Oleh: Siti Subaidah
(Pemerhati Lingkungan dan Generasi)
Sakit hati. Inilah yang kini dirasakan oleh kedua orang tua AH, bocah berumur 7 tahun yang mengalami pelecahan seksual oleh seorang kakek (HA) yang sudah berumur 56 tahun yang merupakan tetangga korban. Aksi tersebut sudah dilakukan sejak 2017 oleh pelaku. Dalam rentang waktu tersebut korban dua kali mengalami pemerkosaan dan satu kali mengalami pencabulan. (PROKAL.CO, BALIKPAPAN 28/8/2018)
Kasus diatas hanyalah satu dari sekian banyak kasus pelecehan seksual yang terungkap ke publik. Mirisnya, kasus pelecehan seksual kini tak hanya menyasar pada orang dewasa saja bahkan kini merambah ke usia muda atau anak-anak. Menurut data DP3AKB (Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana) sudah tercatat 22 kasus yang terjadi sepanjang tahun 2018 di Balikpapan. Data tersebut tentu berbanding terbalik dengan upaya dari pemerintah daerah untuk mewujudkan kota Balikpapan layak anak.
Disadari atau tidak maraknya kasus pelecehan seksual utamanya terhadap anak-anak terjadi sebagai akibat dari kondisi sosial masyarakat saat ini yang mudah sekali memantik timbulnya syahwat. Dalam hal ini media menjadi salah satu faktor penyumbang terbesar yang mengakibatkan kasus ini mengalami angka kenaikan. Kemudahan mendapatkan informasi di era sekarang nyatanya tidak hanya memberikan efek positif terhadap masyarakat akan tetapi juga efek negatif. Ibarat dua sisi mata uang, teknologi dan internet pun kerap disalah gunakan. Konten-konten pornografi yang tersedia luas di internet dengan berbagai macam bentuk baik itu lewat iklan, game, komik online, ataupun video berhasil membangkitkan syahwat. Belum lagi ditambah dari tontonan televisi yang semakin tidak mendidik seperti sinetron yang dibungkus pacaran dan percintaan dan majalah-majalah porno yang masih beredar hingga saat ini. Semuanya berkontribusi besar menyumbang terjadinya aksi pelecehan seksual terutama terhadap anak.
Selain itu kebebasan berpakaian ditengah-tengah masyarakat ( tidak menutup aurat) dan pandangan yang salah bahwa hubungan laki-laki dan perempuan hanya semata-mata hubungan seksual pun akhirnya menjadi faktor lain yang menyebabkan kasus ini terus berulang dan tidak mendapatkan solusi yang hakiki.
Dalam hidup, manusia oleh sang pencipta dianugerahi kebutuhan jasmani (hajatul adlawiyah) dan kebutuhan naluri (gharizah). Terdapat perbedaan dalam segi pemenuhan antara kebutuhan jasmani dan naluri. Kebutuhan jasmani jika tidak dipenuhi maka akan mengakibatkan kematian. Namun tidak demikian dengan kebutuhan naluri, jika tidak dipenuhi tidak sampai mengakibatkan kematian akan tetapi hanya menimbulkan perasaan gelisah saja pada diri manusia. Kebutuhan naluri terbagi menjadi tiga yakni naluri beragama (gharizah tadayun), naluri mempertahankan diri (gharizah baqa) dan naluri melangsungkan keturunan (gharizah nau). Rasa sayang terhadap anak, rasa keibuan, rasa kebapakan, cinta terhadap orang tua atau tertarik dengan lawan jenis (seksual) merupakan perwujudan dari adanya naluri melangsungkan keturunan. Islam telah mengatur pemenuhan naluri nau (seksual) dengan tata cara yang benar yaitu dengan adanya pengaturan hubungan laki-laki dan perempuan (pergaulan dalam islam) dan adanya institusi pernikahan.
Dalam kasus pelecehan seksual terlebih pada anak tidak hanya cukup dengan upaya kuratif semisal menjatuhkan sanksi yang berat kepada pelaku tanpa adanya upaya preventif (pencegahan) karena hal itu sama saja dengan mengambil solusi dipermukaan, tapi tidak menyelesaikan akar permasalahan. Islam dalam hal ini sangat memperhatikan keduanya.
Dalam hal upaya preventif atau pencegahan, islam memiliki aturan yang mampu mencegah bahkan menutup pintu kemaksiatan yang menjadi pemicu tindak kejahatan tersebut.
Pertama, Islam dengan tegas melarang segala bentuk perbuatan yang mendekati zina, sebagaimana firman Allah
“Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji dan seburuk-buruknya jalan” (TQS. Al isra;32)
Kedua, syariat islam pun mengatur bahwa hubungan laki-laki dan perempuan dicukupkan pada wilayah muamalah dan tolong menolong, bukan seksualitas seperti pandangan pada kapitalis. Jadi interaksi diluar itu tidak diperbolehkan
Ketiga, kewajiban menutup aurat ditempat-tempat umum sehingga pandangan terjaga dari hal-hal yang diharamkan dan tidak memicu bangkitnya syahwat.
Keempat, mempermudah pernikahan. Dalam hal ini baik nikah agama maupun nikah secara hukum dilaksanakan tanpa dipersulit oleh hukum adat ataupun administrasi negara. Sering kita dengar banyaknya pemuda-pemudi yang saat ini masih berstatus lajang enggan untuk menikah karena tersandung uang jujuran yang tinggi atau rumitnya pengurusan administrasi dan sebagainya. Alhasil jalan pintaslah yang diambil yaitu dengan kumpul kebo.
Kelima, pelarangan konten-konten yang mengandung unsur pornografi di semua media baik itu media cetak, televisi maupun media sosial. Maka ini masuk wewenang negara karena negara lah yang memilki akses untuk memfilter atau menyortir situs-situs atau tayangan yang layak dikonsumsi publik.
Ketika langkah preventif telah dilakukan namun masih terjadi kasus pelecehan seksual maka langkah kuratif lah yang diambil. Islam dengan langkah kuratifnya yakni pemberian sanksi tegas terhadap pelaku pelecehan seksual. Sanksi itu berupa hukuman cambuk oleh pelaku yang belum pernah menikah dan hukuman rajam bagi pelaku yang sudah pernah menikah dan keduanya dilaksanakan ditempat umum yang mana hukuman ini jelas akan memberikan efek jera kepada masyarakat.
Dengan adanya langkah preventif dan kuratif yang saling melengkapi oleh syariat islam, maka bayang-bayang kasus pelecehan seksual terlebih kepada anak-anak akan bisa diatasi sehingga tidak akan ada anak-anak yang masa depannya hancur sebagai akibat dari pelecehan seksual. Wallahu a'lam bishawab