Atmosfer perhelatan pemilihan presiden masih terasa di setiap sudut tautan dan kolom komentar sosial media Indonesia. Terpecahnya suara menjadi dua kubu yang telah resmi dicalonkan semakin menghiasi ‘kegaduhan’ politik dalam negeri. Belum lagi ditambah mencuatnya nama-nama tenar yang tergabung dalam tim sukses masing-masing pasangan calon (paslon), makin ramai lah fase ini, hingga membuat rakyat penasaran apa saja yang akan terjadi di fase-fase selanjutnya.
Gaduhnya jagat Indonesia ini sebenarnya bukan hal yang baru, hampir di setiap kepemimpinannya selalu ada pihak oposisi yang memang tugasnya mengkritisi dan tidak jarang berseberangan 180 derajat dengan pihak yang memangku jabatan. Begitulah mekanisme demokrasi supaya berjalan, kontrol masyarakat harus tetap menjadi pertimbangan dalam mengambil berbagai kebijakan. Maka ia berbeda dengan diktatorisme, dimana siapa yang berkuasa memiliki hak untuk mempertahankan pendapatnya dan membungkam siapa saja yang menentangnya.
Dalam teori demokrasi yang ideal dan adil, oposisi akan diberi lahan untuk mengungkapkan aspirasi, petahana juga akan punya ruang untuk mengklarifikasi. Posisi aparat penegak hukum adalah menengahi, mencegah dan melarang sama sekali kekerasan secara fisik. Menjaga kenetralan sehingga mampu menyikapi setiap pergesekan dengan seimbang, persatuan dan kesatuan pun tetap terjaga.
Sedangkan dari segi persebaran opini, awak media pun punya kode etik yang patut dipatuhi, yakni memberitakan kejadian sesuai dengan fakta dilapangan, dengan berimbang dan tidak terkesan memaksakan atau bahkan menunjukkan keberpihakan. Para jurnalis terikat pada nilai moral tersebut, bahwa keadilan bisa ditegakkan juga berdasar pada berita-berita yang mereka siarkan.
Berbicara tentang kondisi ideal, semua manusia pasti menginginkan hal itu. Hidup yang tentram, tercukupinya segala kebutuhan, dan bisa beribadah sesuai anjuran. Kesemuanya adalah kebutuhan dasar untuk menciptakan kesehatan jasmani serta rohani yang tak bisa dipisahkan salah satunya.
Terutama bagi seorang muslim, mengaitkan urusan duniawi dengan posisinya sebagai makhluk Ilahi adalah keniscayaan, maknanya setiap aktivitas itu mesti ditujukan dalam rangka memenuhi seruan ibadah. Layaknya ibadah ritual, setiap inchi kehidupan manusia juga diberi rambu-rambu agar tetap dalam koridor keimanan dan keselamatan hajat hidup di dunia hingga akhirat.
Terlebih dalam hal kepemimpinan. Sangat klise jika ada yang mengatakan pemilihan pemimpin tidak ada kaitannya dalam agama, padahal dalam agama ini sangat dirinci persyaratannya. Tidak hanya terkait sosok, namun juga tentang pertanggung jawabannya yang luar biasa dihadapan Pencipta. Mungkinkah mereka menutup mata dan telinga akan jelasnya dalil ini? Atau mungkin kecenderungannya saja yang telah sedikit demi sedikit terkikis oleh paham sekuler yang tidak suka jika konsep ketuhanan dibawa kemana-mana.
Menjadi seorang pemimpin dalam pandangan Islam bukanlah ajang menonjolkan diri dihadapan manusia yang lain, tapi justru ujian terbesar seorang hamba untuk tetap teguh membumi disaat semua kesempatan melangit ada dalam genggamannya. Pemimpin yang diberi kekuasaan untuk mengatur rakyat harus banyak beristighfar, karna satu tanda tangannya bisa jadi menyebabkan kehancuran di satu sisi, meski tidak menutup kemungkinan juga bisa menjadi ladang kebaikan di sisi lainnya. Bergantung dari sistem apa yang ia jalankan. Sesuai kah dengan keridhoan-Nya atau hanya fokus mengikut keinginan penyokongnya? Sungguh dua kondisi ini sangat sulit diwujudkan titik temunya, mengingat besarnya pengorbanan yang mesti dilakukan seorang calon untuk meraih kedudukan tersebut. Tanpa bantuan dana riil, mustahil bisa bersaing. Kampanye yang dilakukan pun kadang mengada-ada, atau minimal membagus-baguskan rupa sampai-sampai calon pemilih terpukau olehnya. Sebagian besar yang tertarik padanya pun tidak paham visi dan misi apa yang dibawanya.
Disisi lain, Islam berpandangan sebaliknya. Setiap orang yang meminta jabatan justru akan dijauhkan dari kekuasaan itu sendiri. Hal ini sebagai bentuk penjagaan, bahwa hanya orang-orang yang memenuhi syarat saja lah yang akan diamanahkan mengurusi kebutuhan rakyat banyak. Tidak sedikit orang yang telah ditunjuk mengundurkan diri, karna merasa ada sosok lain yang lebih layak untuk memimpin. Hal ini pernah terjadi pada masa peralihan Khalifah Abu Bakar yang meninggal karna sakit. Sahabat Rasul, Abdurrahman bin Auf yang kala itu ditunjuk menjadi salah satu calon seketika mengundurkan diri dan pada akhirnya terpilihlah Umar bin Khattab ra. sebagai Khalifah pengganti. Sungguh kezuhudan yang sangat langka ditemui seratus tahun belakangan ini.
Semakin menjauhnya kaum muslim terhadap Islam adalah faktor utama terjadinya kelangkaan ini. Umat kini seakan ikan laut yang dipaksa hidup di gurun pasir. Jauh dari fitrahnya untuk menjadikan kalimat Laa ilaaha illa Allah selalu ada dihadapannya, menemani setiap langkahnya, mengiringi setiap hela nafasnya, serta mati bersamanya. Bahkan kalimat itu kini dimusuhi, dinistakan dan dicaci di setiap penjuru bumi. Siapa saja yang masih ingin berpegang teguh padanya akan diperangi, dicap sana-sini, dikucilkan dari percaturan dunia saat ini.
Bencana ini tidak lain muncul karna kaum mukmin sudah kehilangan perisainya, sebuah institusi penjaganya, dimana muslim seluruh dunia pernah bernaung dibawahnya selama 1300an tahun, yakni dalam sistem kepemimpinan Islam, Khilafah Islamiyah. Namanya yang tercetak harum dengan tinta emas peradaban semesta, kini dianggap sebagai racun sehingga boleh dipersekusi sedemikian rupa. Subhanallah. Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam, menyampaikannya bukan merupakan suatu dosa, maka siapapun yang berniat menghalanginya mesti ingat bahwa makar Allah lebih baik dari apapun yang mereka sangka. Wallahu’alam.
Ditulis oleh Salma Banin, anggota komunitas penulis Pena Langit dan Revowriter