(sumber gambar: selasar.com)
Oleh:
Naely
Bidan yang tinggal di
Ujungberung, Bandung
Lagi
– lagi, salah satu menteri negeri kita dipanggil oleh KPK. Tidak lain dan tidak
bukan karena kasus korupsi. Dilansir kompas.com,
Idrus Marham menerima surat perintah dimulai penyidikan (SPDP) KPK pada
23/8/18. Dan Mensos tersebut telah mengajukan surat permohonan pengunduran diri
kepada Presiden pada 24/8/18. Tidak hanya beliau, rentetan politisi lainnya pun
terciduk kasus korupsi.
Sudah
menjadi rahasia umum memang, banyak pejabat tinggi yang ditugasi mengayomi
rakyatnya, malah menjadi tersangka korupsi. Melipat anggaran untuk kebutuhan
rakyat. Jabatan yang disematkan padanya, tidak dijadikan amanah dan tanggung
jawab besar, malah menjadikannya jalan yang mudah dalam meraup kekayaan. Ditambah
lagi hedonisme yang sudah merasuk diri. Membuat gaya hidup semakin tinggi. Tak
melihat lagi rambu agama, dan norma. Terabas sana sini asal gaya hidup dan
keinginan terpenuhi.
Korupsi
sudah menjadi kebiasaan turun-temurun dan sistemik, bukan lagi individual.
Disamping itu, karena penegakan hukum yang lemah, tajam ke bawah tumpul ke
atas, menjadikan korupsi sulit dihentikan. Keadilan yang berpihak, hanya pada
para pemegang ‘uang’dan kekuasaan. Inilah yang terjadi ketika sistem buatan
manusia diterapkan. Jurang pemisah antara yang kaya dan miskin semakin menganga
lebar. Keadilan hakiki pun sulit ditemukan.
Padahal,
Allah SWT berfirman yang artinya:
“Dan janganlah
sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang
bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya
kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lian itu dengan (jalan
berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”. (TQS. Al-Baqarah: 188)
Dari
ayat diatas, sudah sangat jelas dikatakan bahwa memakan harta dengan jalan
bathil, atau korupsi itu hukumnya haram. Menjadikan pelakunya mendapat dosa. Tapi,
kenapa masih menjamur kehadiran para koruptor di negeri mayoritas muslim ini?
Tidakkah mereka membaca firman Allah tersebut? Faktor keimanan dan ketakwaan
berperan besar dalam menyebabkan pejabat terjerumus dalam tindak korupsi.
Mereka lupa atau sengaja melupakan hal tersebut haram hukumnya, malah
menjadikannya alternatif untuk memperkaya diri.
Jika
keimanan dan ketakwaan sudah tersemat dalam diri. Bukan hanya diumbar
kesholehan/sholehah nya saat kampanye. Tapi, dipupuk dan dipelihara agar tetap
hadir kala memegang amanah untuk mengurusi urusan rakyat. Dengan mengkaji
agama, tak cukup hanya membaca Alquran tanpa implementasi nyata. Karena
keimanan meminta bukti dalam penerapan di kehidupan sehari-hari. Akan terus
terngiang dalam diri pertanyaan, sudah sesuaikah tingkah laku kita dengan
aturan Allah? Atau malah sering melanggar perintah-Nya? Rasa takut pada murka
Allah akan senantiasa hadir. Ini menjadi benteng diri untuk menjauhi perbuatan
dosa, termasuk korupsi. Apalagi sudah dipastikan tabungan dosa menjanjikan
siksa neraka yang abadi.
Sudah
saatnya rakyat membuka mata. Bahwa sistem buatan manusia, demokrasi, yang
sedang diterapkan saat ini adalah yang hanya mencetak dan memelihara koruptor. Sudah
saatnya kembali merangkul sistem yang diturunkan Rabb alam semesta, Islam.
Sebuah sistem yang dilandasi keimanan dan ketakwaan, menjadi solusi atas semua
permasalahan yang ada, termasuk memberantas koruptor yang memakan uang rakyat.
Sistem yang terbukti kejayaannya selama 13 abad. Berhasil menekan angka
kriminalitas sepanjang masa penerapannya. Hal ini terjadi karena menerapkan
syariah Islam secara keseluruhan. Ini pun akan kembali terwujud bila semua
muslim bersatu, memperjuangkan tegaknya syariah Islam secara kaffah. Dilandasi
kekuatan iman dan takwa di dada.
Wallahu a’lam bish shawab.