Oleh: Arin RM, S.Si
(Member TSC)
Perbincangan dengan topik hijrah selalu menghangat ketika tahun baru Hijriah berganti. Bahkan kerap dijumpai kegiatan di masyarakat yang sengaja digelar dalam rangka menyambut bulan Muharam tahun hijriah yang baru. Mulai dari kegembiraan berupa tarhib Muharram, aneka lomba islami, hingga acara berbau adat pun ada. Semuanya sebenarnya sama, dimaknai dalam rangka menyambut tahun baru hijriah. Jika ada yang bernuansa adat, bisa jadi muncul karena keyakinan Muharam sebagai bulan suro.
Terlepas dari perbedaan yang muncul, suatu hal yang patut disyukuri jika kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa animo masyarakat akan hari besar Islam meningkat. Animo yang membesar ini adalah alarm bagi menguatnya semangat keislaman di tengah masyarakat. Maka, sangat pas jika di tengah suasana Islam yang hangat, masyarakat mendapatkan edukasi “lebih” mengenai makna hijrah. Mengapa? Sebab keumuman sejak di bangku SD hingga di pengajian tingkat RT, hijrah kebanyakan hanya berisi kisah singkat tentang pindahnya Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah.
Padahal ada dimensi politik yang lebih luas di atas hamparan hijrah. Benar jika hijrah diartikan pindah tempat, sebab demikianlah makna bahasanya. Namun An Nabhani dalam Asy-syakhsiyyah al islamiyah, II/276, menuliskan bahwa para fuqaha mendefinisikan hijrah sebagai aktivitas keluar dari darul kufur menuju darul Islam. Darul Islam adalah sebuah wilayah yang keamanannya berada di tangan kaum muslimin secara penuh. Dan di dalamnya diterapkan aturan Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan. Sedangkan darul kufur adalah sebaliknya.
Dengan definisi fuqaha di atas, hijrah yang terjadi di masa Nabi memanglah nyata menjadikan kaum muslimin yang ada saat itu beralih dari kekufuran sistemik menuju kepada kedaulatan Islam semata. Semuanya bersamaan tatkala mereka meninggalkan Makkah menuju Madinah secara bergelombang. Di Madinah lah kondisi muslimin benar-benar eksis. Keamanan sepenuhnya mereka pegang, aqidah mereka beralih dari campuran kemusyrikan menuju ketauhidan mutlak. Dari aspek kehidupan sosial mereka yang diwarnai dengan kehancuran moral, akrab dengan judi, arak, pelacuran, atau penguburan bayi perempuan hidup-hidup, secara drastis beralih pada kemuliaan masyarakat nan terhormat dengan diterapkannya Islam di tengah-tengah mereka.
Kehidupan ekonomi mereka pun dibersihkan dari riba, dari kecurangan timbangan, dan kebathilan aqad lainnya. Semuanya melesat maju ditata dengan konsep Islam, fresh dari aturan Allah. Perubahan inilah yang secara politik menghantarkan Islam dan pengikutnya bertransformasi menjadi bangsa yang disegani dunia. Menggeser perlahan hingga menyungkurkan kekuasaan dua adidaya yang mengapitnya. Islam dengan Daulah Madinahnya menjadi cahaya baru bagi Timur Tengah dan sekitarnya.
Demikianlah indahnya Islam jika bisa diterapkan secara total. Secara komunal masyarakat, suasana Islam akan menghidupkan peran anggotanya untuk saling amar makruf satu sama lain. Agar lingkungan masyaratnya terus dalam lingkup keimanan. Secara personal, jaminan keamanan dan keterlaksanaan Islam menjadikan setiap individu leluasa mengamankan ketaatannya. Tak ada kekhawatiran saat menjalankan Islam, bahkan saat menggunakan symbol-simbol Islam di keseharian.
Sayangnya kondisi nyaman berislam bagi individu, masyarakat, dan negara secara bersamaan ini tak lagi dirasakan saat ini. Kini, menjalankan Islam seolah harus puas secara individu. Padahal banyak sekali aturan Islam yang penerapannya tidak bisa sempurna jika hanya dibebankan pada individu saja. Sebutlah bagaimana penjagaan aqidah dari kaum murtad, butuh peran negara yang berwenang memberikan ketegasan hukuman agar virus murtad tak menyebar dan tak terus disebarkan. Dan banyak hal lain yang serupa, yang sama-sama membutuhkan peran negara untuk menyelesaikannya. Bahkan hanya sekedar mengamalkan amar makruf di masyarakatpun sulit. Cyber Trap ada dimana-mana, pengawasan masjid dari ceramah dan ustad yang dianggap bahaya terus gencar dilakukan dengan aneka persekusinya.
Maka, lingkungan hidup muslim saat ini nyaris seperti mengulang kejahiliyahan di masa lalu. Keyakinan terhadap Allah masih menancap kuat di hati, namun mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari sangat sulit sekali. Sungguh lingkungan hidup yang kini dikurung dengan aturan kapitalisme sekuler inilah yang perlu untuk dihijrahkan. Dipindahkan dari kondisi hidup yang minim peran agama menuju hidup full Islam sebagaimana suasana di Madinah pasca hijrahnya Nabi. Suasana baru hasil realisasi hijrah kaffah, hijrah menuju sistem dari Allah, bukan sekedar pindah tempat saja. [Arin RM]