Oleh: Najwa Alifah (Revowriter Aceh)
Menjadi sarjana adalah sesuatu yang diimpi-impikan oleh kebanyakan orang. Bahkan mereka rela mati-matian menghabiskan waktunya untuk meraih gelar sarjana. Seakan-seakan menjadi sarjana adalah masa depan yang gemilang.
Banyak orang menganggap semakin tinggi titel yang disandang, maka semakin tinggi pula kesuksesan yang akan diraihnya. Benarkah demikian?
Faktanya hari ini tidak sejalan dengan apa yang didengung-dengungkan. Tingginya titel yang disandang tidak bisa menjamin kebahagian, malahan cenderung membawa pada kegagalan kemunduran dan bahkan berujung kematian. Hal tersebut disebabkan banyaknya lulusan sarjana menganggur tidak adanya pekerjaan yang layak untuk profesi yang telah diraihnya.
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi mencatat dari total 7 juta orang yang menganggur di Indonesia, sebanyak 8,8 persennya atau berkisar 630.000 orang adalah lulusan sarjana (S-1) (pikiran-rakyat.com, 26/03/2018).
Besarnya persentasi pengangguran di indonesia menjawab bawah ijazah sarjana bukanlah pondasi utama untuk meraih kesuksesan hidup. Karena pandangan terhadap kesuksesan termasuk cara untuk meraihnya sangat tergantung pada sudut pandang manusia terhadap kehidupan ini.
Sukses Menurut Kaca Mata Kapitalistik
Kapitalisme adalah sistem yang hari ini mengikat manusia dengan landasan hidup materi. Sistem ini telah merusak frame berpikir remaja, pemuda dan masyarakat yang menjadikan tujuan hidup sekadar memperoleh manfaat kebahagiaan yang sifatnya sesaat.
Jaminan sukses dalam kapitalis adalah semu. Manusia diperbudak olehnya dengan paham kebebasan menghalalkan segala cara untuk meraih kesuksesan hidup tanpa lagi memperhatikan larangan dalam pandangan islam dan akhir dari kebahagian tersebut. Maka, wajar ketika cita-cita yang diharapkan tidak diperoleh mereka akan kecewa, dilanda berbagai problem dan bahkan sampai depresi berakhir dengan bunuh diri. Karena sistem ini hakikatnya menafikan peran sang pencipta sebagai pengatur dalam urusan hidup mereka sehingga mereka hilang pijakan hidup yang terarah.
Kesuksesan Hakiki dalam Islam
Kesuksesan dan kebahagiaan hakiki menurut islam menjadikan pandangan seorang muslim bukan sekadar diukur dengan capaian yang bersifat materialistik, namun lebih dari itu, yang paling utama keridhoan Allah SWT dzat yang Maha penjamin kebahagiaan.
Nabi Muhammad saw. mengubah keyakinan dan cara berpikir materialistik menjadi cara berpikir untuk akhirat tanpa melupakan dunia. Allah Swt berfirman:
وَابْتَغِ فِيمَا ءَاتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ اْلآخِرَةَ وَلاَ تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
Carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepada kalian (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kalian melupakan bagian kalian dari kenikmatan duniawi, (QS al-Qashash [28]: 77).
Allah Swt juga menyampaikan melalui utusan-Nya bahwa kebahagiaan hakiki adalah tercapainya ridha Allah Swt yang salah satu wujudnya adalah ampunan dan surga yang telah disediakan bagi orang-orang bertakwa. Tegas sekali perintah-Nya:
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَاْلأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
Bersegeralah kalian menuju ampunan dari Tuhan kalian dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (QS Ali Imran [3]: 133).
Demikian Allah menerangkan arti kebahagiaan yang sesungguhnya. Maka pandangan hidup yang sahih dan lurus, yakni pandangan hidup Islam yang didasarkan pada akidah Islam menanamkan bahwa kebahagiaan hidup adalah diperolehnya ridha Allah. Bukan tercapainya hal-hal yang bersifat duniawi dan material semisal mencari pekerjaan atau popularitas, karena semua itu bersifat sementara.
Oleh sebab itu, setiap muslim dituntut beriman dan bertakwa kepada Allah dan RasulNya menjadikan Islam sebagai poros hidup. Ia juga harus menuntun dirinya untuk terus belajar Islam dengan proses pengkajian secara benar. Bulukan untuk kepuasaan intelektual semata yang berakhir diperkuliahan, melainkan untuk diyakini, dihayati, dan diamalkan dalam hidup.
Dengan begitu akan tumbuh kesadaran dalam jiwa untuk menjalani hidup dengan ketenangan dan hati ridha atas ketentuan dari Allah dan RasulNya. Ia siap menjadi hamba yang taat meniti jalan perjuangan dan pengorbanannya untuk Islam pun membara. Ia akan berbuat di dunia dengan keyakinan Allah Swt akan menolongnya, kesulitan dan kegagalan dipandang sebagai ujian hidupnya akan dihadapi dengan ikhlas penuh syukur, dan pandangannya jauh tertuju ke depan, ke akhirat untuk meraih surga puncak dari segala kesuksesan.
Walhasil, jelaslah bahwa sarjana bukan satu-satunya jaminan atas kebahagian dan kesuksesan hidup, karena jaminan itu datangnya dari Allah sang pencipta bukan dari rekayasa dan akal manusia yang lemah. Kebahagiaan hakiki dapat ditempuh lewat keta'atan pada syari'at Allah menjadikan islam sebagai sistem hidup yang mengatur seluruh aspek kehidupan.
Wallahu ‘alam bishawab