By: SITI SULISTIYANI S.Pd
Amerika menyiapkan sanksi senilai Rp 5 triliun kepada Indonesia usai memenangkan gugatan atas batasan impor produk pertanian dan peternakan. Selandia Baru juga berpeluang menerbitkan sanksi serupa senilai Rp 9 triliun.
Amerika Serikat meminta Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) untuk menjatuhkan sanksi terhadap Indonesia usai memenangkan gugatan atas pembatasan impor produk pertanian dan peternakan asal AS yang diberlakukan pemerintah Indonesia. Nilai sanksi yang diminta adalah sebesar US$ 350 juta atau sekitar Rp. 5,04 triliun.
Indonesia sebelumnya menerapkan batasan impor untuk berbagai produk semisal apel, anggur, kentang, bunga, jus, bawang, buah kering, sapi dan ayam. Atas ketetapan tersebut pemerintah AS dan Selandia Baru menggugat Indonesia tahun lalu lewat WTO.
Batasan impor adalah membatasi masuknya barang-barang impor dengan jalan mengadakan pembatasan tarif dan kuota.Kebijakan ini biasanya dilakukan dalam rangka untuk melindungi produk dalam negri.Sebagai contoh pembatasan impor beras,maka pemerintah akan membatasi berapa jumlah beras impor yang boleh masuk ke Indonesia baik dengan kuota atau tarif. Sehingga beras impor tidak bebas masuk ke negri ini.Secara otomatis ini akan melindungi hasil produksi para petani di dalam negri.Sebaliknya jika tidak ada batasan import maka beras import pun akan memenuhi kebutuhan di dalam negri, sehingga produksi petani dalam negri akan tidak laku dipasar.
Sehingga sebenarnya kebijakan pembatasan import ini adalah hal yang lumrah dan wajar dilakukan oleh penguasa negri manapun dalam rangka melindungi produksi dalam negri.Justru menjadi hal yang aneh bila sebuah Negara rela untuk mengorbankan rakyatnya hanya untuk kepentingan Negara Negara pengekspor.Bahkan lebih senang disebut taat pada kebijakan WTO dari pada melindungi hak hak rayat.Ini tentu kekuasaan yang aneh.
Kadang aturan aturan WTO sendiri patut dipertanyaakan.misal dalam kebijakan-kebijakan kuota ekspor dan impor oleh WTO semakin membuat Negara seperti Indonesia tidak punya kendali lagi untuk mengatur perdagangan dalam negeri. Padahal sebagai negara berdaulat, pemerintah berandil besar menetapkan setiap kebijakan yang mendorong petani maupun pedagang lokal. Kebijakan WTO selama ini lebih menguntungkan negaranegara-negara industri maju yang memaksakan kepentingan mereka sendiri, sementara negara lain yang masih berkembang, miskin dan terbelakang seperti India, Indonesia dan lain-lain diharuskan menelan pil pahit kerugian.
WTO ini secara nyata telah dijadikan instrument politik Negara maju terhadap Negara berkembang. Negara maju ingin menguasai pasar negara berkembang, namun masih terkendala akses pasar akibat kedaulatan hukum pada sejumlah negara berkembang. Untuk menghindari kendala ini, negara maju menggunakan perjanjian yang bersifat internasional, salah satunya WTO.Akhirnya, hukum internasional yang terkait dengan ekonomi dan perdagangan internasional telah solid membungkus kepentingan negara maju, tanpa bisa ditentang oleh negara berkembang.
mekanisme penyelesaian sengketa perdagangan dalam Badan Penyeleseian Sengketa atau Dispute Settlement Body (DSB), Jika diteliti, kalau ada permasalahan antara negara berkembang dan negara maju, putusan selalu menguntungkan negara maju.
Pihak yang menang dalam putusan DSB, lanjutnya, dalam jangka waktu tertentu diperbolehkan melakukan pembalasan (retaliatory measure) terhadap pihak yang dikalahkan untuk memaksa pihak tersebut menjalani putusan. Tapi persoalannya hal ini hanya efektif digunakan bila negara besar berhadapan dengan negara yang relatif kecil, tetapi tidak sebaliknya. Seperti yang terjadi antara Indonesia dengan amerika saat ini.Terkait dengan solidaritas negara berkembang tidak solid dan memiliki posisi tawar yang rendah bila berhadapan dengan negara maju. Solidaritas itu sulit dibangun, bahkan negara maju seolah mempunyai cara untuk memecah-belah solidaritas kelompok negara berkembang. Tanpa posisi tawar yang sebanding, tidak dapat diharapkan ada ada perubahan, seperti yang terjadi selama ini. Negara berkembang seolah membiarkan status quo yang dikehendaki negara maju berlangsung terus.
Ditinjau dari aspek internasional, posisi Indonesia dalam perdagangan internasional sangat lemah. Hal ini ditunjukkan oleh neraca perdagangan luar negeri Indonesia yang kerap defisit. Dua faktor yang menyebabkan Indonesia defisit adalah fundamental ekonomi dalam negeri amat lemah, dan betapa kuatnya ekonomi negara maju. ‘Ketidakadilan’ ini semakin menjadi-jadi ketika Indonesia dengan sukarela mengikuti permainan WTO ataupun fora dan perjanjian bilateral lainnya dalam perdagangan bebas. Aturan tersebut, ‘memaksa’ Indonesia mengikutinya, walaupun harus terseok-seok dan merugikan seluruh rakyat.
Sangat tepat jika perdagangan internasional yang bebas diibaratkan sebagai arena pertarungan tinju all in one. Semua petarung, baik petinju kelas bulu, kelas terbang maupun kelas berat bertarung bersama-sama tanpa dibedakan klasemennya. Negara-negara dengan ekonomi masih lemah, ekonomi menengah dan ekonomi maju, bersaing dalam pasar bebas. Tentu saja, negara-negara dengan ekonomi lemah, kalah telak dengan negara ekonomi maju. Negara maju dengan cepat dan mudah bisa menguasai pasar. Bukan hanya pasar di negerinya, namun juga pasar di negara lain. Sehingga sangat wajar jika kita mendapati produk-produk asing dengan harga murah bisa masuk ke pasar negeri ini. Inilah yang terjadi pada negeri ini. Ekonomi masih lemah, tapi dipaksa mengikuti skema pasar bebas.Terlebih lagi jerat ketergantungan akan terus dilakukan dalam rangka untuk mengikat pasar.
Sebagai contoh produk impor yang lebih murah masuk bersamaan dengan masa dikeluarkannya jumlah produksi dalam negri yang banyak,maka jelas ini akan membuat harga anjlok dikalangan produsen dalam negri.Dengan alasan persaingan hal seperti ini kadang dibiarkan.Hingga terjadinya gulung tikar para produsen dalam negri..Disaat terjadi kondisi ini maka saatnya aseng menciptakan ketergantungan pada produk impor.Ketika terjadi ketergantungan pada impor maka jelas ketidakseimbangan neraca perdagangan akan terjadi yang juga menjadi salah satu sebab tidak stabilnya mata uang yang masih menstandart kan pada fiat maney.
Jadi telah nampak jelas bahwa WTO ini adalah alat untuk perpanjangan tangan dari Negara Negara maju.Lalu mengapa Indonesia tetap bergabung di WTO? Dan untuk kepentingan siapa ? jika dalam faktanya justru kerugian yang banyak yang diterima.
Kepercayaan diri Indonesia mestinya membawa Indonesia mampu diaktualisasikan dalam kemandirian tanpa tergantung dengan asing dan lembaga lembaga seperti WTO. Sumber kekayaan yang melimpah yang telah dikaruniakan Allah SWT mestinya akan bisa dikelola untuk kesejahteraan ummat tanpa campur tangan asing. Dengan dalih apapun.Tata kelola yang tepat terhadap sumber daya alam dan seluruh kebijakan akan berkontribusi positif terhadap kesejahteraan rakyat di negri ini.Wallahua’lam