Oleh : sriyanti
Pegiat Dakwah, tinggal di Bandung
Bendera dan panji, menempati posisi yang agung sebagai simbol suatu negara, begitu pula bagi Rasulullah ﷺ, sebagai pemimpin Negara Islam pertama di Madinah al-Munawwarah. Hal itu dibuktikan dalil-dalil al-sunnah dan atsar, dirinci penjelasan para ulama mu’tabar, mengulas bendera dan panji yang dijuluki al-liwâ’ dan al-râyah, berikut karakteristik, kedudukan dan fungsinya yang istimewa.
Al-liwâ’ dan al-râyah merupakan nama untuk bendera dan panji Rasulullah ﷺ ’. Secara bahasa, keduanya berkonotasi al-’alam (bendera).
Namun secara syar’i, al-liwâ’ (jamak: al-alwiyah) dinamakan pula al-râyah al-’azhîmah (panji agung), dikenal sebagai bendera negara atau simbol kedudukan pemimpin, yang dipegang oleh pemimpin tertinggi peperangan atau komandan brigade pasukan (amîr al-jaisy) yakni Khalifah itu sendiri, atau orang yang menerima mandat dari Khalifah, sebagai simbol kedudukan komandan pasukan. Ia memiliki karakteristik berwarna putih, dengan khath berwarna hitam “lâ ilâha illaLlâh Muhammad RasûluLlâh”, berjumlah satu.
Sedangkan al-râyah (jamak: al-râyât), ia adalah panji (al-’alam) berwarna hitam, dengan khath berwarna putih “lâ ilâha illaLlâh Muhammad RasûluLlâh”, dinamakan pula al-’uqâb. al-râyah berukuran lebih kecil daripada al-liwâ’, dan digunakan sebagai panji jihad para pemimpin detasemen pasukan (satuan-satuan pasukan (katâ’ib)), tersebar sesuai dengan jumlah pemimpin detasemen dalam pasukan, sehingga berjumlah lebih dari satu.
Banyak dalil-dalil al-sunnah dan atsar yang menjelaskan tentang al-liwâ’ dan al-râyah, diantaranya dari Ibn Abbas radhiyaLlâhu ’anhu:
«كَانَ لِوَاءُ -صلى الله عليه وسلم- أَبْيَضَ، وَرَايَتُهُ سَوْدَاءَ»
“Bendera (liwâ’) Rasulullah ﷺ berwarna putih, dan panjinya (râyah) berwarna hitam.” (HR. Al-Hakim, al-Baghawi, al-Tirmidzi. Lafal al-Hakim)
Dari Jabir bin Abdullah radhiyaLlâhu ’anhu:
«أَنَّ النبي -صلى الله عليه وسلم- كَانَ لِوَاؤُهُ يَوْمَ دَخَلَ مَكَّةَ أَبْيَضَ»
“Bahwa Nabi ﷺ liwa’-nya pada hari penaklukkan Kota Mekkah berwarna putih.” (HR. Ibn Majah, Al-Hakim, Ibn Hibban. Lafal al-Hakim).
Berdasarkan dalil-dalil al-sunnah dan atsar, tak dapat dipungkiri bahwa al-liwâ dan al-râyah, merupakan simbol kenegaraan Rasulullah ﷺ, hal itu ditandai dengan praktik Rasulullah ﷺ sebagai kepala negara sekaligus komandan pasukan perang, yang menjadikan al-liwâ’ ditangannya semisal ketika Fathu Mekkah (penaklukan kota Mekkah), atau diserahkan kepada orang yang ditunjuknya secara resmi untuk memimpin pasukan perang, di antara dalilnya adalah sabda Rasulullah ﷺ ketika Perang Khaibar:
«لأُعْطِيَنَّ الرَّايَةَ غَدًا رَجُلاً يُفْتَحُ عَلَى يَدَيْهِ، يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ، وَيُحِبُّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ»
”Sungguh aku akan memberikan al-râyah kepada seseorang, ditaklukkan (benteng) melalui kedua tangannya, ia mencintai Allah dan Rasul-Nya, Allah dan Rasul-Nya pun mencintainya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan lainnya)
Ibn Bathal menjelaskan bahwa hadits di atas menunjukkan bahwa tidak ada yang berhak memegang bendera dan panji ini (dalam jihad) kecuali orang yang ditunjuk oleh al-Imam (Khalifah) saja, tidak diemban seseorang pun kecuali dengan adanya mandat kekuasaan (kewenangan dan kedudukan Khalifah).
Adanya mandat resmi dalam mengemban al-liwâ’ dan al-râyah ini, menunjukkan bahwa ia adalah simbol negara, sehingga memperjelas kedudukan Rasulullah ﷺ sebagai pemimpin suatu negara, yakni Negara Islam (al-Dawlah al-Islâmiyyah).
Hal ini semakin menguatkan bukti otentik, historis dan yuridis, adanya konsep negara dalam Islam, sekaligus meruntuhkan khurafat bahwa Rasulullah ﷺ bukan kepala negara dan tidak mengatur urusan kenegaraan. Namun bukan sembarang negara, melainkan negara yang berasaskan tauhid (akidah Islam), sebagaimana termaktub pada al-liwâ’ dan al-râyah, yang menunjukkan filosofi asas negara yang dibangun Rasulullah ﷺ.
Negara wajib berasaskan akidah Islam. Konsekuensinya, wajib menjadikan hukum Allah dan Rasul-Nya sebagai hukum positif yang diterapkan negara, bukan hukum jahiliyyah (lihat: QS. Al-Mâ’idah [5]: 50) yang mengundang malapetaka (lihat: QS. Thâhâ [20]: 124).
Penisbatan al-liwâ’ dan al-râyah dalam hadis dan atsar sebagai bendera dan panji Rasulullah ﷺ pun memperjelas kedudukannya sebagai syi’ar Islam. Terlebih kalimat tauhid yang menjadi ciri khas keduanya, merupakan kalimat pemisah antara iman dan kekufuran, kalimat yang menyatukan kaum Muslim dalam ikatan yang hakiki, ikatan akidah Islam.
Salah satu ancaman yang wajib diwaspadai kaum Muslim saat ini, adalah stigmatisasi negatif terhadap panji al-râyah sebagai bendera teroris (irhâbiyyah), dan adanya upaya kriminalisasi terhadap para pengembannya. Misalnya kasus panji al-râyah yang dijadikan barang bukti terorisme bom bekasi (news.detik.com,15/12/2016).
Padahal tidak ada relevansi sama sekali antara tindak kejahatan terorisme yang dikecam Islam, dan panji al-râyah sebagai syi’ar Islam yang justru dijadikan barang bukti tindak kejahatan.
Itu semua merupakan penyesatan opini, yang menjadi bagian dari visi misi Iblis dan sekutunya yang benar-benar berjanji akan menghiasi perbuatan buruk manusia, dan menyesatkan mereka semua dari kebenaran (QS. Al-Hijr [15]: 39).
Kebatilan tersebut merupakan syubhat dan khurafat yang wajib diwaspadai, dihadapi dan diluruskan. Karena dalam Islam, stigmatisasi negatif dan kriminalisasi terhadap simbol dan ajaran Islam merupakan kemungkaran, sehingga termasuk tindak kriminal yang wajib dicegah dan dikenai sanksi hukuman.
Sebagaimana peringatan al-’Allamah Taqiyuddin al-Nabhani, “Imperialisme tak sekedar menggunakan tsaqafah ini, bahkan meracuni kaum Muslim dengan beragam pemikiran dan pandangan dibidang politik dan falsafah, yang merusak paradigma kaum Muslim yang lurus. Dengannya rusak suasana Islami yang ada, serta mengacaukan pemikiran kaum Muslim dalam segala aspek kehidupan. Dengan semua itu, hilanglah benteng pertahanan kaum muslim.
Penolakan terhadap al-liwâ’ dan al-râyah, bisa terjadi karena ketidakpahaman terhadap hakikat keduanya dalam Islam, namun mengedepankan kecurigaan dan prasangka buruk.
Hal ini tercela, karena penolakan yang didasari oleh ketidaktahuan, pasti dilatarbelakangi oleh prasangka buruk, dan prasangka buruk itu tercela sebagaimana firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ {١٢}
“Wahai orang-orang yang beriman jauhilah oleh kalian sebagian besar dari prasangka, karena sebagian darinya merupakan perbuatan dosa.” (QS. Al-Hujurât [49]: 12)
Kesalahpahaman terhadap al-liwâ’ dan al-râyah, bisa juga lahir karena tersebarnya syubhat, dan tidak mau ber-tabayyun (cek ulang, mengkaji faktanya), karena makna tabayyun itu mendekati makna tatsabbut (mencari kebenaran), yakni tidak tergesa-gesa hingga benar-benar mengetahui.
Maka menjadi tugas para ulama dan da’i yang paham, memahamkan masyarakat awam terhadap hakikat al-liwâ’ dan al-râyah ini, agar mereka tidak bersikap kecuali sebagaimana sikap Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya.
Lalu bagaimana sikap Rasulullah ﷺ dan para sahabat terhadap al-liwâ’ dan al-râyah?
Hal itu terjawab dengan menilik sikap Rasulullah ﷺ dan para sahabat yang memberikan keteladanan dalam mengemban keduanya, menjadikannya sebagai tugas kenegaraan yang sangat mulia, yang tidak diemban kecuali oleh orang yang mulia.
Maka setiap syubhat dan khurafat, mencakup stigmatisasi negatif dan kriminalisasi atas al-liwâ’ dan al-râyah, hakikatnya merupakan makar terhadap Allah dan Rasul-Nya.
Ia merupakan kemungkaran yang harus diwaspadai kaum Muslim, wajib disingkap dan diluruskan, sehingga kaum Muslim tidak memandang al-liwâ’ dan al-râyah kecuali dengan pandangan Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya, dan tergerak untuk mengibarkannya kembali, dengan berjuang menegakkan kehidupan Islam, dalam naungan al-Khilâfah ’alâ Minhâj al-Nubuwwah yang berdiri di atas asas tauhid, dan kita sebagaimana sya’ir:
نَبْنِي كَمَا كَانَتْ أَوَائِلُنَا * تَبْنِي، وَنَفْعَلُ مِثْلَ مَا فَعَلُوْا
“Kami membangun sebagaimana generasi pendahulu kami membangun”
“Dan kami berbuat sebagaimana mereka telah berbuat."
Wa Allahu a'lam bi shawab