Oleh: Fardila Indrianti, S.Pd
(The Voice Of Muslimah Papua Barat dan Anggota Akademi Menulis Kreatif)
Jika saat ini sedang marak challenge kekinian di kalangan remaja milenial kita, lain halnya dengan yang terjadi pada kehidupan keluarga Indonesia yang saat ini sangat memprihatinkan. Bagaimana tidak, perkembangan teknologi berbanding lurus dengan kemajuan manusia dalam bersosialisasi, tidak hanya dimudahkan dalam berinteraksi secara langsung namun juga dalam bersosial media. Saat ini kita disuguhkan dengan berbagai aplikasi canggih yang mampu mempertemukan orang dari berbagai belahan dunia, yakni media sosial. Media sosial saat ini tak ubahnya sebagai ajang bersosialisasi, bersilaturahmi, dan juga sebagai sarana eksistensi diri. Namun dibalik itu semua, ternyata media sosial memiliki dampak buruk terhadap kehidupan keluarga. Faktanya semakin berkembang berbagai aplikasi media sosial seperti facebook, whatsup, instagram, line, dan lain sebagainya meningkat pula angka perceraian. Lalu timbul sebuah pertanyaan, apakah hubungan keduanya?
Pengadilan Agama Kabupaten Karawang, Jawa Barat, mencatat kasus perceraian yang terjadi selama beberapa tahun terakhir banyak diakibatkan oleh media sosial. Menurut Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Karawang, Abdul Hakim, cukup banyak pasangan suami-istri bercerai karena kecemburuan yang bermula dari pertemanan di media sosial.
Abdul hakim menambahkan, media sosial seperti facebook, instagram dan whatsApp menjadi salah satu pemicu perceraian merupakan tren baru. Karena sebelumnya, kasus perceraian kebanyakan disebabkan faktor ekonomi.
Pada Januari hingga Juli 2018 tercatat Pengadilan Agama Karawang menerima 1.201 permohonan gugat cerai. Sedangkan pada periode yang sama, Januari hingga Juli 2018, Pengadilan Agama Karawang hanya menerima 434 pengajuan cerai talak dari suami. Begitu juga pada tahun 2017, perkara cerai gugat atau gugatan perceraian yang diajukan oleh istri lebih banyak, mencapai 2.207 permohonan. Sementara cerai yang diajukan suami atau cerai talak pada tahun lalu hanya 733 kasus. (Antaranews.com/9/9/2018)
Kejadian serupa terjadi di daerah Bengkulu. Pengadilan Agama Manna, Kabupaten Bengkulu Selatan, Provinsi Bengkulu, mencatat angka perceraian hingga pertengahan tahun ini mencapai 447 kasus, dan sebagian besar di antaranya dipicu penggunaan media sosial yang kurang bijak.
Peningkatan kasus perceraian diduga dampak dari media sosial, lantaran pasangan suami-isteri aktif menggunakan media sosial hingga melupakan tugas dan kewajiban masing-masing. Lebih lanjut, Sairun menjelaskan, ketika salah satu pasangan menggunakan media sosial maka akan rentan terjadi salah paham. Kehadiran media sosial sering menimbulkan ketidakharmonisan dan keretakan hubungan pernikahan karena diduga adanya pihak ketiga. (Antaranews.com/9/7/2018)
Tingginya angka perceraian menjadi salah satu dampak dari media sosial yang tidak hanya digandrungi para remaja bahkan bagi mereka yang telah berkeluarga. Hal ini dikarenakan, ketika salah satu dari pasangan aktif di sosial media maka membuka celah perselisihan dan salah paham. Misalnya ketika ada pesan singkat melalui aplikasi whatsapp atau status facebook yang romantis atau komentar nyeleneh di instagram atau facebook, suami atau istri merasa cemburu yang menyebabkan terjadi pertengkaran yang berujung pada perceraian.
Disadari atau tidak dampak media sosial terhadap tingkat perceraian tidak terlepas dari sistem sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan manusia. Agama dipandang sebagai sebuah aktivitas yang berhubungan dengan ibadah-ibadah di dalam tempat-temat ibadah saja, diluar itu agama tidak boleh dipakai. Sehingga yang terjadi adalah lahirnya pemahaman-pemahaman menyimpang seperti liberalisme, feminisme, gaya hidup hedonis, dan lain sebagainya. Maka tak heran, masyarakat kehilangan gambaran yang utuh tentang islam, salah satunya bagaimana islam mengatur pergaulan antara pria dan wanita.
Akibat berbagai pemahaman kufur yang menjangkiti umat terutama terkait dengan keberadaan sosial media, maka dampak yang bisa kita lihat yakni saat ini umat seolah telah kehilangan nilai-nilai kesopanan dan batas-batas norma yang mengakibatkan orang bebas mengunggah berbagai postingan ke media sosial, dari yang berbau pornografi, pornoaksi, hingga eksploitasi kecantikan wanita. Para pengguna media sosial tidak sungkan lagi curhat dengan teman lawan jenis, memberikan komentar-komentar yang tidak pantas dalam menanggapi status yang dibuat, dan tidak jarang pula para pengguna media sosial menyimpan foto-foto lawan jenis yang semua ini memunculkan kecemburuan, perselingkuhan dan pertengkaran di dalam keluarga.
Mudahnya akses masyarakat terhadap media sosial menjadi salah satu faktor kerusakan pergaulan saat ini. Ini jelas menjadi sebuah fenomena yang memprihatinkan. Negara dalam hal ini sebagai pengatur dan pengontrol masyarkat nyatanya tidak mampu memberikan rasa aman dan menjadi fasilitator yang baik di tengah-tengah masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya aturan yang ketat mengenai penggunaan media sosial. Sanksi yang diberikan pun dinilai tidak memberikan efek jera dan pembelajaran bagi masyarakat.
Lalu bagaimana dengan Islam? Sebagai sebuah ideologi, Islam memiliki aturan yang terpancar dari aqidah untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, baik itu ibadah maghdah seperti sholat, puasa, zakat, dan lain sebagainya juga mengatur pergaulan antara pria dan wanita. Keluarga merupakan tiang pengokoh agama dan negara sehingga bangkitnya suatu peradaban bergantung bagaimana peran keluarga yang menjalankan Islam secara menyeluruh di dalam kehidupannya.
Islam memandang bahwa hukum asal kehidupan pria dan wanita adalah infishal (terpisah) baik dalam kehidupan umum seperti di jalan, pasar, apalagi dalam kehidupan khusus seperti di dalam rumah. Karenanya hukumnya haram apabila pria dan wanita bercampur baur (ikhtilat).
Islam membolehkan pria dan wanita berinteraksi dalam beberapa perkara yakni pendidikan, kesehatan, dan muamalah. Islam juga mewajibkan seorang wanita untuk menutup seluruh auratnya ketika keluar rumah dan melarang menampakan kecantikannya (tabarruj) kepada pria asing (bukan mahram). Ini merupakan bentuk penjagaan Islam kepada wanita muslimah agar tidak diganggu serta menjadi penjagaan pula bagi pria agar mampu menundukkan pandangan dan syahwatnya. Islampun melarang berkhalwat (berdua-duaan antara pria dan wanita yang bukan mahram).
Tata aturan ini berlaku saat pria dan wanita berinteraksi baik di dunia nyata ataupun di dunia maya. Maka tidak akan ada curhat masalah individu antara pria dan wanita, menjadikan lawan jenis sebagai tempat pelarian jika menghadapi masalah rumah tangga, apalagi saling merayu bahkan mengumbar aurat di dunia maya (media sosial).
Karenanya penerapan aturan pergaulan sebagai bagian Islam kaffah, akan menghindari penyalahgunaan media sosial yang bisa mengakibatkan kehancuran rumah tangga. Media sosial adalah salah satu hasil kecanggihan teknologi yang bersifat universal, yang jika berada dalam sistem Islam kaffah akan diarahkan pemanfaatan untuk kebaikan umat dan tidak menimbulkan keresahan di masyarakat. Sebagai contoh, media sosial dapat dimanfaatkan untuk menyebarkan ilmu-ilmu Islam, dapat berinteraksi dengan umat sebagai salah satu bentuk sarana mengenalkan syariat-syariat Allah.
Tentu hal ini dapat tercapai jika negara sebagai pengatur segala urusan umat mampu menjalankan kewajibannya sesuai dengan aturan-aturan yag telah ditetapkan oleh Allah Ta'ala. Hanya melalui institusi pemerintahan Islamlah yang mampu menerapkan syariat Islam secara menyeluruh sehingga kehidupan keluarga dapat berjalan harmonis sesuai dengan syariat Islam.