Fenomena Stunting di Sistem Demokrasi

Oleh Sifa Amalia N


Anak-anak yang bertumbuh pendek hari ini dianggap hal yang biasa. Padahal jika seorang anak lebih pendek dari teman-teman seusianya, hal ini dapat menjadi indikasi keterlambatan atau gangguan tumbuh kembang. Miris! Mendengar hal tersebut, terlebih lagi 9 juta dari 159 juta anak bertubuh pendek (stunting) di seluruh dunia, tinggal di Indonesia. 


Indonesia merupakan negara nomor empat dengan angka stunting tertinggi di dunia. Lebih kurang sebanyak 37% balita Indonesia mengalami stunting (kerdil). World Health Organization (WHO) menetapkan batas toleransi stunting maksimal 20 % atau seperlima dari jumlah keseluruhan balita.


Menurut Ahli Gizi Univeritas Gadjah Mada (UGM) Hamam Hadi, satu dari tiga anak di Indonesia mengalami stunting. Bahkan, jumlahnya terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada balita akibat kekurangan gizi kronis terutama pada 1000 hari pertama kehidupan dari janin hingga anak usia 2 tahun.  


Anggota IDAI dr Damayanti Rusli S.SpAK,Phd. mengatakan faktor utama tingginya masalah stunting di Indonesia salah satunya adalah buruknya asupan gizi sejak janin masih dalam kandungan (masa hamil), baru lahir, sampai anak berusia dua tahun. Kekurangan gizi pada dua tahun pertama kehidupan dapat menyebabkan kerusakan otak yang tidak dapat lagi diperbaiki. 


Selain hal tersebut stunting juga menimbulkan dampak buruk bagi anak, seperti perkembangan menjadi terhambat, penurunan fungsi kognitif, penurunan fungsi kekebalan tubuh, dan gangguan sistem metabolisme. Sehingga dapat menyebabkan kurang produktifnya anak,  prestasi di sekolah yang buruk, dan pada masa dewasa akan timbul resiko penyakit degeneratif, seperti diabetes militus, jantung koroner, hipertensi, dan obesitas.


Pengasuhan yang tidak baik, pendidikan tentang kesehatan terutama gizi yang kurang, terbatasnya fasilitas di pelayanan kesehatan, terbatasnya akses ke  pelayanan kesehatan, asupan gizi yang kurang pada ibu hamil, kurangnya akses dan daya beli keluarga untuk mengkonsumsi makanan bergizi, serta kurangnya akses air bersih dan sanitasi, merupakan beberapa hal yang menjadi penyebab tingginya resiko anak dengan stunting.


Berdasarkan catatan Bappenas, permasalahan gizi buruk menyebar di seluruh wilayah dan lintas kelmpok pendapatan. Artinya permasalahan stunting dan gizi buruk tidak hanya dialami masyarakat ekonomi lemah, namun juga masyarakat ekonomi menengah ke atas.

Pemerintah telah menyadari bahwa stunting merupakan suatu masalah kompleks, sehingga telah banyak program-program yang dibuat. Dalam rencana programnya, pemerintah melakukan edukasi dan sosialisasi, memberi makanan tambahan dan suplemen, melaksanankan imunisasi, membangun infastuktur air bersih dan sanitasi, serta melakukan bantuan pada keluarga miskin dalam bentuk bantuan langsung.


Dalam rangka perbaikan gizi, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden nomor 42 tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi yang fokus pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Gerakan ini mengedepankan upaya bersama antara pemerintah dan masyarakat melalui penggalangan partisipasi dan kepedulian untuk percepatan perbaikan gizi masyarakat dengan prioritas pada 1000 HPK. Peraturan Pemerintah no 33 tahun 2012 tentang pemberian Air Susu Ibu Eksklusif pun tengah di gencarkan dan menjadi program di puskesmas-puskesmas.


Dalam penyelasaiannya pemerintah pun memasukkan dana pinjaman atau utang dari World Bank senilai 400 juta dollar ke dalam APBN 2019. Ketua Tim Ahli Wakil Presiden, Sofjan Wanandi menjelaskan, dana tersebut digunakan untuk menaggulangi masalah stunting atau kekurangan gizi.


Telah banyak upaya yang dilakukan pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan kesehatan khususnya stunting dan gizi buruk di negeri ini. Namun kenapa masalah itu tetap ada dan terus meningkat hingga hari ini? Kenapa masalah tersebut seperti lingkaran hitam yang tak terlihat ujung solusinya? 


Ironi memang mendengar fakta negeri yang menyandang julukan zamrud khatulistiwa, yang membentang alam hijaunya, biru lautan yang luas, kaya akan beraneka ragam fauna,  terkenal dengan negeri agraris yang subur tanah, dan beraneka jenis hayati masih ada rakyatnya yang mengalami masalah gizi buruk. Lantas kenapa semua hal ini terjadi?


*Akar masalah*


Dalam banyak kajian yang dilakukan di institusi pendidikan dan para ahli, sebagaimana yang dijelaskan oleh UNICEF tahun 1988 bahwa akar permasalahan utama stunting (masalah gizi) ini karena krisis ekonomi, politik dan sosial. Di sistem hari ini yang menggunakan sistem ekonomi kapitalisme sekuler yang mana ekonomi berbasis ribawi yang dijadikan poros keuangan sungguh berdampak pada sulitnya perekonomian masyarakat.


Harga kebutuhan pokok yang terus merangkak naik, sehingga masyarakat yang berpenghasilan minim hanya bisa membeli makanan sesuai uang yang mereka miliki. Pendidikan yang kurang karena mahalnya biaya pendidikan. Program edukasi tentang gizi pun belum berjalan secara masif menjaring seluruh masyarakat.


Pengadaan bahan kebutuhan pokok yang penuh dengan intrik politik kepentingan pun akhirnya membuat bahan kebutuhan pokok impor dari negara-negara lain. Padahal di Indonesia ini banyak daerah-daerah yang mendapat julukan lumbung padi, lautan yang luas pun merupakan tambak garam yang tiada habisnya. Dilakukannya impor bahan panan ini selain membuat para petani kita kalah bersaing, hal ini pun rentan mengalami naiknya harga kebutuhan pokok dan daya beli masyarakat. 


Sulitnya pekerjaan terutama bagi kaum pria, pada akhirnya memaksa kaum ibu yang fitrahnya sebagai ummun wa rabbatul bayt wa madrasatul ‘uula (ibu dan pengelola rumah tangga serta sekolah utama/pertama) keluar rumah mencari uang untuk memenuhi kebutuhan. Tidak heran untuk tercapainya program ASI ekslusif sangat sulit, walaupun di berbagai tempat publik termasuk tempat kerja terdapat Ruang Ibu Menyusui. Belum lagi para wanita feminisme yang terus berkiprah diluar rumah dengan meninggalkan hak-hak anaknya.


*Solusi yang hakiki*


Maka, penting untuk menggapai solusi yang solutif, perubahan yang sistemik, dan pembenahan mendasar di segala aspek kehidupan. Pembenahan itu dimulai dengan penyadaran bahwa manusia diciptakan untuk menghamba pada Allah, untuk menjalankan syariat-Nya dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam kehidupan bernegara sehingga tujuan utama bernegara pun adalah menerapkan syariat-Nya dalam kehidupan pemerintahan. 

Islam memandang pengentasan masalah gizi demi memenuhi kewajiban mengurus kebutuhan rakyat dalam rangka ketaatan kepada Allah Swt. 


Islam menggariskan bahwa relasi penguasa dan rakyatnya adalah bagaikan penggembala dan gembalaannya, di mana si penggembala bertanggung jawab penuh atas keselamatan dan kesejahteraan gembalaannya. 


Sebagaimana kisah yang dicontohkan oleh umar bin khattab ketika itu menjadi pemimpin negara begitu memperhatikan rakyatnya. Bagaimana setiap malam mengontrol rakyat. Dicarinya rumah-rumah yang sudah habis stok makanannya. Dipanggulnya gandum itu dan dibuatkannya makanan hingga tidak ada rakyatnya tertidur dalam keadaan lapar.


Dalam Islam, menangani permasalahan gizi akan dilakukan secara praktis dan langsung pada permasalahannya agar gizi keluarga terpenuhi.


1. Kewajiban seorang laki-laki. Ketersediaan lapangan pekerjaan bagi laki-laki untuk mencari nafkah merupakan tanggung jawab untuk laki-laki didalam islam. Sebagaimana kutipan dalam Firman Allah Swt disurat An-Nisa ayat 34 yang artinya: 


“nafkahilah sebagian rezeki yang kau dapatkan (para suami) kepada istri-istri mu.” 


Kewajiban tersebut diperintahkan kepada para suami, untuk memberikan nafkah kepada istri-istri mereka, bukan malah sebaliknya. Sehingga negara akan berupaya semaksimal mungkin dalam memberikan kemudahan lapangan pekerjaan bagi laki-laki, agar bisa melaksanakan kewajibannya atas hak istri yang harus didapatkannya.


2. Edukasi bagi ibu dan memotivasi ibu untuk belajar. 

Sangat penting dan merupakan wajib bagi setiap muslim untuk belajar dan menuntut ilmu. Apalagi ibu berperan menjadi ‘madrasatul ‘uula’ (pendidikan pertama) bagi anak, sehingga negara akan melakukan upaya secara masif dalam memberikan edukasi bagi ibu dan wanita. 

Menjadi ibu sekaligus mengurusi rumah tangga bagi suaminya harus pandai dalam membagi waktu untuk mengurus itu semua. Yang terpenting adalah butuh ilmu. Karena dengan Ilmu Islam kita akan tahu bagaimana mendidik dengan benar dan menjadi istri sholehah bagi suaminya. Sungguh, ibu hebat di mata Allah SWT adalah ibu yang dapat mendidik anak-anaknya menjadi generasi pejuang Islam yang tangguh.


3. Peran ibu. 

Kewajiban seorang wanita tatkala sudah menikah adalah menjadi ummun ‘wa rabbatul bayt’ (pengurus ‘manajer’ rumah tangga) . Rasulullah SAW bersabda: 


“Seorang wanita adalah pengurus rumah tangga suaminya dan anak-anaknya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepengurusannya.” (HR Muslim).


Nasihat Rasulullah SAW kepada putrinya Fathimah Az-Zahra :

“Wahai Fathimah, wanita yang membuat tepung untuk suami dan anak-anaknya, Allah pasti akan menetapkan kebaikan setiap biji gandum, melebur kejelekan dan meningkatkan derajat wanita itu. Wahai Fathimah, tiadalah seorang wanita yang meminyaki rambut kepala anak-anaknya lalu menyisirnya dan memcucikan pakaiannya, melainkan Allah pasti menetapkan pahala baginya seperti pahala memberi makan seribu orang yang kelaparan dan memberikan pakaian seribu orang yang telanjang.”

peran seorang istri dan sekaligus ibu bagi anak-anaknya merupakan peran yang subhanallah luar biasa. Islam memuliakannya bahkan jika dia ikhlas dan ridho dengan amanah itu, maka balasan dari Allah berupa pahala yang jaminannya adalah surga. 

Tanggung jawab ibu terhadap anak tak akan pernah terganti oleh siapapun dan tanggung jawab ini dipertanyakan sampai akhirat. Tidak ada yang lebih berat amal seorang ibu untuk dimintai pertanggungjawaban selain urusan anak-anaknya. Maka pengabaian terhadap anak-anak sama artinya kehancuran sebuah generasi. Sehingga tidak ada kewajiban bagi ibu untuk keluar rumah mencari nafkah dan menelantarkan anak-anaknya. 


4. Keterjaminan pangan oleh negara. Keterjaminan pangan oleh negara ini mencakup:

a. keterjaminan ketersediaan pangan

Negara akan berupaya memaksimalkan produksi pangan agar memenuhi kebutuhan dalam negerinya, sehingga impor pangan akan diminimalisir serta dihilangkan para mafia-mafia dalam pengadaan pangan yang selama ini melakukan permaianan harga di pasar-pasar. Negara akan berperan sangat teliti pada pengurusan ketersediaan pangan mulai jumlah pangan yang cukup dan menjaga kestabilan harga pangan yang terjangkau untuk masyarakat.     



b. keterjaminan pangan halal wa thayib 

makan makanan yang halal merupakan kewajiban bagi setiap muslim, sebagaimana di firmankan oleh Allah Swt. pada Surat Al Baqarah : 168 yang artinya:


“Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan; karena sesungguhnya syetan itu adalah musuh yang nyata bagimu” 


negara akan melakukan pengawasan secara ketat tentang makanan halal, tidak hanya sekedar label makanan saja, namun secara ketat mengawasi mulai dari awal proses hingga akhir didistribusikannya makanan tersebut.

Wallahu'alam bish-shawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak