Wd Deli Ana (Pengajar)
Nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) akhirnya benar-benar tembus level Rp15.000 per USD. Berdasarkan data pasar spot Bloomberg, rupiah bertengger pada level Rp 14.933 per dollar AS. Angka ini melemah 2 poin atau 0,01 persen dibandingkan pada pembukaan perdagangan hari ini yang mencapai Rp 14.925 per dolar AS.
Sepanjang hari ini, rupiah bergerak pada kisaran Rp 14.925 hingga Rp 14.933 per dollar AS. Adapun berdasarkan data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), rupiah berada pada level Rp 14.927 per dolar AS (kompas.com, 5/9/2018).
Memang, tidak ada konsensus berapa persen pelemahan suatu mata uang hingga dikategorikan krisis. Namun Direktur Penelitian Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah, menyoroti dampak psikologis dari pelaku pasar terhadap tren pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. "Yang mengkhawatirkan adalah dampak psikologisnya. Pada waktu (menyentuh) Rp14 ribu, bagaimana tanggapan dari pasar. Kalau pelaku pasarnya panik, itu yang bahaya," kata Piter dalam konferensi pers di Jakarta, (republika.co.id).
Wajar bila banyak pihak resah karena pelemahan rupiah biasanya berimplikasi pada beberapa hal antara lain: Pertama, menekan produsen dalam negeri terutama importir dan perusahaan yang mengandalkan bahan baku impor. Imbasnya, mereka terpaksa menyesuaikan produk, menaikkan harga atau mengurangi kapasitas usaha mereka yang sebagian berdampak pada pengurangan jumlah tenaga kerja. Berikutnya menurunkan daya beli masyarakat akibat kenaikan harga barang (imported inflation) dan menaikkan jumlah pengangguran. Sektor-sektor lain yang tidak berhubungan secara langsung dengan perdagangan luar negeri ikut terkena dampaknya. Terlebih lemahnya rupiah biasanya akan meningkatkan biaya pembayaran utang luar negeri. April lalu Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bahkan mengaku telah terjadi pembengkakan utang pemerintah Indonesia sebesar Rp 10,9 triliun akibat pelemahan nilai tukar rupiah yang hampir menembus 14.000 per dolar AS (liputan6.com).
Bila kita cermati, anjloknya rupiah terhadap dolar bukan sekali ini terjadi. Peristiwa serupa juga terjadi di negara-negara lain, termasuk di negara-negara maju sekalipun seperti Amerika Serikat dan Jepang. Umumnya negara-negara yang menerapkan ekonomi kapitalis. Sukar disangkal bila dikatakan bahwa masalah ini sesungguhnya merupakan buah dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang terbukti rentan menimbulkan krisis.
Terdapat beberapa faktor mendasar yang menjadi sebab krisis pada sistem ekonomi kapitalisme termasuk krisis mata uang yaitu: penggunaan mata uang kertas (flat money), sistem finansial yang berbasis riba dan bersifat spekulatif serta liberalisasi perdagangan dan investasi.
Hal tersebut justru jauh berbeda dalam Islam. Islam menetapkan negara wajib mengadopsi standar mata uang emas dan perak. Dengan demikian uang yang beredar baik dalam bentuk emas dan perak, ataupun mata uang kertas dan logam yang ditopang oleh emas dan perak, nilainya ditopang oleh dirinya sendiri. Dengan kata lain, nilai nominalnya ditentukan oleh harga komoditas yang menjadi fisik atau penopangnya (intrinsic value). Kondisi tersebut membuat pemerintah tidak bebas memproduksi uang yang beredar. Ia hanya dapat menambah jumlah uang pengganti baik kertas ataupun logam sejalan dengan peningkatan cadangan emas dan perak yang dimiliki negara. Sementara saat ini digunakan mata uang kertas (flat money) yang nilai nominalnya tidak ditopang oleh nilai yang bersifat melekat pada uang itu (intrinsic value). Uang menjadi berharga lantaran ia dilegalkan oleh stempel pemerintah atau otoritas moneter suatu negara. Dampaknya, jika ekonomi atau politik negara tersebut melemah, mata uangnya ikut melemah. Standar tersebut juga membuat pemerintah lebih mudah untuk menambah pasokan uang yang selanjutnya dapat mendorong kenaikan inflasi.
Adapun riba telah diharamkan secara tegas di dalam Al-Quran dan as-Sunnah. “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaithan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya" (QS Al-Baqarah:275).
Oleh karena itu, negara tidak akan mengeluarkan kebijakan atau melakukan tindakan yang mengandung unsur riba seperti melakukan pinjaman ke Bank Dunia atau IMF. Kegiatan bisnis yang mengandung riba baik oleh institusi maupun perorangan dianggap sebagai kegiatan yang ilegal yang pelakunya diberi sanksi oleh negara. Sistem ini bila diterapkan akan merombak sektor finansial yang berbasis riba. Harus diakui hal inilah yang merupakan salah satu pemicu utama krisis ekonomi di negara-negara kapitalis.
Hal lainnya dalam sistem ekonomi kapitalisme, selain perbankan, pasar saham menjadi salah satu sumber modal perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas (PT). Perdagangan di pasar ini selain dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bersifat fundamental juga dipengaruhi faktor-faktor yang bersifat spekulatif. Bahkan aspek spekulasi sangat dominan di pasar ini. Dengan adanya liberalisasi investasi, investor dapat menyerbu dengan mudah pasar saham satu negara dan sebaliknya mereka dapat membuat indeks saham negara tersebut anjlok hanya karena suatu isu yang belum pasti. Sebagai contoh, isu Bank sentral AS yang katanya memiliki rencana untuk menaikkan fed fund rate. Kenaikan itu didongkrak minimal tiga kali bahkan empat kali selama 2018 (metrotvnews. com). Buntutnya, rupiah pun berfluktuasi. Tak pelak unsur spekulasi menjadi salah satu alasan mengapa eksistensi pasar saham tak dikenal dalam Islam.
Faktor lain yang menjadi penyebab melemahnya rupiah dewasa ini adalah liberalisasi perdagangan dan investasi. Liberalisasi di sektor perdagangan membuat produk-produk asing membanjiri pasar domestik. Di sisi lain, akibat tidak adanya visi negara ini untuk menjadi negara yang tangguh dan mandiri, produsen dalam negeri dibiarkan bersaing bebas tanpa proteksi dan dukungan yang memadai. Akhirnya, barang-barang yang sangat penting seperti pangan dan produk industri-industri strategis yang semestinya diproduksi di dalam negeri, harus bergantung pada impor.
Kembali Islam pun hadir mengatasi persoalan ini secara tuntas. Dalam pandangan Islam kebijakan liberalisasi ekonomi diharamkan. Sektor perdagangan luar negeri seluruhnya harus terikat pada hukum syariah dan diawasi oleh negara. Sebagai contoh, tidak semua negara boleh melakukan transaksi perdagangan. Islam melarang hubungan dagang dengan negara-negara yang berstatus kafir harbi fi’l[an], negara yang sedang memerangi Islam. Lebih dari itu, Islam mendorong agar negara dapat menjadi negara yang mandiri dan melarang ketergantungan terhadap negara lain. Oleh karena itu barang dan jasa yang esensial seperti pangan, energi, infrastruktur dan industri berat harus mampu dihasilkan secara mandiri.
Hal ini tentu saja akan memberikan keuntungan berupa peningkatan cadangan devisa yang dapat digunakan untuk membangun kekuatan negara. Objek investasi juga dibatasi; investasi swasta pada sektor yang masuk kategori barang milik umum, seperti pertambangan yang depositnya besar, tidak diperkenankan.
Namun demikian, semua hanya bisa terwujud dengan penerapan Islam secara komprehensif. Firman Allah SWT yang artinya, "Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagimu" (QS Al-Baqarah :208). Kesejahteraan pun menjadi keniscayaan seperti halnya pada masa kejayaan Islam. Wallahu a'lam.