Radikalisme Kampus, Isu Usang Yang Terus Dipanggang

Oleh : Ummu Hanif-Gresik

Isu radikalisme seakan tidak pernah berhenti dijadikan kambing hitam setiap terjadi gelombang protes terhadap kebijakan penguasa. Dengan dalih mewaspadai bibit – bibit terorisme, maka dunia pendidikan, khususnya perguruan tinggi, menjadi sasaran tembak utama. Banyak kebijakan baru dibuat untuk perguruan tinggi, sehingga gema suara mahasiswa maupun civitas akademika, kian hari kian sayup tak terdengar. Kebijakan di setiap perguruan tinggi saat ini, menjadikan perguruan tinggi sebatas tempat belajar. Ketika dahulu mahasiswa dikenal sebagai “agen of change”, “iron stock”, dan “social control”, maka saat ini, mereka akan menjadi kutu – kutu buku dan robot, yang jauh dari semboyan tadi. 


Sebagaimana yang dilansir detiknews.com (1/7/2018), Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan, bahwa saat ini penentuan pemimpin di perguruan tinggi negeri atau rektor, diharuskan dipilih presiden. Menurutnya hal ini dilatarbelakangi oleh tanggung jawab rektor dalam proses penyeragaman. Hal tersebut disampaikan Tjahjo karena kekhawatiran adanya ideologi selain Pancasila yang menyusup dalam perguruan tinggi. 


Hal senada juga disampaikan oleh Menristekdikti Mohamad Nasir, usai memberikan kuliah umum dengan tema "Mahasiswa sebagai SDM unggul mendukung peningkatan daya saing bangsa di Era Industri 4.0" di Kampus UKSW, Salatiga, Sabtu (15/9/2018). Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, akan segera mengeluarkan peraturan tentang larangan kampus tidak boleh untuk kegiatan politik praktis. (detiknews.com, 15/9/2018)


Pemuda mempunyai potensi yang luar biasa, bisa dikatakan seperti dinamit. Sejarah pun juga membuktikan bahwa pemuda berperan penting dalam kemerdekaan. Dimana saja, di negara mana saja kemerdekaan tak pernah luput dari peran pemuda. Karena pemudalah yang paling bersemangat dan ambisius memperjuangkan perubahan menuju lebih baik. Hasan Al Banna seorang tokoh pergerakan di Mesir pernah berkata, “Di setiap kebangkitan pemudalah pilarnya, di setiap pemikiran pemudalah pengibar panji-panjinya.” Begitu juga dalam sejarah Islam, banyak pemuda yang mendampingi Rasulullah dalam berjuangan sperti Mushaib bin Umair, Ali bin Abi tholib, Aisyah dan lain-lain. Waktu itu banyak yang masih berusia 10 atau 12 tahun. Dan usia-usia itu tidak dapat diremehkan. Mereka punya peran penting dalam perjuangan. 


Saat ini mahasiswa sudah kehilangan jati dirinya sebagai agen-agen perjuangan dan perubahan, di mana mahasiswa hari-hari ini telah memilih untuk bungkam terhadap berbagai persoalan rakyat kecil, buruh, tani, dan nelayan. Mahasiswa lebih memilih untuk tidak pusing dan tidak mau tahu dengan persoalan-persoalan yang terjadi hari ini di tengah masyarakat yang semakin terhimpit oleh kerasnya kehidupan. Kehidupan yang semakin tidak menunjukkan keadilan terhadap mereka yang dizalimi oleh segelintir penguasa di negeri ini.


Apalagi dengan digencarkannya isu radikalisme kampus, setiap gerak mahasiswa dicurigai dan terus diawasi. Hal ini semakin menjauhkan potensi kebangkitan berpikir di kalangan mahsiswa. Terlebih mahasiswa yang mereka ingin memperjuangkan nilai – nilai islam.


Maka dari itu jika ingin Indonesia menjadi lebih baik maka perbaikan itu yang utama ada di tangan pemuda. Perbaikan itu akan tegak dari tangan pemuda dan dari pemuda. Pemuda mempunyai banyak potensi. Akan tetapi jika tidak dilakukan pembinaan yang terjadi adalah sebaliknya. Potensinya tak tergali, semangatnya melemah atau yang lebih buruk lagi ia menggunakan potensinya untuk hal-hal yang tidak baik misalnya tawuran dan lain-lain.

Secara fitra, masa muda merupakan jenjang kehidupan manusia yang paling optimal. Dengan kematangan jasmani, perasaan dan akalnya, sangat wajar jika pemuda memiliki potensi yang besar dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya. Kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan banyak dimiliki pemuda. Pemikiran kritis mereka sangat didambakan umat. Di mata umat dan masyarakat umumnya, mereka adalah agen perubahan (agent of change) jika masyarakat terkungkung oleh tirani kezaliman dan kebodohan. Mereka juga motor penggerak kemajuan ketika masyarakat melakukan proses pembangunan. Tongkat estafet peralihan suatu peradaban terletak di pundak mereka. Baik buruknya nasib umat kelak, bergantung pada kondisi pemuda sekarang ini.

Wallhu a’lam

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak