SELAMATKAN PERADABAN dan GENERASI MASA DEPAN

                   



Oleh : Ummu Aqeela




       Miris sekali ketika melihat sebuah video yang beredar di media sosial, video yang menampilkan Julie Sutrisno Laiskodat istri dari politisi Victor Laiskodat.  Dalam video yang berdurasi satu menit itu dia mengatakan bahwa Moki, Sopi, dan Laru ( minuman keras khas NTT ) sama dengan hepeng alias uang. Julie sendiri adalah Ketua Tim PKK Provinsi NTT. Ajakan secara terang-terangan dia lontarkan kepada pemerintah dan masyarakat setempat serta pegawai untuk memikirkan bagaimana caranya agar minuman keras khas NTT itu bisa menjadi minuman yang diburu diseluruh dunia dan bisa menghasilkan pendapatan dan dapat merubah perekonomian masyarakat dan daerah NTT. ( POS-KUPANG.com, 13 sebtember 2018 )



       Dalam kamus besar Bahasa Indonesia Moke sendiru adalah sejenis minuman tradisional yang dibuat dari hasil penyulingan buah dan bunga pohon lontar dan enau. Pembuatan moke dilakukan di kebun-kebun masyarakat dan menggunakan wadah-wadah periuk tanah untuk memasaknya. Satu botol moke butuh lima jam proses karena menunggu tetesan demi tetesan dari alat penyulingan yang menggunakan bambu. Walaupun Moke adalah minuman berakohol mendapatkannya sangatlah mudah di NTT, diberbagai pelosok kota maupun desa Moke selalu tersedia. Harganya antara 15-20rb per botol sebesar kemasan air mineral yang sedang. Masyarakat di Flores sering mengkonsumsi Moke secara beramai-ramai atau dalam istilah daerah disebut dengan cara melingkar. ( Wikipedia Indonesia )



       Darurat memang itu kata yang tepat untuk menggambarkan segala peristiwa yang akhir-akhir ini terjadi. Dari tindakan melegalkan minuman keras, LGBT, perjudian, serta kriminalisasi yang merajalela terhadap ulama membuat kita sebagai umat menghela nafas panjang. Ini semua adalah buah dari sistem Sekulerisme ( menjauhkan agama dari kehidupan ) dan Kapitalisme ( materi adalah segalanya ) menyebabkan begitu banyaknya manusia berfikir sempit bahwa segala sesuatu didasarkan hawa nafsu didunia tanpa berfikir panjang bahwa ada kehidupan abadi setelahnya. Kenikmatan semu yang dikejar mati-matian dan menghalalkan berbagai macam cara bahkan hal yang jelas-jelas haram menjadi halal, dan hal yang jelas-jelas kehalalannya diragukan. 

Bagaimana semua ini bisa terjadi?

Ketika kesenjangan hidup tampak jelas di sisi ekonomi, pendidikan, dan rendahnya tingkat kedekatan setiap Insan terhadap Penciptanya melahirkan pemikiran yang jauh dari Islam. Serta begitu banyaknya fasilitas yang melenakan membuat umat begitu mudah terjerumus ke jurang kemaksiatan. Negara sendiri mendapatkan keuntungan dari penjualan miras legal, oleh karena itulah negara menghalalkan dan melegalkan keberadaannya. 

Lalu bagaimana generasi penerus masa depan jika kondisi di masa ini begitu mengkhawatirkan?

Sebagai orang tua akan begitu susahnya menjaga setiap anggota keluarganya ketika lingkungan dan negara tidak memberikan rasa aman dan nyaman. Peradaban memang dimulai dari rumah atau keluarga namun jika lingkungan luar dan negara tidak ikut andil apalah gunanya. Mulailah peka dengan keadaan sekitar, sudah bukan waktunya memikirkan diri sendiri karena rusak atau tidak umat tergantung dari usaha yang kita lakukan juga. Menanamkan kedekatan satu sama lain adalah hal yang penting sehingga rasa toleransi akan muncul secara otomatis. Dan yang penting adalah kembali dekat kepada Allah dan menerapkan segala aturan yang bersumber dariNYA secara kaffah.



Dalam Islam sendiri sudah jelas dan tegas bahwa miras atau khamr hukumnya adalah haram. Sebagaimana Allah berfirman :


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“ Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum Kham, berjudi, berkorban untuk berhala, menundi nasib dengan panah adalah perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan tersebut agar kamu beruntung “ ( QS. Al Maidah [5] : 90 )

Sebagai muslim sudah seharusnya kita ta’at dan tunduk dengan aturan dari Allah Sami’na wa Atho’na yang artinya saya mendengar dan saya ta’at. 



Wallahu’alam bi showab.





Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak