Mengakhiri Polemik Racun Penawar Defisit


Oleh.Tety Kurniawati ( Member Akademi Menulis Kreatif ) 


Jika ada racun yang dijual bebas untuk khalayak ramai. Meski telah terbukti secara medis dampak bahayanya bagi kesehatan. Ialah rokok. Rokok mengandung lebih dari 4000 zat kimia berbahaya dan lebih dari 43 zat yang menyebabkan kanker. Rokok juga terbukti sebagai produk adiktif yang dapat menimbulkan ketergantungan bagi penggunanya. Konsumsi rokok bahkan tak hanya berbahaya bagi si perokok, tetapi juga orang-orang di sekelilingnya yang terpapar asap rokok ( Kompas.com)

Ironisnya. Racun itu kini justru bertransformasi menjadi penawar defisit BPJS kesehatan. Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) soal cukai rokok untuk layanan kesehatan. Bahwa 50% penerimaan dari cukai rokok harus digunakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan ( serambinews.com 20/9/2018)

Keputusan ini kontan menimbulkan polemik di masyarakat. Di satu sisi, sebagai negara dengan jumlah  perokok terbesar di dunia, yakni 67 persen dari total jumlah perokok laki-laki di seluruh dunia versi data WHO. Ada penerimaan  besar dari cukai dan pajak rokok yang bisa digunakan untuk pembiayaan layanan kesehatan. 

Penilaian positif pun datang dari beberapa pihak. Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, implementasi dana DBH CHT dan pajak rokok sebagai sumber pendanaan defisit BPJS Kesehatan merupakan solusi yang tepat dan cermat. Senada dengan pernyataan tersebut, Ketua Gabungan Perusahaan Rokok (Gapero) Surabaya Sulami Bahar. “Bahwa kretek bukan membunuhmu, tetapi kretek penyelamat rakyat terbukti. Hanya industri rokok yang bisa menutup defisit BPJS Kesehatan,” kata Sulami. 

Dilain sisi, penyakit yang disebabkan rokok adalah jenis penyakit yang paling banyak menghabiskan anggaran BPJS Kesehatan. Merujuk data total penggunaan anggaran BPJS Kesehatan Tahun 2017, dari total Rp54,47 triliun JKN, sebanyak Rp15,29 triliun atau 33,62 persen habis untuk membiayai penyakit katastropik (penyakit berbiaya tinggi). 

Pengurus Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia, Widyastuti Soerojo, menyebut kebijakan pemerintah mengalihkan pajak rokok daerah untuk menutup defisit anggaran BPJS kontradiktif. Bukannya mencegah produksi dan konsumsi rokok, kata Widyastuti, pajak itu kini justru dialokasikan untuk pembiayaan penyakit, yang juga disebabkan zat berbahaya dalam rokok (bbc.com 18/9/2018).

Inilah wajah asli demokrasi. Kapitalisme-liberalisme menghadirkan individu-individu yang menghalalkan segala cara dalam meraih kekuasaan. Alhasil, tersebarnya wabah hipokrit menjadi keniscayaan, kala demokrasi diterapkan. Penuh dengan dualisme, berstandar ganda. Faktanya, hanya berorientasi pada kepentingan pribadi dan kelompoknya. Tak peduli menyengsarakan rakyat asal ada keuntungan yang didapat. Rokok jadi bukti nyatanya. Disatu waktu ia dibenci karena merusak generasi. Dilain kesempatan disanjung puji bak pahlawan karena menambal defisit BPJS kesehatan. 

Demokrasi-kapitalis menjadikan kesehatan sebagai komoditas komersial. Tak ada pembayaran tak ada layanan. Berbeda dengan Islam yang memandang  kesehatan sebagai kebutuhan dasar sekaligus hak rakyat. Kewajiban sekaligus tanggungjawab negara untuk mengupayakan pemenuhannya dengan sebaik-baiknya. Nabi SAW bersabda, "Imam (Khalifah) laksana penggembala dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya" (HR al-Bukhari).

Negara menjamin layanan kesehatan berkualitas tersedia. Gratis bagi seluruh warga negara. Tanpa membedakan ras, warna kulit, status sosial dan agama. Pembiayaannya diambil dari kas Baitul Mal, baik dari pos harta milik umum maupun harta milik negara. Tak ada pasien yang ditolak untuk dirawat dan berobat. Semua pelayanan kesehatan dilakukan semata mengharap ridho Sang penguasa jagat. 

Kebijakan ini dicontohkan sejak masa kenabian. Rasulullah SAW ketika dihadiahi seorang dokter oleh Muqauqis, Raja Mesir, beliau meminta dokter tersebut segera memberikan pengobatan kepada seluruh warga Madinah secara gratis. Pola-pola penyediaan layanan kesehatan terbaik bagi rakyat tersebut berlanjut terus pada masa Khilafah sampai saat kehancurannya pada tahun 1924.

Kepedulian Islam yang tinggi terhadap kesehatan tersebut sesungguhnya bagian integral dari totalitas sistem kehidupan Islam. Konsep yang telah dibuktikan fakta historis mampu menghadirkan kehidupan berperadaban tinggi. Sayangnya saat ini kita justru bangga berkiblat pada barat yang notabene kapitalis sejati. Konsekuensinya pelayanan kesehatan maksimal lagi gratis bagi warga negara hanya sebatas mimpi. Susah diterapkan karena senantiasa terganjal kepentingan para pemilik kapital. Maka sudah saatnya kita berupaya mengakhiri segala polemik racun penawar defisit yang berakar dari aturan yang tak lahir dari aqidah Islam. Niscaya tak ada lagi harta rakyat yang terkeruk untuk urusan pelayanan kesehatan. Sebab hanya Islamlah yang mampu menjamin pelayanan terbaik lagi gratis bagi rakyat diterapkan. Wallahu a'lam bish showab. 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak