Anakku (n)Akal


(sumber gambar: tribunnews)

Oleh : Fatimah Azzahra, S.Pd

“Allahu akbar! Kaka, kok air di ember ditumpahin keluar kamar mandi?!”
“MasyaAllah! Dede, kenapa baju di keranjang diacak-acak lagi. Itu kan baru selesai disetrika?!”
Ini hanya secuil contoh histerisnya saya pada anak-anak setelah melihat polah mereka. Dan mungkin ada beberapa ibu mengalami hal yang sama.

Nakal atau (n)Akal
Banyak tingkahnya anak-anak. Sulit duduk manis. Senang berlari kesana-kemari. Loncat ke kiri dan kanan. Naik turun tangga. Terkadang hal ini membuat ibu merasa lelah. Pasalnya, setiap anak bergerak, kondisi rumah juga ikut ‘bergerak’. Dalam artian jadi berantakan.  Hingga mirip kapal pecah.

Belum lagi melihat kondisi perkembangan emosi anak. Yang kini senang meminjam barang orang, tapi enggan meminjamkan mainannya. Atau bahkan sering merebut barang dari orang lain. Hingga terlontar kata ‘egois’ dalam benak kita.

Masih ada juga sisi perkembangan fisiknya. Kalau bayi, mereka hanya bisa tidur, telungkup, guling-guling. Kini kaki dan tangannya lihai bermain. Sampai ada pukulan, tendangan, juga cubitan yang menghiasi.
Dari begitu banyaknya polah si kecil, tak sedikit ibu yang lantas melabeli anaknya dengan sebutan ‘nakal’. Benarkah anak kita nakal atau banyak akal alias (n)akal?

Menurut ilmu perkembangan anak, masa prabaligh adalah masa anak-anak bereksplorasi. Bereksperimen ini dan itu. Bagaimana jadinya kalau begini dan begitu. Khususnya pada masa early childhood, kemampuan anak-anak berkembang pesat. Mulai dari kemampuan kognitif, psikologis, juga fisiknya. Bagaimana memahami, menjelaskan, mengorganisasi, memanipulasi, membangun, dan memprediksi.  

Perkembangan sistem sarafnya pun melesat. Misalnya pada umur tiga tahun, perkembangan otak pada umur ini ditekankan pada limbik kiri bagian dalam. Dalam pergaulan sosialnya ia seperti ingin memiliki semuanya. Keakuannya begitu tinggi dan kepemilikannya tidak boleh diganggu. Bahkan sampai merebut mainan milik anak-anak lain. Atau paling tidak ia merengek minta dibelikan mainan yang sama.

Piaget menyatakan perkembangan kognitif yang terjadi antara umur 2 sampai 7 tahun sebagai tahap praoperasional. Pada tahap ini, anak-anak meningkatkan penggunaan bahasa dan simbol lainnya, Mereka meniru perilaku dan permainan orang dewasa.

Karena masih termasuk fase yang ‘belum matang’ dan masih banyak meniru. Layakkah kita melabelinya dengan nakal? Atau lebih tepat (n)akal?

Kalau masih berpikir anak kita nakal. Maka, yang harus pertama introspeksi diri adalah orangtua. Karena anak lebih banyak menghabiskan waktu bersama orangtuanya. Sedangkan, anak sedang dalam fase meniru dan memanipulasi. Jadi, boleh jadi kenakalan anak kita memang bersumber dari tingkah laku kita kala bersama mereka.

Investasi Kepemimpinan

“Robbana hablana min azwajina wa dzurriyyatina qurrota’ayun waj’alna lil muttaqiina imaama”
Ini salah satu doa’ favorit para orangtua. Yang artinya “Ya Rabb kami, anugerahkanlah pada kami pasangan dan keturunan yang menjadi penyejuk mata kami. Dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang bertakwa”.

Sering sekali kita melantunkan doa’ ini. Tapi, tak sadar kita jutru yang memutus langkah Allah mengabulkan doa’ ini. Sikap ego pada anak, sebenarnya adalah investasi jiwa kepemimpinan. Ialah jawaban dari doa’ yang senantiasa kita panjatkan. Pemimpin harus punya keinginan kuat, tekad yang kokoh untuk melindungi semua miliknya. Bagaimana mungkin ia akan melindungi rakyatnya jika tak punya keinginan dan tekad tersebut?

Ingatlah bagaimana tegasnya Rasulullah menjaga kehormatan seorang wanita, ummatnya, rakyatnya. Kala wanita ini dilecehkan oleh pemuda Yahudi bani Qainuqa. Maka, Rasul usir satu bani tersebut keluar dari Madinah. Itulah sikap tegas Rasul, sebagai pemimpin.  

Ah, saya tak muluk ingin menjadikan anak sebagai pemimpin. Cukup jadi rakyat biasa saja. Cukup hidup sebagai orang biasa saja. Orang biasa sekali pun adalah pemimpin bagi dirinya sendiri, dan keluarganya. Ia tetap harus memiliki naluri mempertahankan dan melindungi dirinya dan keluarganya. Tentu dengan cara yang Allah ridhoi.

Maka, janganlah tega kita hancurkan benih kepemimpinan yang telah Allah semai dalam diri anak-anak kita. Pupuk dan rawatlah sesuai pada tempatnya. Menyesuaikan dengan koridor hukum syara’. Hukum Allah Pemilik Alam Semesta.

Bimbing mereka dengan bahasa cinta. Ingatkan mereka dengan elusan dan pelukan sayang. Bukan pukulan atau cubitan yang menyiksa. Memang masanya mereka untuk berekspresi, bereksplorasi. Tak usah meminta pengertian atas kelelahan, kemarahan kita, pada mereka yang belum sempurna akalnya. Justru kita yang lebih dewasa, harus lebih memahami dan mengerti kondisi mereka. Sekarang memang tugas anak-anak kita itu ya bermain. Bermain dengan apapun yang ada. Kondisi rumah yang berantakan lebih bisa dimaklumi daripada kondisi mental dan perkembangan anak yang harus berantakan.

Ayah, bunda, mari kita ingat kembali. Anak kita titipan Ilahi. Harus dijaga dan dikasihi. Karena nanti, Allah akan meminta pertanggungjawaban diri ini. Bagaimana upaya kita mendidiknya, membimbingnya. Akan dibalas dengan surga jika sesuai dengan perintah-Nya. Namun, bisa jadi jalan ke neraka jika melanggar larangan-Nya.

Maafkan kami, wahai anak-anakku yang belum maksimal membimbing kalian. Penuh dengan kelemahan dan kekhilafahn juga kealphaan diri. Semoga Allah menguatkan kami untuk membimbing kalian senantiasa di jalan yang diridhoi Allah swt. Aamiin.

Wallahua’lam bish shawab.



45Zahra

Ibu, Istri, Anak, Pribadi pembelajar yang sedang suka menulis.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak