Oleh : Fariha Adiba
Bocah perempuan berusia 3 tahun itu, bernama Siti Nafila, berbeda dengan anak seusianya. Tinggi badannya hanya 71 cm. Beratnya, 8 kg, membuatnya seperti balita berusia 1 tahun.
Warga Dusun Sumbercandik, Panduman, Jelbuk, Jember ini, tidak sendiri, karena masih banyak Siti Nafila, Siti Nafila lain. Seperti di ungkap, Direktur Prakarsa Jatim Madekhan bahwa, "data DinKes Jember, dari 180 ribu balita, sekitar 30 persennya, yaitu 60 ribu balita, terindikasi prevalensi stunting (kekurangan gizi). Dan Jember masuk lima besar stunting di Jawa Timur. Indonesia mendapat sorotan dari dunia terkait lima besar stunting di dunia," katanya.
"Kompleksnya persoalan stunting di Jember, karena daya ungkit Dinas Kesehatan Jember hanya 30 persen saja, sedangkan 70 persen berada di lintas sektor,” ujar Perwakilan DinKes, Reni, dalam diskusi media program Anak Sehat yang digelar LSM Prakarsa Jatim bersama Yappika ActionAid di Kabupaten Jember, Kamis (30/8/2018).
Meski, DinKes sudah menggalakkan program pencegahan stunting sejak usia remaja, sebelum pemerintah pusat mengkampanyekan penanganan stunting. Namun harus diakui Dinkes Jember, bahwa, kasus balita stunting saat ini cukup banyak.
Anak yang bertubuh pendek di masyarakat cenderung dianggap wajar. Padahal, ini menjadi indikasi keterlambatan atau gangguan pertumbuhan. Selain tubuh pendek, stunting juga menimbulkan dampak lain, baik jangka pendek, yaitu pada masa kanak-kanak perkembangan menjadi terhambat, penurunan fungsi kognitif, penurunan fungsi kekebalan tubuh, dan gangguan sistem pembakaran. Maupun jangka panjang, yaitu, pada masa dewasa timbul resiko penyakit degeneratif, seperti diabetes melitus, jantung koroner, hipertensi, dan obesitas.
Ketua Bidang Ilmiah Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi) Dr. Atmarita, MPH mengatakan anak yang tidak mendapatkan ASI eksklusif enam bulan sangat beresiko mengalami stunting
Selain asupan gizi, stunting juga bisa ditimbulkan dari kondisi kesehatan perempuan sejak masih dalam konsepsi (pembuahan), juga bisa akibat dari penyakit infeksi dan penyakit bawaan, sehingga asupan nutrisi yang diberikan tidak dapat masuk ataupun tercerna dengan baik.
Pemerintah menjadikan upaya penyembuhan stunting sebagai salah satu prioritas nasional, dari 30 prioritas, yang ditargetkan mulai tahun ini," ujar Deputi Menteri Bidang Pendanaan Pembangunan Kementerian PPN/Bappenas Kennedy Simanjuntak, dalam acara 'Stunting Summit' Jakarta ,(28/3/2018).
Bappenas mencatat ada 9 juta anak yang mengalami stunting.
Karena itu, pada 2019, pemerintah menargetkan penurunan angka stunting menjadi 28 persen. Dengan pendekatan yang terintegrasi, melibatkan multisektor, baik pemerintah pusat, daerah, desa, masyarakat, lembaga sosial, maupun swasta.
Menetapkan 100 kabupaten yang akan ditangani di tahap awal, kemudian dilanjutkan 200 kabupaten lainnya. Alokasi dana yang digelontorkan untuk intervensi gizi spesifik dan sensitif, pada tahun 2018 sejumlah 49.767,23 miliar.
Kebijakan nasional dalam upaya perbaikan gizi masyarakat, tertuang dalam UU Nomor 36 Tahun 2009, bahwa upaya perbaikan gizi ditujukan untuk peningkatan mutu gizi perorangan dan masyarakat. Pemerintah juga telah mengeluarkan PerPres nomor 42 tahun 2013 tentang, Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi yang fokus pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), Karena stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada balita akibat kekurangan gizi kronis terutama pada 1.000 HPK, dari janin hingga anak usia 2 tahun.
Namun, dengan berbagai upaya yang dilakukan pemerintah, nyatanya dari tahun ke tahun belum juga mencapai target. Walaupun hasil dari Pemantauan Status Gizi (PSG) 2017 yang dirilis 25 Januari 2018 lalu, menunjukkan prevalensi stunting pada anak usia di bawah dua tahun (Baduta) mengalami penurunan dari 21,7% (2016) menjadi 20,1 persen (2017).
Hal ini karena masalah stunting ini, selain kompleks juga sistemik. Sehingga semua solusi yang digencarkan pemerintah tidak akan menyelesaikan secara komprehensif, karena, solusi tersebut digencarkan di bawah sistem kapitalis yang justru menjadi akar segala permasalahan.
Di era kapitalis sekuleris ini, sulitnya kehidupan ekonomi memaksa wanita keluar rumah hingga keluar dari fitrahnya sebagai ibu, pengelola rumah tangga dan sekolah yang utama. Tidak heran untuk mewujudkan program ASI eksklusif saja susah, walaupun pemerintah sudah menggalakkan Ruang Ibu Menyusui di berbagai tempat publik termasuk tempat kerja. Belum lagi wanita karir yang dengan gelora emansipasi menjadi terobsesi berkarir setingginya dan berkiprah seluasnya di luar rumah hingga mengabaikan hak anak.
Bagaimana mungkin negara ini bisa maju jika genarasinya mengalami kekurangan gizi?
Maka, selain ikut berpartisipasi mengurangi kasus stunting dan masalah gizi lainnya, penting untuk menggapai solusi dan perubahan yang mendasar dan sistemik. Bahwa, pengentasan masalah gizi ini, demi memenuhi kewajiban mengurus kebutuhan rakyat dalam rangka ketaatan kepada Allah. Bukan demi memiliki tenaga kerja yang sehat dan cerdas, agar berkontribusi terhadap perekonomian, seperti sistem kapitalis.
Solusi Islam mengatasi Gizi buruk
Dalam islam gizi buruk merupakan tanggung jawab negara. Sesuai dengan hadits :
“Kamu semuanya adalah penanggungjawab atas gembalanya. Maka, pemimpin adalah penggembala dan dialah yang harus selalu bertanggungjawab terhadap gembalanya.” (Hr. , al-Bukhâri, Muslim, Abû Dâwûd dan at-Tirmîdzi dari Ibn Umar).
Dengan demikian sudah selayaknya dalam islam negara memberikan pelayanan sebaik baiknya kepada rakyat. Salah satunya, memberikan asupan gizi yang cukup. Karena semua merupakan tanggung jawab negara. Dalam sirah dikisahkan, bagaimana khalifah umar bin khatab setiap malam datang, bliau tidak pernah tidur nyenyak. Karena bliau khawatir masih terdapat rakyatnya yang lapar. Khalifah umar sering melakukan sidak ke rumah-rumah penduduk untuk melihat bagaimana kondisi rakyatnya. ketika ditemukan terdapat keluarga yang sedang memasak batu, maka khalifah umar langsung bergegas memanggul sekarung gandum untuk keluarga tersebut.
Sungguh luar biasa fenomena yang mungkin jarang bahkan belum pernah dilakukan oleh pemimpin saat ini. Saat malam datang mungkin mereka tidur nyenyak berselimutkan kemewahan. Seolah kondisi rakyat yang bergelimpangan dengan gizi buruk menjadi hal yang wajar. padahal itu semua akan di mintai pertanggung jawaban di hadapan Allah.
Dalam sistem islam, Pemimpin berkewajiban untuk mengurusi rakyatnya dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup, seperti pendidikan, kesehatan, lapangan pekerjaan, dan sebagainya. Pemimpin tidak akan membiarkan rakyatnya hidup dalam kemiskinan yang berdampak terjadinya gizi buruk. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Seorang pemimpin adalah pemelihara dan dia bertanggung jawab terhadap peliharaannya.”(HR. Imam Bukhari dan Muslim).
Oleh karena itu jika kita ingin hidup berkah dan bebas dari gizi buruk maka solusi yang sangat rasional adalah terapkan islam. Allah SWT berfirman yang artinya :
Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (TQS. Al A’raf [7] : 96)
Sistem kapitalisme yang tidak bersumber dari Allah swt, tentu membawa kerusakan dan penderitaan karena sistem tersebut merupakan buatan manusia.
Firman Allah SWT :
"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (TQS.Ar-rum:41).
Kerusakan yang terjadi termasuk persoalan gizi buruk adalah akibat dari perbuatan manusia sendiri, yang berhukum kepada selain hukum Allah. Karena itu, kita harus kembali kepada hukum yang telah ditetapkan Allah dengan menerapkan system Islam, sesuai dengan manhaj kenabian.
Dialah maha pencipta dan pengatur paling mengetahui yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya.
Oleh karena itu mari kita bersama-sama memperjuangkan syariah Islam sebagai kewajiban dari Allah dan demi kemaslahatan umat.
wallah a’lam bi ash-shawab.