Oleh : Uqierukiyah (Tim Akademi Menulis Kreatif)
Nilai tukar rupiah yang mencapai Rp 15 ribu menyebabkan harga kacang kedelai sebagai bahan baku tempe dan tahu di Kabupaten Bandung mengalami kenaikan. Salah seorang pedagang di Pasar Soreang, Aep Rahmat (60) mengatakan, saat ini harga kedelai mengalami kenaikan dari Rp 7.750 menjadi Rp 8.000 perkilo. Hal tersebut berimbas pada biaya produksi. Menurut Aep, jika harga dolar naik, maka otomatis harga kedelaipun ikutan naik karena bahan baku tempe dan tahu tersebut didatangkan secara impor. Namun, para pedagang tahu tempe tidak berani menaikkan harga jualnya, “susah naikin harga, harus serentak dan musyawarah,” katanya (inilahkoran.com).
Tingginya harga bahan baku kacang kedelai impor akibat melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat ikut dirasakan oleh produsen tahu tempe di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara. Para produsen tahu tempe di Kota Baubau terpaksa memilih mengurangi produksi dan ukuran bentuk tahu tempe. “Pengaruhnya besar sekali. Waktu dolar masih dibawah Rp 15.000 harga kedelai masih turun, sekarang sudah tinggi sekali, “ tutur salah satu pengusaha tahu tempe Kota Baubau, Sutarno. Sutarno biasanya sekali produksi tahu tempe sekitar 6 kuintal. Namun kini turun menjadi 4 kuintal perhari. “Sekarang produk saya kurangi ukurannya, misalnya dari 15 cm menjadi 13 cm karena disesuaikan dengan harga bahan baku,” ujarnya (Kompas.com, Kamis 7/9/2018).
Anljoknya Rupiah Berpotensi Naiknya Harga Barang
Pengamat Ekonomi Faisal Basri mengungkapkan, anjloknya nilai tukar rupiah karena lemahnya daya tahan mata uang Indonesia terhadap gejolak yang terjadi, baik dari dalam maupun luar negeri. Selama ini pemerintah terlalu berlebihan dalam membangun infrastruktur tanpa memperhatikan kemampuan keuangan, termasuk kemampuan dalam negeri dalam memenuhi kebutuhan bahan baku. Hal lain yang menyebabkan rupiah semakin sulit untuk bangkit, lanjut Faisal adalah neraca perdagangan yang cenderung defisit. Memang ekspor non-migas masih surplus, namun untuk migas cenderung negatif karena impor BBM dan gas.
Menguatnya dolar terhadap rupiah bukan saja mempengaruhi bahan baku tahu tempe , tapi juga barang-barang lain yang berasal dari impor, diantaranya : beras, gula pasir, daging sapi, mentega, susu, kosmetik, obat, jagung, plastik, pakan ternak dan elektronik.
Naiknya barang impor sebagai bahan baku produksi akan berpeluang turunnya omset penjualan akibat turunnya daya beli masyarakat. Bahkan lebih dari itu, banyak produsen gulung tikar. Permasalahan ini tentu saja dipicu oleh kebijakan impor yang diterapkan pemerintah. Pemerintah yang seharusnya memperhatikan kebutuhan domestik, perlunya menyediakan bahan baku lokal ternyata lebih memilih impor. Efeknya, pemerintah menyakiti dan mengecewakan petani dan pengusaha lokal. Para produsen harus mengeluarkan kocek lebih untuk menghadapi resiko kenaikan harga akibat melonjaknya dolar. Bayangkan, kenaikan bahan baku tempe Rp 250/kilo misalnya, akan terasa kecil jika kebutuhan produksi cuma 1 atau 2 kilo saja. Tetapi akan terasa berat manakala produsen tempe tahu memerlukan bahan baku itu 6 hingga 10 ton perhari. Belum lagi bila dihadapkan pada kondisi konsumen tidak mau membeli jika harga dinaikkan atau ukuran lebih kecil dari biasanya. Bahan baku yang sudah dibeli mahal itu akhirnya tidak laku, bau atau busuk. Demikian pula halnya dengan para konsumen, terutama ibu-ibu rumah tangga sebagai managerial keluarga. Mereka semakin dibuat pusing. Kesulitan yang semakin hari bertambah akibat pendidikan mahal, kesehatan mahal, ditambah harga-harga kebutuhan pokok yang tak kalah melambung. Bagaimana mensiasati gizi dan nutrisi keluarga jika harganya terus merangkak ?
Solusi Syariah Saat Rupiah Melemah
Munculnya permasalahan moneter, dengan melemahnya rupiah terjadi setelah dunia melepaskan diri dari standar emas dan perak serta berpindah ke sistem uang kertas (fiat money), yaitu mata uang yang berlaku semata karena dekrit pemerintah, yang tidak ditopang oleh logam mulia. Dalam sistem Bretton Woods yang berlaku sejak 1944 dolar masih dikaitkan dengan emas, yaitu uang $35 dolar AS dapat ditukar dengan 1 ounce emas (31 gram). Namun, pada 15 Agustus 1971, karena faktor ekonomi, militer dan politik, Presiden AS Richard Nixon akhirnya menghentikan sistem Bretton Woods itu dan dolar tak boleh lagi ditukar dengan emas (Hasan, 2005). Mulailah era nilai tukar. Dolar semakin terjangkit penyakit inflasi.
Masalah moneter seperti itu hanya dapat diatasi oleh mata uang emas dan perak saja. Mengapa? Sebab emas dan perak mempunyai banyak keunggulan. Dalam sistem emas dan perak, negara tidak mungkin mencetak uang lagi selama uang yang beredar dapat ditukar dengan emas dan perak pada tingkat harga tertentu. Karena negara khawatir tidak akan mampu melayani penukaran tersebut (Syeikh Zallum, al-Amwaal fi Daulah al-Khilafah, 2004:227).
Dalam Islam, negara wajib mengadopsi standar mata uang emas dan perak. Uang yang beredar, baik dalam bentuk emas dan perak, mata uang kertas atau logam yang ditopang emas dan perak, nilainya ditopang oleh dirinya sendiri. Dengan kata lain, nilai nominalnya ditentukan oleh harga komoditas yang menjadi fisik atau intrinsic value. Kondisi ini membuat pemerintah tidak bebas memproduksi uang yang beredar. Ia hanya dapat menambah jumlah uang substitusi baik kertas ataupun logam sejalan dengan peningkatan cadangan emas dan perak yang dimiliki negara. Kegiatan spekulasi oleh para spekulan untuk mempengaruhi nilai tukar mata uang negara tersebut menjadi sangat berat. Pasalnya, yang mereka spekulasikan sejatinya adalah emas dan perak. Emas dan perak akan memiliki kurs stabil antar negara. Dengan demikian diseluruh dunia hakikatnya terdapat satu mata uang yakni emas dan perak, meski mata uang yang beredar akan bermacam-macam diberbagai negara. Emas dan perak mempunyai keunggulan yang sangat prima, berapapun kuantitasnya dalam suatu negara, sedikit atau banyak akan dapat mencukupi kebutuhan pasar dalam pertukaran mata uang.
Dengan demikian, untuk mengatasi anjloknya rupiah akibat menguatnya dolar adalah dengan mengimplementasikan sistem ekonomi Islam. Baik dalam aspek moneter, fiskal, perdagangan luar negeri dan investasi. Semua itu hanya bisa diterapkan oleh negara. Negara yang menerapkan syariah dan khilafah-lah yang mampu mewujudkan stabilnya mata uang dengan standar emas dan perak. Maka tak berlebihan jika Khilafah dalam keharusan penegakkannya merupakan tajul furudh (mahkota kewajiban), banyak kewajiban yang hanya dapat terlaksana dengan adanya Khilafah.
Wallahu a’lam bi ash-Shawab.