Oleh : Sayyida Marfuah (Praktisi Pendidikan)
Ngeri, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) kian lunglai. Adalah sebuah kenyataan yang meningkatkan kekhawatiran banyak pihak, dalam beberapa hari terakhir mata uang negara berkembang termasuk rupiah tertekan.
Berdasarkan data Bloomberg, rupiah di pasar spot melemah 0,02% ke level 14.938 per dollar AS pada Rabu (5/9). Bahkan menurut pantauan nilai kurs KONTAN terhadap 10 bank besar, nilai jual dollar AS di bank telah menyentuh Rp 15.000 sejak Jumat (31/8). (Kontan.co.id)
Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar dinilai tidak hanya beresiko kepada para pengusaha, melainkan juga bagi pemerintah, terutama dalam pembayaran utang jatuh tempo.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bima Yudhistira menilai pelemahan rupiah ini sudah diluar fundamentalnya. Dia memaparkan, berdasarkan data SULNI BI, kewajiban pembayaran utang luar negeri pemerintah yang jatuh tempo di 2018 mencapai USD 9,1 miliar yang terbagi menjadi USD 5,2 miliar pokok dan USD 3,8 miliar bunga. Jika menggunakan kurs 13.400 sesuai APBN maka pemerintah wajib membayar Rp 121,9 triliun. Sementara dengan kurs sekarang di kisaran 14.700 beban pembayaran menjadi Rp 133,7 triliun. (Liputan6.com, Sabtu, 1/9/2018).
Bima menegaskan, jika rupiah tidak dikendalikan, maka selisih pembengkakan akibat selisih kurs sebesar Rp 11,8 triliun. Uang Rp 11,8 triliun setara dengan 20 persen dari alokasi dana desa, yang seharusnya bisa dibuat belanja produktif malah habis untuk bayar selisih kurs, yang mana hal itu merupakan kerugian bagi APBN.
Memahami Dolar Sebagai Alat Penjajahan Baru
Meskipun dunia telah memasuki abad ke 21, ternyata praktik penjajahan tetap terjadi, hanya berubah bentuk. Kondisi ini oleh banyak orang disebut sebagai The New Colonialism (penjajahan baru). Penjajahan jenis ini ternyata lebih dahsyat dari penjajahan klasik. Dan salah satu korban paling parah dari penjajahan ini adalah negeri kita sendiri, Indonesia.
Dalam aksinya, The New Colonialism tidak menggunakan serangan militer, perang, dan pengerahan senjata, tetapi lebih banyak memakai sarana-sarana antara lain seperti: pemberian hutang luar negeri, investasi, pembelian asset nasional dengan harga murah, memaksakan mata uang dolar sebagai standar ekonomi, kontrak karya pertambangan yang monopolis dan licik, menanam agen-agen di berbagai sektor kehidupan, dan lain-lain.
Penajajahan baru berwujud liberalisasi keuangan dalam kebijakan ekonomi kapitalisme neoliberal ditujukan untuk mendorong pengintegrasian sebuah negara secara penuh ke dalam sistem perekonomian dan keuangan internasional. Dengan demikian, akan terbentuk jalan bebas hambatan bagi berlangsungnya transaksi keuangan dan perdagangan antar negara di seluruh dunia.
Akibat liberalisasi ini, negara-negara miskin yang notabene mereka tunduk kepada sistem ekonomi kapitalis neoliberal, sangat rentan terhadap berbagai gejolak dan spekulasi moneter yang dilakukan spekulan internasional dari negara kaya tertentu. Krisis moneter di Asia pada 1997, yang kemudian juga menguncang Indonesia, banyak pihak meyakini sebagai permainan para spekulan internasional ini.
Sebagai konsekuensi dari ketundukan kepada sistem ekonomi kapitalis neoliberal yakni menjadikan dolar sebagai mata uang yang dominan di dunia internasional. Amerika Serikatlah pemegang kendali nilai mata uang dunia sehingga dengan mudah mempengaruhi perekonomian negara lain. Walhasil, dolar kemudian menjadi alat penjajahan AS di dunia internasional.
Kembali ke Sistem Ekonomi Islam, Sebuah Keniscayaan
Bila dicermati, depresiasi rupiah yang pada gilirannya bisa mengakibatkan krisis ekonomi bagi Indonesia juga negara-negara yang lain, sesungguhnya dipicu oleh dua sebab utama.
Pertama, persoalan mata uang, dimana nilai mata uang suatu negara saat ini pasti terikat kepada mata uang negara lain (misalnya rupiah terhadap US dollar), sehingga bila nilai mata uang tertentu bergejolak, pasti akan mempengaruhi kestabilan mata uang tersebut. Pembuatan mata uang yang tidak menggunakan basis emas atau perak menyebabkan nilai nominal tidak menyatu dengan nilai intrinsiknya
Kedua, kenyataan bahwa uang tidak lagi dijadikan alat tukar saja, tapi juga sebagai komoditi yang diperdagangkan (dalam bursa valas) dan ditarik keuntungan (interest) alias bunga/riba dari setiap transaksi peminjaman atau penyimpanan uang.
Dua kesalahan pandang tersebut inilah yang menjadi biang dari segala keruwetan ekonomi kapitalis.
Untuk mengatasi problema di atas, haruslah ada upaya meluruskan pandangan keliru tadi. Bila uang dikembalikan kepada fungsinya sebagai alat tukar saja, lantas mata uang dicetak dengan basis emas dan perak (dinar dan dirham), maka ekonomi akan betul-betul digerakkan hanya oleh sektor riil saja. Tidak akan ada sektor non riil, yang dengannya orang berusaha menarik keuntungan dari mengkomoditaskan uang dalam pasar uang, bank, pasar modal dan sebagainya. Dengan cara itu, sistem ekonomi yang bertumpu pada sektor riil akan berjalan mantap, tidak mudah terguncang. Di sinilah keunggulan sistem ekonomi Islam.
Islam dengan pandangan yang bersumber dari Sang Pencipta Yang Maha Tahu, mengajarkan untuk hanya memfungsikan uang sebagai alat tukar saja. Maka dimana uang beredar, ia pasti hanya akan bertemu dengan barang dan jasa. Semakin banyak uang beredar, semakin banyak pula barang dan jasa yang diproduksi dan diserap pasar, sehingga pertumbuhan ekonomi akan terus meningkat, tanpa ada kekhawatiran terjadi kolaps seperti pertumbuhan ekonomi dalam sistem Kapatalis.
Oleh karena itu, adalah sebuah keniscayaan, kembalinya umat Islam kepada sistem ekonomi Islam yang menjadikan kebijakan moneternya berbasis emas dan perak yang karenanya akan terjaga stabilitas nilai mata uang sebagai modal dasar bagi kegiatan ekonomi riil.
Urgensi Khilafah
Krisis finansial dan inflasi dunia merupakan realitas global yang datang secara berulang-ulang, menyebabkan kesengsaraan masyarakat dunia. Kenyataan ini semestinya menggerakan pemikiran umat manusia untuk memahami akar masalahnya dan mendorong mereka mencabut akar masalah tersebut untuk kemudian menggantinya dengan sistem yang stabil dan tidak eksploitatif.
Dalam konteks penyelesaian masalah yang komprehensif-solutif inilah, sangat relevan bagi masyarakat dunia pada umumnya dan kaum muslimin pada khususnya untuk segera menghadirkan sistem Khilafah sebagai satu-satunya alternatif. Sistem Khilafah berbeda dengan sistem Kapitalisme yang bersifat destruktif dan eksploitatif. Sistem Khilafah merupakan sistem warisan Rasulullah SAW yang membawa misi rahmatan lil alamin dan bertujuan membebaskan umat manusia dari segala bentuk perbudakan sistem Kapitalisme, menuju penghambaan semata-mata kepada Allah SWT.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, Khilafah akan menerapkan konstitusi/perundang-undangan dan kebijakan yang adil bagi seluruh warga negara serta membawa dampak positif bagi seluruh umat manusia. Keadilan sistem Khilafah adalah konsekwensi dari konsep (fikrah) dan metode (thariqah) yang diadopsi dari al-Qur’an dan as-Sunnah di dalam menyelenggarakan kehidupan bernegara, bermasyarakat, dan dalam hubungan internasional. Sistem ini berbeda 180 derajat dengan Kapitalisme yang memisahkan agama dari kehidupan dan menjadikan hawa nafsu dalam bentuk keserakahan modal sebagai panglima kebijakan negara (lihat Q.S. al-Maidah ayat 48).
sistem Khilafah akan menghapus sistem mata uang kertas dan menggantinya dengan sistem mata uang syari yaitu dinar dan dirham. Sistem mata uang ini berbasiskan logam mulia emas dan perak sehingga siapa pun yang menerima pembayaran dalam mata uang dinar dan dirham, dapat dipastikan nilai kekayaannya stabil sepanjang masa.
Stabilitas nilai mata uang dinar dan dirham merupakan modal dasar kegiatan ekonomi riil. Karenanya, warga negara dan pengusaha di dalam negara Khilafah tidak memiliki kekhawatiran penurunan nilai kekayaannya sebagai akibat terjadinya inflasi dan fluktuasi kurs mata uang sebagaimana yang dialami oleh seluruh negara di dunia saat ini.
Khatimah
Berkutat dengan cara-cara kapitalisme dalam menyelesaikan permasalahan ekonomi, dan ragu terhadap metode Islam, hanya akan memperpanjang problema dan memperparah keadaan. Bila secara fakta kondisi kerusakan kehidupan sudah sedemikian parah, sementara secara i’tiqodi kita yakin Islam adalah jalan hidup terbaik, mengapa kita masih ragu kepada metode yang ditunjukkan Islam dalam menangani masalah ekonomi dan tidak segera kembali kepadanya?
Wallahu A’lam bi Ash-Shawab.