BPJS Ketenagakerjaan dan Ilusi Kesejahteraan Kesehatan

Oleh : Estriani Safitri

(Muslimah Media Konawe)


Dinas Pangan dan Pertanian Kabupaten Purwakarta menyebutkan bahwa keikutsertaan petani dalam program asuransi ketenagakerjaan masih rendah. Sebab hingga saat ini belum ada data valid mengenai petani yang terdaftar di BPJS ketenagakerjaan. Padahal, jumlah petani dan buruh tani di wilayah ini sekitar 23 ribu yang tergabung dalam 740 kelompok tani (Poktan). Karena itu, Dinas menggandeng BPJS ketenagakerjaan guna mendorong para petani terdaftar dalam asuransi tersebut (Republika.co.id, 10/09/2018).


Kepala Dinas Pangan dan Pertanian Kabupaten Purwakarta, Agus Rachlan Suherlan, mengatakan, asuransi bagi petani sangat penting. Tak hanya asuransi kesehatan, jaminan hari tua bagi mereka sangat penting. Untuk itu Dinas mendorong supaya 23 ribu petani dan buruh tani supaya masuk dalam kepesertaan asuransi tenaga kerja. 


Beliau juga mengatakan dengan adanya perlindungan ini diharapkan masa tua petani maupun buruh tani bisa cerah. Sebab, istilahnya mereka akan punya pensiunan (Republika.co.id, 09/09/2018).


Pun, Kepala Cabang BPJSTK Kabupaten Purwakarta, Didi Sumardi, mengatakan, para petani ini akan dipermudah dalam besaran iurannya. Yakni, hanya Rp 16.800 per bulan per jiwanya. Iuran yang terjangkau ini karena masuk dalam kategori pekerja bukan penerima upah (PBPU). 


Dengan demikian pembayaran preminya juga bisa dikolektifkan melalui agen perisai dalam hal ini penyuluh pertanian. Beliau juga mengatakan walaupun iurannya kecil, tetapi hak dan fasilitas yang diperoleh petani ini sama seperti karyawan perusahaan (Republika.co.id, 10/09/2018).


Berbanding terbalik, Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf Macan justru mempertanyakan penyaluran investasi yang dilakukan BPJS Ketenagakerjaan. Apalagi, terjadi kejomplangan signifikan antara BPJS Ketenagakerjaan dengan BPJS Kesehatan.


Dana investasi yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan saat ini lebih dari Rp 300 triliun. Menurutnya, dari angka tersebut tidak ada dana negara secara langsung. BPJS Ketenagakerjaan mendapatkan dana dari pengusaha dan dana dari pekerja yang merupakan dana amanah (Republika.co.id, 03/09/2018).


Dari segi kinerja, ia melanjutkan, BPJS Ketenagakerjaan sudah cukup baik. Hanya saja perlu dilakukan perubahan pola pikir bahwa dana yang dikelola adalah dana jaminan milik masyarakat. Sebagai anggota DPR yang mewakili rakyat, ia pun menekankan investasi BPJS Ketenagakerjaan ke infrastruktur. 


Menyikapi hal ini, Wakil Ketua Komisi IX DPR Saleh Daulay menambahkan, terkait investasi di infastruktur saat ini cukup sensitif. Terutama di tahun politik. Tidak sedikit masyarakat yang berpikiran uang mereka dipaksa digunakan untuk menjalankan program dari rezim yang berkuasa.


Setelah kisruh pengelolaan BPJS kesehatan, pemerintah pun menggunakan BPJS ketenagakerjaan sebagai alat baru meraup harta rakyat dengan dalih jaminan kesejahteraan pekerja.


Mengapa seperti itu? Bukankah negara seharusnya tidak membebani rakyatnya? Begitulah jika kita berada dalam sistem kapitalisme, dimana rakyat harus mensejahterakan dirinya sendiri, sementara negara memposisikan diri sebagai regulator. Dengan demikian, kesejahteraan bukan lagi hak rakyat dari penguasa, tetapi merupakan kewajiban rakyat untuk memenuhinya secara mandiri.


Dalam sistem kapitalisme, negara juga tidak mempunyai peran dan tanggung jawab untuk mengurus urusan pribadi rakyat. Karena, urusan pribadi rakyat adalah urusan mereka sendiri, bukan negara. Negara tidak mempunyai kewajiban untuk menjamin kesehatan, pendidikan, keamanan, serta kebutuhan dasar rakyat yang lain.


Karena itu, kewajiban menjamin kesehatan, pendidikan, keamanan, serta kebutuhan dasar rakyat yang lain ini harus ditanggung sendiri oleh rakyat. Dengan kata lain, negara telah memindahkan tanggung jawab ini ke pundak rakyat. Ketika hal ini sudah ditetapkan sebagai kewajiban di pundak rakyat, maka jika rakyat tidak membayar, mereka pun akan dikenai sanksi dan denda. 


Padahal dalam Islam, negara wajib mengurus rakyat dengan maksimal. Tidak boleh membebani umat dengan kewajiban yang memberatkan apalagi merampas hak milik mereka. Negara  juga wajib hukumnya menjamin kesehatan rakyatnya secara cuma-cuma, tanpa membebani rakyat untuk membayar. 


Dalam Shahih Muslim terdapat hadis dari Jabir bin Abdillah RA, dia berkata, “Rasulullah SAW telah mengirim seorang dokter kepada Ubay bin Ka’ab (yang sedang sakit). Dokter itu memotong salah satu urat Ubay bin Ka’ab lalu melakukan kay (pengecosan dengan besi panas) pada urat itu.” (HR Muslim no 2207).


Dalam hadis tersebut, Rasulullah SAW sebagai kepala negara telah menjamin kesehatan rakyatnya secara cuma-cuma, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa memungut biaya dari rakyatnya itu.


Terdapat pula hadis lain dengan maksud yang sama, dalam  Al Mustadrak ‘Ala As Shahihain karya Imam Al Hakim, “Dari Zaid bin Aslam dari ayahnya, dia berkata, “Aku pernah sakit pada masa Umar bin Khaththab dengan sakit yang parah. Lalu Umar memanggil seorang dokter untukku, kemudian dokter itu menyuruhku diet (memantang memakan yang membahayakan) hingga aku harus mengisap biji kurma karena saking kerasnya diet itu.” (HR Al Hakim, dalam Al Mustadrak, Juz 4 no 7464).


Hadis ini juga menunjukkan bahwa Umar selaku Khalifah (pemimpin negara) telah menjamin kesehatan rakyatnya secara gratis, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa meminta sedikit pun imbalan.


Kedua hadits di atas merupakan dalil syariah yang sahih. Bahwa dalam Islam, jaminan kesehatan itu wajib hukumnya diberikan oleh negara kepada rakyatnya. Diberikan secara gratis, tanpa membebani apalagi memaksa rakyat untuk membayar, seperti dalam BPJS. Sebab, layanan kesehatan dalam Islam adalah hak rakyat, bukan kewajiban rakyat. Wallahu a’lam bisshawab.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak