Oleh: Arin RM, S.Si
(Member TSC)
Setiap mendekati bulan Muharram, perbincangan seputar hijrah selalu menghangat. Namun, umumnya perbincangan hanya terhenti pada kisah pindah nya Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah semata. Padahal ada dimensi yang lebih luas di atas rutinitas kisah hijrah yang sering dibincangkan.
Memang benar jika hijrah diartikan pindah tempat, sebab demikianlah makna bahasanya. Namun An Nabhani dalam Asy-syakhsiyyah Al Islamiyyah, II/276, menuliskan bahwa para fuqaha mendefinisikan hijrah sebagai aktivitas keluar dari darul kufur menuju darul Islam. Darul Islam adalah sebuah wilayah yang keamanannya berada di tangan kaum muslimin secara penuh. Dan di dalamnya diterapkan aturan Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan. Sedangkan darul kufur adalah sebaliknya. Dalam hal ini, darul Islam yang dimaksud kala itu adalah Madinah.
Dipilihnya Madinah sebagai tujuan hijrah bukan tanpa alasan. Rasulullah memandang Madinah sebagai daerah strategis untuk hijrah dikarenakan di sana ada dua kelompok besar yang hidup di sana dengan kondisi saling membenci. Kelompok bangsa Arab pemuja berhala dan kelompok Yahudi ahli kitab. Kedua kelompok ini bersaing ketat untuk mendapatkan kendali kepemimpinan. Sehingga jika salah satu mampu ditarik sebagai pengemban Islam dan ideologi nya, besar peluang kendali kepemimpinan atas Madinah bisa dikendalikan kaum muslimin.
Oleh karenanya Rasulullah mengambil peluang emas ketika ada kelompok suku Khazraj dari Madinah yang kabarnya hendak ke Mekah. Rasulullah menawarkan Islam kepada mereka. Qadarullah, perwakilan suku Khazraj menerima seruan itu dengan baik. Mereka kemudian pulang ke Madinah dengan bekal keimanan dan mengajak untuk masuk Islam. Islam pun dengan cepat menyebar di sana. Dan di musim haji tahun berikutnya terjadilah baiat Aqabah pertama.
Pasca baiat Aqabah pertama, Rasulullah mengirim Mush'ab bin Umair untuk mengemban misi membumikan ideologi Islam di Madinah. Keseharian nya diisi dengan mengajari penduduk Madinah baca Quran, mengajari konsep Islam, dan sekaligus memberikan pemahaman tentang rasa cinta berkorban untuk agama. Ia juga bertugas mengenal karakter penduduk dari dekat. Dengan pengenalan itu, ia bisa menyiapkan delegasi yang siap menjadi "penolong" Islam. Dan hal itu dibuktikan dengan sukses baiat Aqabah kedua dan ketiga di tahun haji berikutnya.
Rangkaian baiat ini adalah pertanda suksesnya strategi Rasulullah membangun pelindung dakwah di Madinah. Maka, diperintahkan muslim Mekah agar memiliki hijrah secara bergelombang ke Madinah. Di kotata itu tujuan hijrah bukan sekedar pindah menyelamatkan diri dari jahatnya Mekah, melainkan untuk mendirikan masyarakat aman. Masyarakat yang kendali keamanan dan kepemimpinannya ada di tangan Islam, sistem ilahiah dari Allah SWT. Komunitas masyarakat inilah yang dinamakan Daulah Madinah.
Keberadaan Daulah Madinah mengubah posisi Islam secara total. Kondisi kaum muslimin yang ada saat itu beralih dari kekufuran sistemik menuju sistem Islam seutuhnya. Keamanan sepenuhnya mereka pegang, aqidah mereka beralih dari campuran kemusyrikan menuju ketauhidan mutlak. Kehidupan sosial mereka yang dulu diwarnai dengan kehancuran moral, akrab dengan judi, arak, pelacuran, atau penguburan bayi perempuan hidup-hidup; secara drastis beralih pada kemuliaan masyarakat nan terhormat dengan diterapkannya Islam di tengah-tengah mereka.
Kehidupan ekonomi mereka pun dibersihkan dari riba, dari kecurangan timbangan, dan kebathilan aqad lainnya. Semuanya melesat maju ditata dengan konsep Islam, fresh dari aturan Allah. Perubahan inilah yang secara politik menghantarkan Islam dan pengikutnya bertransformasi menjadi bangsa yang disegani dunia. Menggeser perlahan hingga menyungkurkan kekuasaan dua adidaya yang mengapitnya.
Demikianlah indahnya Islam jika bisa diterapkan secara total. Secara komunal masyarakat, suasana Islam akan menghidupkan peran anggotanya untuk saling amar makruf satu sama lain. Agar lingkungan masyaratnya terus dalam lingkup keimanan. Secara personal, jaminan keamanan dan keterlaksanaan Islam menjadikan setiap individu leluasa mengamankan ketaatannya. Tak ada kekhawatiran saat menjalankan Islam, bahkan saat menggunakan symbol-simbol Islam di keseharian.
Sayangnya kondisi nyaman berislam bagi individu, masyarakat, dan negara secara bersamaan ini tak lagi dirasakan saat ini. Kini, menjalankan Islam seolah harus puas secara individu. Bahkan hanya sekedar mengamalkan amar makruf di masyarakatpun sulit. Cyber Trap ada dimana-mana, pengawasan masjid dari ceramah dan ustad yang dianggap bahaya masih gencar dilakukan dengan aneka persekusinya. Maka, tak berlebihan jika lingkungan hidup muslim saat ini dikatakan nyaris seperti mengulang kejahiliyahan di masa lalu. Keyakinan terhadap Allah masih menancap kuat di hati, namun mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari sangat sulit sekali.
Sungguh lingkungan hidup yang kini dikurung dengan aturan kapitalisme sekuler inilah yang perlu untuk dihijrahkan. Dipindahkan dari kondisi hidup yang minim peran agama menuju hidup full Islam sebagaimana suasana di Daulah Madinah. Suasana baru hasil realisasi hijrah kaffah, hijrah menuju sistem dari Allah, bukan sekedar pindah. [Arin RM dari berbagai sumber]