Solusi Pemerintah Menambal Defisit BPJS

Oleh: Ummu Nazma

(Member Akademi Menulis Kreatif4)

Surat terbuka yang dilayangkan dokter cantik, Eno Zthezia kepada Presiden Jokowi menyita perhatian publik, terutama di dunia maya. Ahli bedah anastesi ini mengungkapkan bahwa sejumlah pihak selain masyarakat telah dirugikan BPJS, seperti dokter, perawat, bidan, fasilitas kesehatan (faskes), karyawan faskes, industri alat kesehatan dan usaha lain yang terkait.

Semakin hari keluhan masyarakat terkait pelayanan BPJS semakin bertambah. Tak cuma datang dari pasien, tenaga kesehatan tapi juga dari fasilitas kesehatannya. Yuniarti Tanjung misalnya, pasien penderita kanker payudara ini menggugat  BPJS karena tidak lagi memberikan obat kanker payudara trastuzumab dalam paket manfaat program JKN-KIS. Padahal obat itu diklaim efektif memperpanjang usia penderita kanker HER2 positif yang diderita Yuniarti. Kasus lain, seorang bidan bernama Tanty Soempena mengatakan bahwa tagihannya sejak November 2017 belum cair hingga kini, sementara pasien BPJS terus berdatangan. Disisi lain, jika mereka menolak faskes 1 akan dicabut izinnya. Sementara perusahaan farmasi disinyalir banyak yang gulung tikar gara-gara utang jatuh tempo obat dan alat kesehatan belum dibayar mencapai Rp 3,5 triliun perJuli 2018 (Viva.co.id).

Solusi kapitalis Atasi Defisit BPJS

Sebagai lembaga keuangan nonprofit, BPJS akhirnya mengungkap telah terjadi masalah dilembaganya. Kondisi keuangan semakin defisit. “Besar pasak daripada tiang”. BPJS mengalami kerugian hingga Rp 9,75 Triliun sepanjang tahun 2017, dan meningkat Rp 10,98 triliun pada 2018. Dengan pendapatan sebesar Rp 74,25 triliun yang didapat dari iuran Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS), total pengeluarannya justru mencapai Rp 84 triliun. Penyebab defisit sebagaimana dikemukakan Fahmi Idris selaku Direktur Utama BPJS adalah iuran peserta BPJS masih rendah. Besaran iuran yang telah ditentukan perkelas ternyata tidak diimbangi pembayaran rutin. Banyak masyarakat yang diklaim menunggak angsuran tapi sudah mendapat layanan kesehatan melebihi iuran yang sudah disetorkan.

Menyikapi hal tersebut, pemerintah saat ini terus melakukan koordinasi dengan Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan untuk mencapai solusi menambal defisit. Pemerintah pusat  akan mendorong pemerintah daerah agar melakukan penarikan iuran BPJS kepada masyarakat atau dengan cukai rokok.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan, dana untuk menutupi defisit anggaran pada BPJS-K akan cair pada tanggal 24 September 2018.  Dana talangan itu sebesar Rp 4,9 triliun. Tak hanya itu, selain melalui dana talangan, pajak rokok juga akan dialokasikan untuk ikut serta menambal defisit tersebut. Menurut wakil Menkeu, Mardiasmo di Gedung Kemenkeu (Jumat, 21/9/2018), besaran kontribusi alokasi pajak rokok adalah 75 persen dari setengah realisasi penerimaan pajak rokok yang merupakan hak masing-masing daerah.

