dari 159 juta anak stunting di seluruh dunia, tinggal di Indonesia.   Menurut Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013,   angka kejadian stunting nasional mencapai 37,2 persen. Angka ini meningkat dari 2010 sebesar 35,6 persen.  Hingga bisa disimpulkan, “1 dari 3 anak di Indonesia mengalami stunting. Bahkan, jumlahnya terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun,” kata Ahli Gizi UGM, Prof.dr. Hamam Hadi, M.S.,Sc.,Sp.GK., 

Sementara itu  Ketua Tim PKK Balikpapan, Arita Rizal Effendi mengungkapkan, di Balikpapan terdapat sekitar 4 ribu anak stunting. Namun, baru 1500 anak yang mendapat bantuan dari Pemkot. 600 anak diantaranya adalah anak usia dini. Sedangkan sisanya belum ditemukan. Masih menurut Istri Walikota Balikpapan, pemkot akan memberikan bantuan penanganan kesehatan melalui Posyandu kepada anak-anak yang terkena stunting. (TribunKaltim.co.id).  

Apa itu stunting 

Stunting adalah salah satu permasalahan gizi yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama karena pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Stunting mulai terjadi ketika janin masih dalam kandungan dan baru nampak saat anak berusia dua tahun. Anak stunting atau bertubuh pendek merupakan indikasi kurangnya asupan gizi, baik secara kuantitas maupun kualitas, yang tidak terpenuhi sejak bayi, bahkan sejak dalam kandungan. Kondisi ini menyebabkan anak memiliki tinggi badan cenderung pendek pada usianya. Selain tubuh pendek, stunting juga menimbulkan dampak lain, baik dampak jangka pendek maupun jangka panjang. Stunting akan mempengaruhi perkembangan otak jangka panjang yang selanjutnya berdampak pada kemampuan kognitif dan prestasi pendidikan. Selain itu, pertumbuhan yang linear akan mempengaruhi daya tahan tubuh serta kapasitas kerja. 

Stunting memang menjadi ancaman serius dalam pembangunan sebuah bangsa. Bagaimana tidak, anak yang menjadi pelanjut estafet perjuangan, akan terhambat pertumbuhannya akibat hal ini. Hingga wajar kiranya,  Bersama membangun gizi menuju bangsa sehat dan berprestasi masih menjadi fokus tema peringatan hari gizi nasional ke 58 tanggal 25 januari 2018. 

Setengah hati memerangi stunting

 Dalam peringatan hari gizi nasional 2018 yang mengambil sub tema mewujudkan kemandirian keluarga dalam 1000 hari pertama kehidupan (HPK) sebagai pencegahan terhadap stunting, sebenarnya tak lebih dari upaya setengah hati memerangi stunting. Untuk mempertegas maksud penulis, berikut ini 3 langkah sederhana yang dikampanyekan mampu mencegah stunting pada anak

Memberikan asupan nutrisi yang baik pada ibu hamil dan menyusui

Memberikan asupan gizi yang baik pada anak serta ASI esklusif pada bayi hingga usia 6 bulan

Pola hidup sehat dan bersih seperti tidak mengkonsumsi alkohol, membiasakan cuci tangan pakai sabun serta menjaga lingkungan dan sanitasi yang bersih

Benar, ini adalah 3 langkah yang terbilang sangat sederhana. Tapi jangan lupa, kemampuan keluarga dalam memberikan asupan nutrisi yang baik bagi ibu hamil dan menyusui, serta pemberian gizi yang baik dan asi ekslusif tak bisa dilepaskan dari beberapa factor , antara lain ,tingkat kemiskinan, tingginya harga barang, rendahnya daya beli masyarakat, juga factor pendidikan.  Sehingga menyerahkan pencegahan stunting pada kemandirian keluarga dalam 1000 HPK, bukanlah solusi yang bisa berdiri sendiri. Begitupun pemberian biskuit stunting,yang dinilai sebagai senjata pamungkas dari kemenkes dinilai tidak efektif menurunkan angka stunting.

Mengurai benang kusut

Jika pemerintah serius ingin memerangi stunting dan berbagai kasus gizi buruk lainnya, maka banyak hal yang harus dibenahi. Indonesia, negeri agraris dengan keanekaragaman hayati harus menata kembali berbagai kebijakan yang selama ini membuat negeri ini porak poranda. Bukan akibat perang, namun akibat UU liberal yang gagal melindungi warganya. Contohnya saja UU Pangan. 

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia(YLKI) sendir menilai, keberadaan Undang-Undang(UU) Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan telah merugikan konsumen. UU Pangan lebih menekankan aspek produksi korporasi dan keterkaitan pasar global yang jelas merugikan konsumen, termasuk dari sisi harga. Ketua Harian YLKI Daryanto mengatakan, UU tentang Pangan menekankan pemenuhan kebutuhan pangan melalui jalur perusahaan. "Ini menafikan kearifan lokal. DPR dan Pemerintah menjual pasar Indonesia dengan penduduk 240 juta ke pelaku bisnis dalam negeri maupun asing," ujarnya kepada Kontan, Senin (25/2).Padahal, Pasal 17 UU Pangan berbunyi, Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban melindungi dan memberdayakan Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan sebagai produsen Pangan.

Masih menurut Daryanto, "Peraturan ini tidak menekankan kepada kelompok petani akibat tidak ada duitnya dan tidak bisa dikorupsi, sehingga dialihkan kepada yang namanya food estate”. Dengan menekankan kepada korporasi dengan sektor padat modal, maka tidak menutup kemungkinan masuknya korporasi dengan skala global. "Ini bisa menjadi jualan yang menarik dengan penduduk sebanyak 240 juta, maka pelaku bisnis asing akan masuk ke Indonesia karena semakin dilindungi," ujarnya. 

Ini baru dari satu kebijakan. Sementara stunting sendiri secara langsung berhubungan dengan kesehatan dan berbagai sarana penunjang lainnya. Kebijakan neolib di negeri ini, membuat persoalan kesehatan menjadi tanggungan masing-masing warga Negara. Jangan berharap mendapatkan fasilitas kesehatan prima, jika kita tidak mengasuransikan jiwa kita sendiri. BPJS yang digadang-gadang sebagai solusi bagi persoalan kesehatan, sebenarnya tak lebih dari asuransi. Iuran yang dibayar setiap bulan adalah kompensasi atas layanan kesehatan yang ingin didapatkan. Jika anda tidak membayar iuran BPJS, jangan pernah berharap mendapatkan pelayanan kesehatan. No Free Lunch. Tidak ada makan siang yang gratis. 

Padahal, jangankan untuk membayar iuran BPJS, atau mendapatkan asupan makanan yang bernutrisi, untuk sekedar makan saja, bagi mayoritas penduduk di negeri ini menjadi sesuatu yang mahal. Kemiskinan adalah wajah asli negeri ini, ditengah percepatan pembangunan negeri ini. Sulit dipercaya, namun mari kita buka mata kita.  Cermati standar miskin ala BPS berikut ini

1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8m2 per orang

2. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan

3. Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/ rumbia/ kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.

4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/ bersama-sama dengan rumah tangga lain.

5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.

6. Sumber air minum berasal dari sumur/ mata air tidak terlindung/ sungai/ air hujan.

7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/ arang/ minyak tanah

8. Hanya mengkonsumsi daging/ susu/ ayam dalam satu kali seminggu.

9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun

10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/ dua kali dalam sehari

11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/ poliklinik

12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 500m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp. 600.000,- per bulan

13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/ tidak tamat SD/ tamat SD.

14. Tidak memiliki tabungan/ barang yang mudah dijual dengan minimal Rp. 500.000,- seperti sepeda motor kredit/ non kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.

Jika minimal 9 variabel terpenuhi,  maka suatu rumah tangga dikategorikan miskin. Manusiawikah? Haruskan menunggu 9 variabel, baru uluran tangan pemerintah hadir? Bayangkan, betapa sengsaranya rakyat negeri ini. Wajar persoalan gizi buruk tak akan pernah bisa diselesaikan. 

Jadi, jika pemerintah ingin dianggap serius dan sungguh-sungguh memerangi stunting, hal pertama yang harus diurai adalah kemiskinan sistemik. Yaitu dengan cara mengembalikan pengelolaan kekayaan alam Indonesia berbasis Islam. Memutuskan segala bentuk intervensi asing  serta menjadikan Islam memimpin negeri ini. 

Wallahu’alam bi showab




Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak