Oleh: Endang Setyowati
(Member Revowriter)
Nabi muhammad saw bersabda: "Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewarisi ilmu. Barang siapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak." (HR at-Tirmidzi, Ahmad, ad-Darimi dan Abu Dawud).
Ulama adalah pewaris nabi yang bertugas menjaga kesucian Islam dan melindungi kepentingan umat Islam, dimana peran ulama sangat penting dan sangat mempengaruhi umat. Ulama juga mempunyai peran penting untuk mengawal roda pemerintahan. Saat ini, tengah gencar-gencarnya ulama menjadi sorotan umat. Seperti diberitakan di antaranews.com (15/9/2018), ratusan kiai dan pengurus pondok pesantren (ponpes) sepakat mendukung bakal capres-cawapres Joko Widodo-KH Ma'ruf Amin pada pilpres 2019. Dari siaran pers yang diterima pada Sabtu, menyebutkan sebanyak 400 kiai dan pengasuh ponpes yang berasal dari seluruh Indonesia itu menggelar acara silaturahmi di ponpes As shiddiqiyah, Kedoya Jakarta Barat.
Serta Forum Ijtima' Ulama II secara resmi menyatakan memberikan dukungan kepada pasangan bakal calon presiden-wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.(m.republika.co.id, 16/9/2018). Itu membuktikan bahwa ulama sejatinya adalah orang yang di dengar oleh umat, sehingga suara mereka masih dibutuhkan. Termasuk dalam menggalang dukungan untuk kepentingan politik demokrasi.
Namun, ulama bukan sekedar orang yang masih didengar semata. Kulaifikasi bagi pewaris para Nabi ini sebenarnya terbagi dalam empat golongan, yakni:
Pertama: Golongan yang gigih melawan kerusakan dan kebathilan. Mereka berupaya mengembalikan kekuasaan pada relnya.
Kedua: Golongan yang menjauh dari kekuasaan. Mereka menyibukkan diri dengan ilmu dan mendidik umat.
Ketiga: Golongan yang menjadi bagian kekuasaan, namun tetap istiqomah dalam kebenaran.
Keempat: Golongan yang menjadi stempel penguasa (Ulama Su').
Pembagian kualifikasi di atas setidaknya dapatlah dijadikan standar minimal dalam memilih mana ulama yang layak didengar dan diikuti, mana yang sebaliknya. Sebab sesungguhnya ulama mempunyai tugas penting, yang salah satunya adalah memastikan kekuasaan menjalankan fungsinya sesuai syariah Islam. Ketika ada penguasa yang menyimpang, ulama harus tampil di garda terdepan untuk meluruskan penyimpangan para penguasa tersebut.
Para ulama tidak boleh bersikap lemah, harus mengoreksi hingga penguasa mau tunduk dan berjalan kembali sesuai dengan syariah Islam serta menjadi pembela kebenaran, menyampaikan yang haq secara lantang dan menyikapi yang batil secara jelas.
Ulama tidak pernah takut apapun, karena mereka mengetahui hakikat hidup yang sebenarnya. Mereka tidak takut mati, karena dengan mati merupakan pintu bertemunya dengan Allah SWT. Mereka juga tidak takut miskin, karena kaya miskin tidak ada pengaruhnya disisi Allah SWT, juga tidak pernah takut dengan cacian atau hinaan manusia yang tidak ada artinya. Karena satu-satunya yang ditakuti hanya Allah SWT.
Allah SWT berfirman: "Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama. Sungguh, Allah Maha Perkasa, Maha Pengampun." (TQS. Fatir 35: 28).
Tatkala ulama berdiam diri terhadap penyimpangan para penguasa, niscaya kerusakan akan menyebar luas ketengah umat. Bahkan jika ulama tersebut membenarkan penyimpangan mereka, maka kekuasaan akan membawa umat kedalam kerusakan dan kehancuran. Seperti kata Imam al-Ghazali: "Rusaknya rakyat disebabkan karena rusaknya penguasa. Rusaknya penguasa disebabkan karena rusaknya ulama. Rusaknya ulama disebabkan karena dikuasai cinta harta dan ketenaran".
Sudah seharusnya ulama yang menjadi pewaris nabi bertugas menjaga kesucian Islam dan melindungi kepentingan umat Islam. Tugas itu akan sempurna ketika para ulama memberikan loyalitasnya hanya untuk Islam, dan tidak silau oleh gemerlapnya dunia.
Ulama adalah manusia juga, yang tidak luput dari cobaan. Sebagaimana manusia lainnya, bisa jadi cobaan atas diri mereka lebih berat, seperti godaan dunia yang menggiurkan, tipu daya, kesempitan hidup bahkan cobaan fitnah yang mengakibatkan rusaknya agama mereka, yang mana menyebabkan malapetaka bagi umat manusia.
Tatkala ada orang yang tidak takut kepada Allah sehingga berani bermaksiat kepada-Nya atau orang tersebut justru takut kepada penguasa dzalim, maka hakikatnya dia belum sampai pada derajat ulama yang sebenarnya. Memang bisa jadi dianggap ulama oleh umat, atau bahkan menjadi ketua para ulama, tetapi dalam pandangan Allah dia bukanlah ulama. Dia hanyalah orang yang mendapatka gelar ulama, tetapi hakikatnya bukan ulama.
Wallahu a'lam bi ash-shawwab.