Hal senada diungkapkan Kepala Sub Direktorat Tarif Cukai Dirjen Bea dan Cukai Sunaryo  bahwa dana pajak rokok yang siap digelontorkan untuk menyelamatkan BPJS-K sebesar 5 triliun. “Pajak rokok kalau proyeksi kami dengan cukai tercapai, 10% dikali Rp 148 triliun. Jadi Rp 14 triliun sekian. 75% dari 50% pajak rokok untuk BPJS sekitar 5 triliun”kata Sunaryo (CNBC Indonesia, Kamis 20/9/2018). Untuk beberapa kalangan, langkah yang diambil pemerintah dengan mengambil dana dari cukai rokok dianggap tepat, sebut saja Direktur Eksekutif CITA Yustinus Prastowo . Menurutnya, menjadikan dana bagi hasil cukai tembakau dan pajak rokok sebagai sumber pendanaan adalah langkah tepat. Namun demikian, pemerintah perlu menerbitkan sebuah Perpres untuk formulasi pembiayaan yang substainable baik melalui iuran wajib maupun alokasi lain dari sumber yang bersifat earmark. 

Kisruh dan masalah yang terus bermunculan mengindikasikan bahwa memang dari awal konsep Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sudah salah. Konsepnya berakar dari suatu pandangan yang bersifat neoliberalistik. Konsep ini berusaha menghilangkan peran negara/pemerintah dalam mengurus rakyat bahkan menegaskan bahwa layanan kesehatan dianggap lebih baik diselenggarakan melalui asuransi sosial daripada diselenggarakan oleh pemerintah. Terlebih lagi solusi yang diambil pemerintah adalah “menambal” bukan membuang sumber masalahnya. Memungut pajak tembakau (rokok) dan menggencarkan iuran peserta BPJS yang macet jelas tidak akan solutif.

Pandangan Islam Terkait Jaminan Kesehatan

Dalam pandangan Islam, haram hukumnya pemerintah menyelenggarakan Jaminan Kesehatan Nasional berdasarkan UU No 40 Tahun 2004 Tentang SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) dan UU No 24 Tahun 2011 Tentang BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Konsep JKN tersebut bukanlah peraturan Syariah Islam melainkan aturan hukum kufur. Setiap Muslim, siapapun dia, baik rakyat atau penguasa, haram hukumnya menerapkan hukum kufur dan sebaliknya wajib menerapkan syariat Islam saja.

Dalam JKN, jaminan kesehatan diperoleh oleh rakyat harus dengan membayar iuran. Sedangkan dalam Islam, jaminan kesehatan diperoleh oleh rakyat dari pemerintah secara gratis. Aturan Islam mewajibkan negara/penguasa menjamin kesehatan rakyatnya secara cuma-cuma, tanpa membebani rakyat untuk membayar. Negara memiliki peran sentral dan sekaligus bertanggungjawab penuh dalam semua urusan rakyat termasuk kesehatan. Dalam Shahih Muslim diriwayatkan sebagai berikut : dari Jabir ra, dia berkata : “Rasulullah SAW telah mengirim seorang dokter kepada Ubay bin Ka’ab (yang sedang sakit). Dokter itu memotong salah satu urat Ubay lalu melakukan kay (cor dengan besi panas) pada urat itu” (HR.Muslim No 2207).

Dalam hadits tersebut, Rasulullah SAW sebagai kepala Negara Islam telah menjamin kesehatan rakyatnya secara cuma-cuma dengan mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa dipungut biaya. Namun hal ini tak berarti bahwa jasa dokter swasta atau membeli obat  dari apotik swasta hukumnya haram. Karena yang diperoleh secara gratis adalah layanan kesehatan dari negara. Adapun jika layanan kesehatan itu dari swasta (bukan pemerintah), maka hukumnya boleh membayar jasa dokter atau membeli obat dari apotek swasta tersebut. Hal ini didasarkan pada dalil umum bolehnya berobat dengan membayar dan dalil umum bolehnya jual beli (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Ad Dustuur, 2/143).

Demikianlah gambaran nyata  jaminan kesehatan dengan konsep Islam. Imam/Khalifah menyadari betul fungsinya sebagai raa- in dan pelayan umat. Hak mendasar rakyat seperti kesehatan, keamanan, pendidikan dan perlindungan akan  menjadi tugas utama seorang Imam/Khalifah untuk diberikan sebagai wujud kewajibannya berdasar hukum syara’.     

Wallahu a’lam bi Ash Shawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak