Oleh: Nur Fitriyah Asri
Akademi Menulis Kreatif
Tujuh puluh tiga tahun Indonesia merdeka, berulang kali korupsi menduduki peringkat tertinggi dalam menuai prestasi. Dan dari tahun ke tahun prestasi korupsi ini cenderung meningkat. Pastilah bukan prestasi yang membanggakan tapi sungguh memalukan. Masihkah kita percaya dan berharap bahwa demokrasi adalah sistem terbaik dan akan mampu membebaskan negeri ini dari kasus korupsi?
Ironis, negeri yang mayoritas berpenduduk muslim terbesar di dunia, dilanda berbagai problematika diantaranya kasus korupsi yang telah menggurita diseluruh sendi. Dimulai sejak orde lama, orde baru, sampai reformasi. Di tingkat daerah maupun tingkat pusat, terjadi kongkalikong diantara penguasa, pengusaha dan anggota legislatif. Ujar Dewan Pengarah BPIP yang juga mantan Ketua MK Prof M Mahfud MD, demokrasi digunakan jalan untuk korupsi, dengan memperjual belikan undang-undang, semakin demokrasi semakin banyak korupsinya (Hidayatullah.com 06/09/2018).
Dalam 13 tahun terakhir (2004-2017), terdapat 48 kasus yang melibatkan anggota legislatif dalam kasus korupsi berjamaah. Yang paling baru adalah penetapan tersangka kepada 41 anggota DPRD Kota Malang. Menurut Koordinator Devisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz mengatakan bahwa korupsi massal di parlemen dipicu oleh politik biaya tinggi (Liputan6.com 10/9/2018).
Sistem demokrasi yang selama ini di gaungkan dan dipuja sebagai sistem terbaik bisa mensejahterakan rakyatnya ternyata isapan jempol belaka. Justru berkaca dengan kondisi Negara-negara dunia yang menerapkan demokrasi waktu demi waktu mengalami kegagalan. Hal ini wajar karena azasnya sekulerisme yang memisahkan agama dengan kehidupan. Keputusan diambil dari suara terbanyak bukan berlandaskan halal dan haram. Penguasa dan anggota legislatif yang membuat hukum hanya untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya. Karena hukum bisa diperjual belikan, kebijakannya tidak memihak dan mewakili suara rakyat. Lupa kalau yang memilih rakyat, karena demokrasi azasnya manfaat.
Demokrasi Sistem Bobrok.
Demokrasi tidak akan bisa memberikan solusi problematika umat termasuk kasus korupsi, ini disebabkan karena:
Demokrasi cacat sejak lahir, merupakan buah dari akidah sekulerisme (memisahkan agama dengan pengaturan kehidupan) lahir pada akhir abad 18 dan 19 M, hasil solusi kompromi konflik di Eropa.
Sekulerisme inilah yang menjadi pangkal kerusakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sekulerisme menghasilkan moral dan akhlak yang bobrok, sehingga dengan gampangnya melakukan kemaksiyatan karena merasa tidak diawasi oleh Allah. Rasa malupun sudah hilang, jelas tertangkap tangan oleh KPK tapi sempatnya tebar senyum foto selfie bersama.
Demokrasi adalah sistem pemerintahan berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Kedaulatan ditangan rakyat, sejatinya itu sebuah pembohongan, faktanya otoritas rakyat hanya saat pemilu ketika memilih penguasa dan anggota legislatif.
Setelah pemilu kedaulatan riil ditangan penguasa/pemerintah dan anggota legislatif. Ditangan merekalah hukum-hukum dan peraturan dibuat, berdasarkan akal, manfaat dan kepentingan pribadi dan golongan. Mereka bukan mewakili aspirasi dan berpihak pada rakyat lagi. Mereka adalah karyawan partai yang terikat dengan janji-janji politik (mahar, balas budi dll.). Di sisi lain biaya politik yang tinggi inilah yang mendorong melakukan korupsi untuk mengembalikan modal.
Kongkalikong pun dilakukan untuk saling menguntungkan, kerjasama yang menjijikkan untuk meng- golkan undang-undang pesanan asing ( UU Migas, UU SDA, UU Penanaman Modal, UU Minerba, UU BHP dll) dan tidak gratis, berbiaya sangat besar itu bentuk korupsi yang menyengsarakan rakyat, memiskinkan rakyat dan mengkhianati rakyat.
Dalam sistem demokrasi keputusan diambil dengan prinsip mayoritas. Siapa paling banyak suaranya, banyak duitnya dia akan terpilih jadi pemimpin, karena tidak mengenal azas baik dan buruk, haram dan halal. Sungguh berbahaya, pemimpin yang rusak akan merusak tatanan kehidupan. Tolok ukurnya berdasarkan manfaat, salah satu penyebab lahirnya korupsi berjamaah.
Euforia demokrasi setiap lima tahun sekali, yang berbiaya tinggi, total anggaran penyelenggaraan pilkada serentak 2018 berpotensi tembus Rp 20 triliun (kompas.com). Sungguh suatu pemborosan, uang sebesar itu bisa digunakan untuk membuka lapangan kerja atau mengentaskan kemiskinan. Belum lagi biaya pilpres dan pileg.
Islam Adalah Solusi
Islam adalah agama sekaligus sistem yang mengatur semua kehidupan. Mengatur hubungan antara manusia dengan Allah (Akidah,Ibadah). Mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri (makanan, minuman, pakaian, akhlak). Dan mengatur hubungan manusia dengan manusia ( keluarga, pendidikan, kesehatan, sosial budaya, peradilan, politik dll.). Dengan diterapkan aturan-aturan secara kaffah terbentuklah akidah umat yang kuat dan taat syariat, muncul spirit amar ma'ruf nahi munkar. Dengan begitu menghasilkan dan tercipta kontrol yang baik.
Sistem Islam, undang-undangnya berasal dari syara' (Al Qur'an, As Sunnah, Ijma' Sahabat dan Qiyas). Hukum berasal dari zat yang Maha adil tentu hukum itu akan adil.
Allah berfirman "...Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah". (QS Al An'am 6: 57).
Sangsi hukum dalam sistem Islam bersifat jawabir ( penebus dosa) artinya kalau sudah mendapat sangsi besuk diakhirat tidak dihisab dan zawajir ( mencegah). Karena hukuman tegas dapat menimbulkan effek jera. Dan itu tidak dimiliki oleh hukum positif.
Demokrasi nyata-nyata bobrok, bukan berasal dari Islam. Justru bertentangan dengan Islam. Demokrasi telah terbukti tidak bisa mensolusi semua preblematika termasuk korupsi. Tinggalkan demokrasi, saatnya kita beralih ke sistem Islam, pasti akan mensejahterakan.
Allah berfirman " Apakah hukum jahiliyah yang mereka ambil? Dan hukum siapakah yang lebih baik dari hukum Allah bagi orang-orang yang beriman" (QS Al Maidah 50).
Wallahu a'lam bish shawab.