Oleh.Tety Kurniawati ( Anggota Akademi Menulis Kreatif)
Keluar dari mulut harimau masuk ke mulut buaya. Demikian kiranya gambaran nasib rakyat yang tak kunjung menikmati haknya. Setelah berbagai kasus yang mencuat terkait BPJS Kesehatan membuat publik tersadar. Bahwa faktanya, kemudahan akses layanan kesehatan hanyalah harapan yang tak pernah mewujud dalam kenyataan. Kini ditengah terdepresiasinya nilai rupiah yang membuat masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya. Rakyat kembali disuguhi gencarnya sosialisasi BPJS Ketenagakerjaan (TK) dengan modus menawarkan jaminan kesejahteraan pekerja.
Di Kabupaten Purwakerta misalnya, 23 ribu petani di dorong ikut serta dalam program BPJS Ketenagakerjaan ( Republika.co.id 10/9/2018). Tak hanya itu saja, personel BPJS Ketenagakerjaan Jakarta Slipi mengajar di SMA Negeri 23, Tomang, Jakarta Barat. Target kegiatan tersebut menanamkan kesadaran kepada siswa terhadap pentingnya program jaminan sosial ketenagakerjaan ( indopos.co.id 13/9/2018).
Bahkan BPJS Ketenagakerjaan mengharapkan dapat memberikan perlindungan jaminan sosial bagi 89 juta pekerja di Indonesia paling lambat 2021. Sebab itu BPJS Ketenagakerjaan terus sosialisasikan program jaminan sosialnya di daerah hingga ke desa di Indonesia ( liputan6.com 13/9/2018).
Wajar jika kemudian muncul anggapan bahwa ada udang dibalik batu. Gencarnya sosialisasi BPJS Ketenagakerjaan hanyalah alat baru. Meraup harta rakyat dengan dalih jaminan kesejahteraan yang semu. Apalagi BPJS Ketenagakerjaan masih belum menunjukkan transparansi dalam hal pengelolaan dana iuran. Lantas bagaimana rakyat hendak menaruh kepercayaan.
Proyek BPJS -TK ini sejatinya makin menegaskan adanya neoliberalisasi dalam setiap sektor di negeri ini. Kebebasan tanpa batas meniscayakan anarki. Konsekuensinya peran negara mengurus rakyat kian hari kian terkebiri. Terkekang oleh regulasi yang membatasi. Rakyat dibiarkan berupaya memenuhi kesejahteraan secara mandiri, dari dana pribadi. Alhasil kehidupan rakyat kian terjepit sebab kebijakan bermodus jaminan kesejahteraan yang mencekik. Sementara para kapitalis meraup keuntungan ditengah rakyat yang bernasib malang.
Hal ini sangat bertolak belakang dengan apa yang berlaku dalam naungan Islam. Negara sebagai penerap aturan Illahi, berkewajiban memastikan pengurusan urusan rakyat dilaksanakan secara optimal. Sumber daya alam yang ada dikelola sebaik-baiknya untuk kemaslahatan rakyatnya. Hingga umat tidak akan dibebani kewajiban yang memberatkannya. Terlebih menyebabkan terampasnya hak milik mereka. Apapun alasannya.
Tak hanya wajib menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya. Terpenuhinya segala kebutuhan rakyat kala tak mampu lagi bekerja di usia senja pun dijamin oleh negara. Sebagaima sabda Rasulullah SAW, " Pemimpin yang mengatur urusan manusia adalah bagaikan pengembala, dan dialah yang bertangung jawab terhadap rakyatnya ( gembalanya)" ( HR. Bukhari Muslim).
Hanya Islam yang mampu menghadirkan kesejahteraan hakiki. Kala setiap aturan Illahi diterapkan dalam pengelolaan negeri. Saat itulah rahmatan lil alamin akan dapat kita nikmati. Sebagaimana janji Allah dalam firmannya, "Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (Qs. Al-A’raf: 96). Wallahu a'lam bish showab.