Bahaya Terselubung di Balik Gagasan Islam Nusantara


(sumber gambar: bangkitmedia.com)
Oleh: Ummu Auliya
Belakangan ini sedang ramai dibicarakan tentang gagasan Islam Nusantara. Sebuah gagasan yang dimunculkan oleh Kalangan liberal yang selama ini menolak ide penegakan syariah. Mereka seolah menemukan momentum mengajak masyarakat untuk turut dalam barisannya. Mereka mempropagandakan “Islam Nusantara” sebagai wujud implementasi Islam terbaik, dibandingkan dengan “Islam Timur Tengah” yang saat ini diwarnai berbagai konflik.
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj menyatakan bahwa Islam Nusantara adalah gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, dan adat-istiadat di Tanah Air. Menurut Said, Islam di Indonesia tidak harus seperti Islam di Arab atau Timur Tengah. Islam Nusantara, tegasnya, adalah Islam yang khas ala Indonesia (Republika.co.id, 10/03).
Hal senada dikemukakan oleh Komaruddin Hidayat, Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Menurut dia, fikih atau paham keberagaman yang tumbuh dalam masyarakat padang pasir dan bangsa maritim serta pertanian yang hidup damai, jauh dari suasana konflik dan perang, memerlukan tafsir ulang. Karena itu menurut Komaruddin, beberapa daerah di Nusantara ini para wanitanya sudah biasa aktif bertani di sawah untuk membantu ekonomi keluarga. Mereka sulit disuruh mengganti pakaian adatnya dengan pakaian model wanita Arab. Di Amerika, dia menambahkan, telah terjadi Amerikanisasi Islam dan di Eropa terjadi Eropanisasi Islam (Koran Sindo, 10/04).
Jika kita melihat secara jernih, Argumentasi dalam pendefinisian Islam nusantara diatas  sangat lemah. Bukan dari al-Quran, hadist, ijma’ sahabat maupun contoh penerapan Islam dari generasi kaum muslimin yang pernah ada. Al-Quran diturunkan oleh Allah SWT sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia, tidak ada kekhususan bagi orang Arab, Eropa, Asia, dan sebagainya. Tentu kesalahan sangat fatal jika Islam disejajarkan dengan adat istiadat dan budaya sehingga menganggap ajaran Islam dapat disesuaikan dengan budaya lokal. Untuk hal yang sifatnya mubah tentu saja Islam bisa mengakomodasi budaya daerah selama tidak menyalahi syariah. Misalnya, memakai kopiah pada saat shalat dibolehkan sebagaimana sorban, karena hal tersebut hukumnya mubah. Namun, memakai jilbab (milhafah [baju kurung/abaya]) merupakan kewajiban bagi setiap Muslimah yang akil balig (lihat: QS al-Ahzab [33]: 59). Karena itu jilbab tidak boleh diganti dengan sarung dan kebaya karena pertimbangan budaya lokal di daerah maritim dan agraris, seperti yang diargumentasikan oleh Komaruddin.
Perlu pula ditegaskan bahwa Islam bukan produk budaya Arab. Meskipun al-Quran dan al-Hadits berbahasa Arab, isinya bukan budaya Arab, melainkan perintah Allah SWT untuk seluruh umat manusia. Karena itu sistem peradilan Islam, sistem pendidikan Islam, hingga sistem pemerintahan Islam berupa Khilafah Islamiyah bukanlah produk budaya Arab. Semua itu merupakan perintah Allah SWT yang termaktub dalam al-Quran dan al-Hadits.
Begitupun ketika Islam Nusantara dianggap sebagai bentuk alternatif untuk menampilkan wajah Islam yang lebih “moderat” dan “toleran”. Hal ini sebagai reaksi terhadap kondisi Timur Tengah yang saat ini diwarnai konflik berkepanjangan. Karena itu menurut mereka, Timur Tengah tidak layak dijadikan acuan keberislaman kaum Muslim. Justru Indonesialah, menurut mereka, yang semestinya menjadi kiblat peradaban Islam karena Islam di Indonesia dianggap lebih moderat dan bisa diterima oleh banyak pihak. Wapres Jusuf Kalla dalam sambutannya di Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VI di Pagelaran Keraton Yogyakarta pada Senin (09/02) lalu juga menyerukan agar Islam di Indonesia mampu menjadi teladan dan rujukan bagi peradaban dunia.
Argumentasi seperti itu tidak tepat. Pasalnya, kondisi Timur Tengah yang terus bergolak sesungguhnya bukan karena faktor Islam. Wilayah ini terus memanas karena strategi penjajah Barat. Timur Tengah selama ini telah menjadi arena pertarungan kepentingan antara Inggris, Amerika, Rusia dan Prancis. Sebagai contoh, konflik yang sedang terjadi di Yaman sekarang ini. Konflik tersebut sebenarnya bukanlah konflik Syiah-Sunni, tetapi pertarungan Amerika dengan Inggris untuk merebut kue kekuasaan di Yaman. Karena itu mengaitkan konflik Timur Tengah dengan sikap keberislaman kaum Muslim di sana merupakan tindakan naif dan diskriminatif. Tindakan ini telah menutup mata terhadap apa yang telah dilakukan negara-negara penjajah di wilayah tersebut.

Bahaya-bahaya ide Islam Nusantara
Pertama, Ide Islam Nusantara berpotensi besar untuk memecah-belah kesatuan kaum Muslim. Antar negeri Muslim akan dipecah-belah melalui isu kedaerahan, ada Islam Nusantara, Islam Timur Tengah, Islam Turki, dan sebagainya. Ini merupakan politik belah-bambu atau stick and carrot yang memang merupakan strategi penjajah untuk melemahkan kaum Muslim. Sebagaimana diketahui, mereka juga telah membuat kutub kaum Muslim melalui pelabelan modernis-tradisionalis, radikal-moderat, spiritual-politik, kultural-struktural, formalis/literalis-substansialis, termasuk Islam esoteris (Islam hakikat) dengan Islam eksoteris (Islam syariah).
Selanjutnya mereka memberikan dukungan baik opini maupun dana bagi kelompok-kelompok liberal, modernis, moderat, esoteris dan sebagainya, sekaligus menekan kelompok-kelompok yang mereka beri predikat fundamentalis, radikal, eksoteris dan sebagainya. Mereka juga memberikan ruang politik, publik dan ketokohan kepada mereka yang pro Barat-AS sekaligus menyempitkan ruang politik dan publik bagi mereka yang pro syariah dan Khilafah. Mereka pun  melakukan stigmatisasi terhadap ide syariah dan khilafah. Misalnya mengidentikkan gerakan syariah dan Khilafah sebagai sumber anarkisme dan berpotensi menyulut konflik horizontal di masyarakat yang tidak cocok dengan kultur di Nusantara.
Strategi ini termasuk salah satu yang direkomendasikan oleh Ariel Cohen kepada AS dalam menghadapi gerakan Islam yang mengusung syariah dan khilafah. Cohen pernah mempublikasikan hasil risetnya itu yang dibiayai oleh The Heritage Foundation dengan judul ‘Hizb ut-Tahrir: An Emerging Threat to U.S. Interests in Central Asia’ (lihat: www.heritage.org). Menurut Cohen, salah satu cara melawan kelompok Islam radikal adalah dengan cara membenturkan kelompok tersebut dengan kelompok Islam moderat.

Kedua, Ide Islam Nusantara pada dasarnya adalah bagian dari rangkaian proses sekularisasi pemikiran Islam yang telah digelorakan sejak tahun 80-an oleh Nurcholis Madjid. Ide Islam Nusantara itu tidak lebih dari sekularisasi yang diberi warna baru. Di dalam bukunya, “Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan” (Mizan, 1987), Nurcholis Madjid menyerukan untuk membangun Islam inklusif yang bersifat terbuka dan toleran terhadap ajaran agama lain dan budaya keindonesiaan. Ini persis sama dengan argumentasi pengusung ide Islam Nusantara yang mempropagandakan keterbukaan dan toleransi terhadap agama dan budaya di Nusantara.
Ini merupakan bukti bahwa upaya sekularisasi terhadap Islam tidak pernah berhenti, terus berlanjut hingga kini. Ide Islam Nusantara adalah salah satu bentuk upaya tersebut. Buku-buku yang mempropagandakan paham sekularisme, pluralisme dan liberalisme juga terus diterbitkan. Di antaranya adalah buku “Membela Kebebasan Beragama: Percakapan tentang Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme” yang diterbitkan oleh LSAF dan Paramadina, 2010. Pada buku tersebut dituliskan bahwa ketiga paham tersebut, yakni sekularisme, pluralisme dan liberalisme wajib dikembangkan di Indonesia sebagai prasyarat mutlak tegaknya demokrasi di Indonesia. Padahal sekularisme, pluralisme dan liberalisme (sepilis) telah difatwakan haram oleh MUI.
Lebih dari itu, sekularisasi di Indonesia dan di negeri-negeri Muslim lainnya didukung oleh negara-negara Barat, khususnya AS. Ini karena mereka berkepentingan untuk melanggengkan ideologi Kapitalisme di negeri-negeri Muslim sekaligus menyingkirkan ideologi Islam sebagai rival utamanya. Tentu kita masih ingat, Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI) yang dulu sempat kontroversial karena isinya melanggar syariah itu. CLD KHI didanai oleh The Asia Foundation (TAF) sebesar Rp 6 miliar.
Tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla, saat diwawancarai Majalah Hidayatullah Desember 2004, mengaku dapat kucuran dana sebesar 1.4 miliar rupiah pertahun dari TAF untuk tujuan mendorong politik sekular di Indonesia. TAF yang bermarkas di San Fransisco itu merupakan lembaga internasioanal yang menjadi payung dana bagi pengembangan ide pluralisme, liberalisme, sekularisme dan HAM. Sebagaimana dikutip situs resmi pemerintah AS (usinfo.state.gov), LSM ini memiliki 17 kantor cabang di seluruh Asia.

Ketiga, sebagai upaya menghadang penegakan syariah dan Khilafah.Potensi ideologi Islam melalui penegakan syariah dan Khilafah telah lama menjadi perhatian serius para peneliti politik di AS. Keseriusan ini digambarkan oleh Fawaz A Gergez, Guru Besar Sarah Lawrence College, dalam bukunya ‘America and Political Islam’ (1999). Prediksi NIC yang meramalkan Khilafah sebagai salah satu fenomena utama dunia di tahun 2020 juga menunjukkan perhatian think tank AS terhadap kemungkinan munculnya kekuatan Islam pada masa mendatang. Tentu hal ini tidak akan dibiarkan oleh Pemerintah AS sebagai informasi semata, tetapi akan dijadikan sebagai basis kebijakan politik luar negeri AS dalam membendung segala arus yang membawa potensi kembalinya Khilafah.
Hal tersebut dapat kita pahami bahwa ada benang merah dengan war on terrorism/Crusade  yang diprakarsai oleh G. Walker Bush pasca runtuhnya WTC 11 September 2001. Sejak Bush mendeklarasikan Perang Melawan Teror, upaya untuk mereformasi Islam semakin digalakkan. Teori mereka, segala kekacauan di dunia ini sumbernya adalah paham keislaman. Itulah kenapa, mulai dikampanyekan bentuk Islam moderat. Mereka mulai masuk ke dalam ranah pendefinisian Islam. Apa itu Islam, bagaimana Islam dipraktikkan di dunia modern, dan bagaimana Islam yang kompatibel dengan Barat dan kepentingannya. Narasinya dikemas dalam bahasa yang indah; toleran, cinta damai, bhinneka, dll. Namun, arti yang sebenarnya adalah kemauan untuk tunduk dalam hegemoni Barat. Jangan melawan apalagi memberontak, jika tidak ingin disebut teroris dan radikal.
Bush memberi dua pilihan kepada dunia “with us or with teroris” dan Indonesia memilih untuk ikut Bush. Melaui BNPT dibuatlah program deradikalisasi. Dalam menjalankan tugasnya BNPT menggalang dukungan dari para tokoh-tokoh terkemuka termasuk kyai pondok pesantren. Narasi yang dibangun BNPT adalah “Nasionalisme/Cinta Tanah Air” yang diaplikasikan dengan melestarikan budaya dan adat istiadat, demi tercapainya makna “islam rahmatan lil ‘alamin” dan anti kekerasan. Dan ini merupakan bukti bahwa barat akan menghadang kebangkitan Islam dengan berbagai cara termasuk menghembuskan pemikirannya melalui kelompok liberal ini salah satunya menggaungkan ide islam nusantara.
Sebagaimana diketahui, negara-negara kapitalis penjajah dan para pendukungnya berupaya memberikan citra negatif terhadap syariah Islam dan Khilafah secara sistematis. Syariah dan Khilafah digambarkan sebagai sesuatu yang membahayakan negeri Muslim, termasuk Nusantara ini. Tentu sekecil apapun celah yang bisa digunakan untuk menghadang tegaknya Khilafah akan mereka dukung, termasuk ide Islam Nusantara yang bermuatan sekularisme itu. Penyebaran sekularisme tentu akan menjadi jalan paling mulus bagi AS untuk melanggengkan hegemoninya di negeri-negeri Muslim, termasuk di Indonesia ini.
Kaum Muslim harus menyadari pula bahwa kelompok-kelompok liberal yang eksis saat ini tidak lebih dari mesin politik untuk kepentingan penjajah AS dan sekutunya. Berkedok semboyan memajukan atau mencerahkan Islam, mereka berupaya menyeret generasi Muslim menjadi peluru penjajah. Isu utama yang mereka angkat selalu disesuaikan dengan isu-isu yang yang diusung AS dan sekutunya. Kelompok liberal di negeri ini bersama Asia FoundationHeritage Foundation, dan Rand Corporation, gencar menyerang ide syariah dan Khilafah dengan menganggap syariah dan Khilafah sebagai ancaman bagi Nusantara. Sebaliknya, perilaku moral yang rendah, seperti menjamurnya pornografi dan pornoaksi di area publik akibat liberalisme, juga kesengsaraan ekonomi yang diakibatkan oleh rusaknya sistem ekonomi kapitalis, tidak direspon sebagai isu utama oleh mereka. Kucuran dana besar dari penjajah memang cukup ampuh untuk menciptakan para komprador yang makin mengering akal dan nuraninya.
Wahasil, Ide Islam nusantara bukanlah ide yang lahir dari pemahaman islam yang benar walaupun para penggagasnya berupaya keras meyakinkan umat agar menerimanya sebagai pemahaman yang layak diamalkan. Kaum muslim tidak boleh terpengaruh dengan ide tersebut apalagi ikut menyebarkannya. Karena ide tersebut jelas-jelas sejalan dengan kepentingan penjajah barat yang tidak menginginkan kebangkitan Islam tegak kembali.
Untuk itu diperlukan upaya yang serius dalam memahamkan umat terkait dengan pemahaman Islam yang benar-benar bisa mencerahkan kaum muslim di seluruh dunia. Allohu a’lam bishowab


45Zahra

Ibu, Istri, Anak, Pribadi pembelajar yang sedang suka menulis.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak