Oleh: Ruruh Anjar
Lapis-lapis langit menjadi saksi di tengah kemelut asa dan ketakberdayaan manusia. Tapak kaki bumi Sulawesi bergetar dan bergerak menghuyung anak-anak negeri. Saat ia terdiam, helaan doa tak henti menghembus. Namun tak lama, alunan air laut yang mulanya menari lembut berubah. Melonjak tinggi dan menyapa garang siapapun dan apapun yang dilaluinya.
Sore itu di hari Jumat (28/9). Korban bergelimpangan. Gedung dan rumah koyak. Suasana berubah kelam dan berurai air mata. Kalbu-kalbu terus merintih. Memohon pertolongan dan ampunan Sang Pemilik pergerakan semesta.
Padahal luka Lombok belum kering di tubuh negeri ini. Kini luka baru menganga kembali di Palu dan Donggala. Duhai Rabb, ada apa gerangan? Teringat kisah pada masa Rasulullah, terjadi dua kali bumi bergoncang. Pertama dalam hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ibnu Kuzaimah, ad-Daruquthni, dan lainnya dari Utsman bin Affan bahwa dia berkata, "Apakah kalian tahu Rasulullah pernah berada di atas Gunung Tsabir di Mekah. Bersama beliau Abu Bakar, Umar dan saya. Tiba-tiba gunung bergoncang hingga bebatuannya berjatuhan. Maka Rasulullah menghentakkan kakinya dan berkata: Tenanglah Tsabir! Yang ada di atasmu tidak lain kecuali Nabi, Shiddiq dan dua orang Syahid.”
Kedua, hadits shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik, dia berkata: “Nabi naik ke Uhud bersamanya Abu Bakar, Umar dan Utsman. Tiba-tiba gunung bergoncang. Maka Nabi menghentakkan kakinya dan berkata: Tenanglah Uhud! Yang ada di atasmu tiada lain kecuali Nabi, Shiddiq dan dua orang syahid.”
Kegoncangan muka bumi hadir pula di zaman kekhilafahan Umar bin Khattab, sebagaimana yang disampaikan dalam riwayat Ibnu Abid Dun-ya dalam Manaqib Umar. Madinah sebagai pusat pemerintahan kembali bergoncang. Umar menempelkan tangannya ke tanah dan berkata kepada bumi, “Ada apa denganmu?” Lalu ia bertanya kepada penduduknya pasca gempa, “Wahai masyarakat, tidaklah gempa ini terjadi kecuali karena ada sesuatu yang kalian lakukan. Alangkah cepatnya kalian melakukan dosa. Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya, jika terjadi gempa susulan, aku tidak akan mau tinggal bersama kalian selamanya!”
Sahabat Ka’ab bin Malik mempunyai pendapat yang mirip dengan Umar bin Khattab. “Tidaklah bumi bergoncang kecuali karena ada maksiat-maksiat yang dilakukan di atasnya. Bumi gemetar karena takut Rabb nya Azza Wajalla melihatnya.”
Lalu bagaimana cara agar semua ini tidak berulang? Bumi bersikap tenang dan tak lagi gelisah dengan maksiat yang meradang.
Umar bin Abdul Aziz yang memerintah dengan gemilang memberikan solusi. Saat bumi selesai bergoncang, Umar bin Abdul Aziz segera menulis surat kepada semua elemen pejabatnya di seluruh wilayah kekuasaannya., “Gempa ini adalah sesuatu yang Allah azza wajalla gunakan untuk menegur hamba-hamba-Nya. Saya telah menulis perintah ke seluruh wilayah agar mereka keluar pada hari yang telah ditentukan pada bulan yang telah ditentukan, siapa yang mempunyai sesuatu maka bersedekahlah karena Allah berfirman, "Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia salat. (Qs. Al-A’la: 14-15)
Dan katakanlah sebagaimana Adam berkata, “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (Qs. Al-A’raf: 23)
Dan katakanlah sebagaimana Nuh berkata, “Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang rugi.” (Qs. Hud: 47)
Dan katakanlah sebagaimana Yunus berkata, “Tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (Qs. Al-Anbiya’: 87)
Maka sejatinya bumi sedang menasihati kita agar kembali kepada hukum-hukumNya.
Wallahu a'lam bishshowwab