Oleh : Ari Nurainun, SE
(Penulis dan Pemerhati Generasi)
Rasanya, tak hanya Kak Seto dan Pak Abdul Rois ( advokat) yang geram. Sayapun geram. Begitupun para ibu. Di tengah keperdulian bangsa ini membangun generasi yang sehat fisik dan psikis, hukuman 12 tahun terhadap PDW, sang predator anak, mencederai rasa kemanusiaan.
Meski sudah bisa ditebak, pihak terdakwa pasti akan mengajukan permohonan banding. Tetap saja hati ini bagai diiris sembilu. Seperti biasa, sebejat apapun pelaku, asas praduga tak bersalah menjadi landasan pihak pembela. Dengan penuh percaya diri, tim pembela PDW berucap, meski divonis sehari, kami akan naik banding. Kembali, HAM mempertontonkan kepongahannya.
PDW bahkan masih bisa tersenyum. Tak tampak setitikpun kesedihan. Terpenjara tak membuatnya merana. Bahkan, meski namanya sudah diungkap ke publik, hukum sosial tak berefek jera.
PDW hanyalah satu diantara predator anak yang bergentayangan di negeri ini. Jika hukum tak mampu menghentikan aksinya, dibelakang hari niscaya terdapat kasus serupa. Pasti tak ada seorangpun menginginkan hal tersebut. Namun dewasa ini, kasus kekerasan seksual pada anak, bak cendawan di musim penghujan. Peluang kasus berulang sangatlah besar.
PDW tak hanya melakukan kekerasan seksual, juga merusak masa depan korban. Hingga tak layak kiranya, ada pertimbangan lain selain menegakkan keadilan. Tapi justru inilah tantangan terberatnya.
Lihatlah bagaimana pengacara terdakwa berpegang pada bukti hasil visum yang negatif dari para saksi korban, tidak ada bekas pelecehan, trauma dan sejumlah alat bukti lain. Meskipun dalam persidangan terungkap, Presiden Green Generation ini telah mencabuli 6 orang anak dibawah usia 13 - 17 tahun. Sementara korban lain berusia diatas itu
Dan lihatlah juga , bagaimana pihak jaksa penuntut umum sulit membuktikan adanya unsur paksaan. Namun, akhirnya keterangan sejumlah saksi ahli menjelaskan bahwa luka tersebut bisa pulih karena beberapa hal. Apalagi antara kejadian dan visum memiliki rentang waktu yang lama. Kejadian tahun 2013 sementara visum tahun 2017. Bahkan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM ini telah mengakui perbuatannya dalam BAP Polda D.I Yogyakarta dan Polda Balikpapan tertanggal 16 dan 20 November 2017 tanpa unsur paksaan. Namun belakangan PDW berkilah dan mencabut BAP.
Kedudukan Bukti
Dalam buku Sistem Sanksi Dan Hukum Pembuktian Dalam Islam buah karya Syeikh Abdurahman Al Maliki dan Syeikh Ahmad Daur, hanya 4 komponen yang diakui sebagai bukti
1. Pengakuan
2. Sumpah
3. Kesaksian
4. Dokumen
Hingga visum dan pendapat para ahli baik yang memberatkan dan yang meringankan tidaklah dihitung sebagai bukti.
Begitupun jenis hukuman, Islam hanya menetapkan 4 jenis hukuman.
1. Hudud
2. Jinayat
3. Ta'zir
4. Mukhalafat.
Kasus predator termasuk dalam wilayah ta'zir. Artinya kewenangan Qodhi untuk menetapkannya. Yang jelas, bukan sanksi kebiri. Bukan pula denda berupa materi. Karena hukum Islam memastikan, kasus yang sama tak lagi berulang.
Selain efektif dalam preventif. Hukum Islam satu-satunya yang kooperatif. Dalam artian melindungi semua pihak yang terkait di dalamnya. Baik korban, keluarga korban bahkan pelaku sekalipun. Korban tak perlu khawatir dan malu untuk melaporkan. Karena aibnya terjaga. Tak perlu visum, atau membayar pengacara yang mahal. Begitupun saksi. Sistem kontrol masyarakat yang ketat tidak akan membiarkan pelaku maksiat merajalela melakukan aksinya. Hingga mencari orang yang bersedia menjadi saksi bukanlah hal yang sulit. Semua semata karena keimanan yang terpatri dengan kokoh. Negarapun tak membiarkan peluang kemaksiatan terbuka. Segala hal yang menstimulan fantasi-fantasi kotor tidak diberikan ruang untuk berkembang biak. Bisnis pornografi tak bisa membelah diri. Hingga menggagas hukum yang adil bagi semua bukanlah hal yang absurd. Bahkan menjadi sebuah kepastian hukum.
Wallahu'alam bi Showab