Oleh: Retno Indrawati
Ulama adalah rujukan bagi umat Islam sebagai tempat belajar dan bertanya tentang kehidupan di dunia, dan akhirat. Ulama dinilai sebagai orang yang mempuni untuk menjawab persoalan-persoalan menyangkut agama dan kehidupan. Kenapa demikian? Karena ulama merupakan pewaris para nabi. Yang diwarisi adalah ilmu (pengetahuan) tantang hakikat hidup, baik hidup di dunia maupun hidup di akhirat.
"Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewarisi ilmu. Barang siapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak." (HR. at Tirmidzi, Ahmad, ad Darimi dan Abu Dawud).
Dengan demikian hakikat ulama adalah penjaga ilmu (pengetahuan). Selama ulama ada, selama itu pula dunia ini akan selalu disinari oleh pelita. Dengan itu manusia akan selalu mendapatkan petunjuk dan tidak akan salah melangkah." Sesunngugnya ulama di bumi adalah seperti bintang-bintang di langit yang memberi petunjuk di dalam kegelapan bumi dan laut. Apabila dia terbenam, maka jalan akan tampak kabur." (HR. Ahmad).
Di zaman yang penuh fitnah seperti saat ini, peran ulama sangat diharapkan dan di nantikan, terutama dalam menyampaikan kebenaran secara terang-terangan dan lantang. Menyerukan Islam Kaffah menyampaikan kebenaran di tengah-tengah umat, dan penguasa. Menjadi panutan ilmu dan amal perbuatan. Mengawal, membimbing, penguasa agar tetap berjalan di atas syariat Islam. Ia juga harus memahami konstelasi politik internasional, membangkitkan umat, meninggikan kesadaran umat, membentengi umat dari faham, keyakinan dan sistem hukum yang bertentangan dengan Islam.
Dalam menjalankan peran ulama di akhir zaman seperti ini, tak jarang langkah baiknya justru diawasi, dicurigai. Bahkan pernah juga ada yang dijadikan sebagai objek persekusi. Yang terhangat adalah persekusi terhadap dai kenamaan asal melayu, ustadz Abdul Somad. Ustadz ini pun pernah mengalami hal yang tidak seharusnya, dimana ketika Ustadz Somad diketahui akan mengisi ceramah di wilayah Tangerang Selatan, Kepolisian Resor Tanggerang Selatan memberi catatan agar ceramah Ustadz Abdul Somad tidak mengandung unsur politik praktis dan hanya berfokus pada agama (banjarmasinpost.com, 09/09/2018). Bahkan JK pun ikut berpesan agar Ustadz Somad mengevaluasi konten ceramah yang tuai pro kontra (cnnindonesia, 04/09/2018).
Fenomena persekusi yang kerap terjadi terhadap para ulama yang kritis dan lurus dalam dakwahnya adalah bukti ketidak sinkronnya pola pikir Islam dengan pola umat, dan penguasa. Hanya karena atribut, seorang ulama digagalkan ceramahnya adalah bukti adanya negatif thinking terhadap lawan politik. Lalu melarang ulama bicara politik.
Padahal sejatinya Islam adalah agama spiritual dan politik (ideologi). Keduanya tidak bisa dipisahkan. Politik dalam pandangan Islam adalah mengurusi masalah-masalah umat. Jadi politik tidak sekedar kekuasaan. Rasulullah selain sebagai pembawa risalah Islam, juga seorang politikus yg negarawan. Beliau tunjukkan kerahmatan Islam melalui pemerintah Islam Madinah.
Islam juga mendudukkan seorang negarawan agar memiliki hati yang luas dalam menerima masukan dan kritik. Apabila memang sesuai dengan Islam mereka bersegera untuk melaksanakan aturan meninggalkan kemaksiatan. Begitu juga sebaliknya. Dan dalam menjaga marwah seorang negarawan memang diperlukan kewaspadaan dari kelompok yang dianggap membahayakan penerapan Islam dan menjalankan urusan negara.
Pun dalam konteks kekinian, sebenarnya waspada itu boleh. Tetapi jangan saling mencurigai sesama muslim. Sebab Allah berfirman,"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang" (TQS Al-Hujuraat 49: 12).
Diriwayatkan oleh Amirul Mukminin, 'Umar bin al-Khattab ra, ia berkata, "Janganlah kamu sekali-kali berprasangka terhadap suatu ucapan yang muncul dari saudaramu yang beriman melainkan dengan prasangka yang baik, kerana engkau memiliki cara lain untuk memahami(perkataan)nya dengan pemahaman yang baik. [Dan ucapan tersebut masih dimungkinkan mengandungi kebaikan]. (Atsar riwayat Ahmad dalam kitab az-Zuhd, juga ad-Durrul Mantsuur (VI/99))
Dengan demikian, tak sepantasnya ada kecurigaan bagi sesama mualim. Tak perlu juga sampe berujung pada upaya melarang ulama bicara politik. Sebab jika itu yang terjadi, berarti menolak sebagian ajaran Islam. Dan hal ini sekali lagi menunjukkan upaya sekulerisasi massif guna menyingkirkan peran Islam dalam pengaturan kehidupan. Tentu tidak boleh demikian adanya. Ulama harusnya tetap diberikan kesempatan menjadi pelita umat, termasuk di dalamnya berbicara politik dalam rangka kebaikan bangsa dan negara.