Oleh : Tri S, S.Si*
BPJS Ketenagakerjaan diminta untuk lebih transparan dalam mengelola dana investasi. Sebab, dana yang digunakan merupakan millik masyarakat yang menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan.(Republika.co.id)
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah bersama rombongan mendatangi Kantor Pusat BPJS Ketenagakerjaan di Menara Jamsostek. Mereka meminta direksi menjelaskan secara lebih transparan terkait dana investasi. Menurutnya, hal tersebut perlu dilakukan untuk memberi pemahaman kepada masyarakat terutama pekerja bahwa dananya di BPJS Ketenagakerjaan telah teralokasi dalam investasi yang menjamin kesejahteraan mereka.
Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf mempertanyakan penyaluran investasi yang dilakukan BPJS Ketenagakerjaan. Apalagi, terjadi kejomplangan signifikan antara BPJS Ketenagakerjaan saat ini lebih dari Rp 300 triliun. Menurutnya, dari angka tersebut tidak ada dana negara secara langsung. BPJS Ketenagakerjaan mendapatkan dana dari pengusaha dan dana dari pekerja yang merupakan dana amanah.
Dari segi kinerja, ia melanjutkan, BPJS Ketenagakerjaan sudah cukup baik. Hanya saja perlu dilakukan perubahan pola pikir bahwa dana yang dikelola adalah dana jaminan milik masyarakat. Sebagai anggota DPR yang mewakili rakyat, ia pun menekankan investasi BPJS Ketenagakerjaan ke infrastruktur.
Wakil Ketua Komisi IX DPR Saleh Daulay menambahkan, terkait investasi di infrastruktur saat ini cukup sensitif. Terutama di tahun politik. Tidak sedikit masyarakat yang berpikiran uang mereka dipaksa digunakan untuk menjalankan program dari rezim yang berkuasa.
Usai kunjungannya kali ini, pihaknya akan menyelenggarakan satu atau dua rapat koordinasi sektoral melibatkan Kementerian terkait seperti Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Keuangan hingga Kementerian PMK.
Setelah kisruh pengelolaan BPJS Kesehatan, pemerintah menggunakan BPJS ketenagakerjaan sebagai alat baru meraup harta rakyat dengan dalih jaminan kesejahteraan pekerja. Dalam sistem kapitalisme, rakyat harus mensejahterakan dirinya sendiri (dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat), sementara negara memposisikan diri sebagai regulator. Dengan demikian, kesejahteraan bukan lagi hak rakyat dari penguasa, tapi merupakan kewajiban.
Padahal dalam Islam yang merupakan sistem kehidupan yang lahir dari Allah Sang Pencipta, kebutuhan akan pelayanan kesehatan adalah termasuk kebutuhan dasar masyarakat yang menjadi kewajiban negara. Dalam Islam, negara wajib mengurus rakyat dengan maksimal, tidak boleh membebani umat dengan kewajiban yang memberatkan apalagi merampas hak milik mereka dengan berbagai cara.
Jadi pengobatan itu sendiri merupakan kemaslahatan dan fasilitas publik. Negara wajib menyediakan semua itu untuk rakyat. Negara wajib mengurus urusan dan kemaslahatan rakyat, termasuk pelayanan kesehatan. Rasul saw bersabda: “Pemimpin (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggungjawab atas rakyatnya” (HR al-Bukhari dari Abdullah bin Umar).
Pemberian jaminan kesehatan seperti itu tentu membutuhkan dana besar. Biaya untuk itu bisa dipenuhi dari sumber-sumber pemasukan negara yang telah ditentukan oleh syariah. Diantaranya dari hasil pengeloaan harta kekayaan umum, diantaranya hutan, berbagai macam tambang, minyak dan gas. Dalam Islam, semua itu merupakan harta milik umum, yakni milik seluruh rakyat.
Sudah saatnya, jaminan kesehatan yang palsu itu menjadi jaminan kesehatan yang benar dan hakiki. Hal itu hanya bisa diwujudkan dengan menerapkan syariah dan hukum Islam secara menyeluruh. Melalui institusi penerap Islam kafah. Dengan itu rahmat Islam, khususnya kemaslahatan berupa jaminan kesehatan bisa diwujudkan dan dirasakan oleh semuanya. [Tri S]
(*Penulis adalah pemerhati perempuan dan generasi)