Ongkos Politik Tinggi, Korupsi Makin Berani

Ongkos Politik Tinggi, Korupsi Makin Berani


 Oleh: Subaidah S.pd

( Member Akademi Menulis Kreatif )


"Kasus-kasus korupsi yang terjadi saat ini, merupakan akibat dari sistem politik nasional yang multi partai dan sistem rekrutmen politik berbiaya tinggi."- Din Syamsudin-


Pendapat Din Syamsudin diatas kiranya tepat sekali untuk menggambarkan kondisi negeri ini yang darurat korupsi. Mereka yang dipilih rakyat sebagai pejabat pemerintah daerah hingga pusat atau wakil-wakil rakyat yang duduk di parlemen nyatanya banyak dari mereka yang menggunakan jabatannya bukan memprioritaskan kepentingan rakyat tapi malah untuk memperkaya diri alias korupsi. 


Inilah pula yang dilakukan oleh Ketua Komisi IV DPRD Kota Mataram dari Fraksi Golkar, HM ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan pemerasan dana rehabilitasi gempa bumi di Lombok. HM ditetapkan sebagai tersangka setelah terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) Kejaksaan Negeri Mataram (Tribun-video.com/14/9/2018)


Dan yang lebih mencengangkan lagi korupsi berjama'ah terjadi di kota Malang. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan korupsi berjama'ah ini berkaitan dengan kasus suap pembahasan APBD-Perubahan Pemkot Malang Tahun Anggaran 2015. 43 orang yang terlibat dalam skandal itu, tiga di antaranya sudah divonis oleh pengadilan tipikor, yaitu: Jarot Edy Sulistyono (Mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Malang), M. Arief Wicaksono (Mantan Ketua DPRD Kota Malang), dan Muhammad Anton (Wali Kota Malang nonaktif) (tirto.id/5/9/2018)


Ongkos politik yang mahal di tengarai menjadi pemicu kepala daerah atau anggota DPR melakukan korupsi. Din Syamsudin mencontohkan, untuk menjadi legislator, gubernur, wali kota atau bupati, para calon harus mengeluarkan biaya sangat besar. Akibatnya, para calon harus membayar dengan kuitansi. Di situlah awal terjadinya korupsi dan kolusi. (merdeka.com/22/12/2013)


Biaya Politik Mahal Akar Masalahnya


Mahalnya biaya politik untuk bertarung dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) menjadi salah satu pemicu maraknya korupsi di daerah. Hasil kajian yang pernah dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan untuk maju di Pilkada seorang kandidat kepala daerah membutuhkan biaya rata-rata sekitar Rp 20 miliar hingga Rp 30 miliar. (beritasatu.com/9/12/2017)


Isu mahar politik ini pun sempat ramai menjelang pilkada Jawa Timur, dukungan politik antara calon peserta pemilihan kepala daerah dengan partai politik kembali menjadi sorotan setelah Ketua Kadin Jawa Timur la Nyala Mahmud Mattalitti berbicara mengenai permintaan mahar sebesar Rp 40 miliar oleh ketua umum partai tertentu. Mahar itu menjadi syarat agar dia bisa diusung Partai dalam pilkada Jawa Timur (voaindonesia.com/14/01/2018)


Maka tak heran jika kasus korupsi akan berulang-ulang terjadi karena di picu mahalnya biaya pemilu. Berdasarkan data yang dirilis oleh Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) tahun 2017, mereka melakukan upaya penindakan sebanyak 19 kali. Tujuh kepala daerah berhasil ditangkap dan dijebloskan ke penjara karena terbukti telah menerima uang suap atau menyalahgunakan kewenangannya untuk memperoleh keuntungan bagi diri sendiri atau orang lain.

Lalu, bagaimana dengan tahun ini? Belum sampai ke akhir tahun saja sudah ada 19 Operasi Tangkap Tangan (OTT), di mana 16 orang yang ditangkap KPK adalah kepala daerah. Angka ini bisa bertambah dari pengembangan kasus (idntimes.com/30/07/2018)


Jika modal untuk mencalonkan sebagai kepala daerah atau duduk sebagai legislatif begitu mahal, sedangkan gaji yang mereka dapat tidak sebesar biaya yang di keluarkan. Bisakah prioritas jabatan mereka untuk mensejahterakan rakyat? atau malah sebaliknya, rakyat di jadikan tameng untuk memperkaya diri sebagai bentuk balik modal dengan berlindung dibalik proyek-proyek yang mereka buat. Padahal, ujung-ujungnya sebagian besar dananya masuk kedalam kantong pribadi. Bahkan dana untuk rehabilitasi korban musibah gempa pun masih mereka sikat. Na'uzubillah, saking parahnya.


Islam Solusi Praktek Korupsi


Islam adalah agama yang konprehensif. Islam memiliki cara bagaimana mengangkat pejabat kekhalifahan. Karena pejabat di bawah khalifah adalah faktor penentu untuk bisa tidaknya pemerintahan berjalan baik atau sebaliknya. Ketika Umar bin Abdul Aziz memilih pejabat, hal utama yang diperhatikannya adalah ketaatan kepada Allah dan Rasul.


Umar bin Abdul Aziz adalah seorang yang sangat teliti dalam mengangkat pegawai dan pejabatnya. Ia menetapkan tiga syarat mutlak yang harus dipenuhi pejabat atau pegawai. Syarat itu adalah harus bertaqwa, amanah, dan menjalankan agama dengan baik.


Implementasi dari kebijakan khalifah bukan hanya berkutat pada pejabat di sekelilingnya, tapi juga pada lapisan pegawai diseluruh jajaran kekhalifahan, hingga Umar bin Abdul Aziz pernah menuliskan surat kepada pegawainya yang berisi “Jangan sekali-kali kalian mengangkat seseorang untuk bekerja pada pemerintahan kita kecuali orang-orang yang dekat dengan Al-Quran, karena apabila diantara orang-orang yang dekat dengan Al-Qur’an itu ada yang tidak baik, maka lebih banyak lagi yang tidak baik dari orang-orang yang tidak dekat dengan Al-Quran”. (serambinews.com/13/10/2011)


Bagaimana Islam mencegah aparatur negara melakukan tindakan korupsi?

Pertama, negara Khilafah memberikan gaji yang memadai kepada para aparaturnya, dengan begitu gaji mereka cukup untuk memenuhi kebutuhan primer, skunder hingga tersier mereka.


Kedua, dalam pengangkatan aparaturnya, khilafah menetapkan syarat adil dan takwa sebagai ketentuan, selain syarat profesionalitas. Dengan begitu, mereka memiliki self control yang kuat.


Ketiga, untuk mengetahui, apakah mereka melakukan korupsi atau tidak, khilafah juga menetapkan kebijakan perhitungan kekayaan mereka sebelum dan setelah menjabat. Jika ada selisih yang tidak masuk akal, maka khilafah bisa merampasnya.


Keempat, khilafah juga menetapkan hukuman yang keras, bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati. Inilah cara yang dilakukan oleh Islam untuk mencegah korupsi.


Kholifah Umar bin Khatthab pernah membuat kebijakan, agar kekayaan para pejabatnya dihitung, sebelum dan setelah menjabat. Jika ada selisih positif, setelah dikurangi gaji selama masa jabatannya, maka beliau tidak segan-segan untuk merampasnya. Beliau juga mengangkat pengawas khusus, yaitu Muhammad bin Maslamah, yang bertugas mengawasi kekayaan para pejabat.


Itulah strategi Islam dalam pemberantasan korupsi, ini memang harus diterapkan secara menyeluruh, tidak sebagian-sebagian demi sempurnanya kemaslahatan yang diinginkan. Karenanya, bersegeralah Indonesia untuk menerapkan Islam secara kaffah. Karena Islam adalah sistem yang paling tepat untuk menyelesaikan carut marut pemberantasan korupsi yang sudah kronis di negeri ini. Wallahu a’lam bish-shawwab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak